Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Hidup Mati Indonesia Selama 4 Tahun Beribukota di Jogja dari 1946 hingga 1949
4 Januari 2022 19:38 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
“Keberlangsungan Republik dan eksistensinya mempertahankan kemerdekaan itu sebagian besar dilakukan di Yogyakarta,” kata sejarawan FIB UGM, Baha Uddin.
Selama hampir empat tahun, sejak 4 Januari 1946 sampai 28 Desember 1949, Jogja menjadi ibu kota Republik Indonesia. Empat tahun itu adalah masa yang sangat krusial bagi Indonesia, yang saat itu belum genap berumur setahun. Diplomasi, perjuangan politik, bahkan sampai peperangan terjadi di Jogja pada era tersebut untuk mempertahankan Republik ini dari Belanda yang kala itu masih tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Itu fase yang sangat krusial, banyak sekali peristiwa penting selama fase itu. Baru pemerintahan itu efektif setelah kembali ke Jakarta pada 28 Desember 1949,” kata Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, Senin (3/1).
Ya, meskipun sudah merdeka, bukan berarti Indonesia benar-benar terlepas dari penjajahan Belanda. Pada 21 Juli 1947, Belanda secara gamblang menyatakan bahwa mereka tidak lagi terikat pada hasil Perjanjian Linggarjati setelah pemerintah Indonesia menolak mentah-mentah ultimatum untuk menarik mundur pasukannya sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi atau garis gencatan senjata.
Tak sampai 24 jam, Belanda melancarkan agresi militer dengan tujuan menguasai sumber daya alam Indonesia, terutama yang berada di Sumatra dan Jawa. Di Jawa, Belanda bergerak ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk menguasai perkebunan, pabrik, dan pelabuhan. Sedangkan di Sumatra, tujuan mereka adalah untuk menguasai perkebunan dan pertambangan khususnya minyak dan batu bara.
ADVERTISEMENT
“Karena kalah perang, Belanda kan rugi besar, sehingga dia harus mencari sumber pendapatan untuk menutupi kerugian karena kalah perang itu,” kata Hasto.
Serangan itu menyebabkan banyak orang Indonesia meninggal dunia. PBB kemudian mengeluarkan resolusi pada 1 Agustus 1947, dimana Dewan Keamanan PBB mendesak supaya Belanda menghentikan agresi militernya. Resolusi itu diterima Belanda, yang kemudian menyetop pertempuran pada 5 Agustus 1947.
Ketegangan tak benar-benar berakhir. Belanda kembali melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948, yang langsung diawali dengan menyerang Jogja sebagai ibu kota negara kala itu. Buntut serangan itu adalah ditangkapnya Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan sejumlah tokoh lainnya untuk diasingkan ke Bangka.
Agresi militer itu membuat hubungan kedua negara makin panas. Sri Sultan HB IX dan Jenderal Soedirman, kemudian menginisiasi Serangan Umum pada 1 Maret 1949. Hanya dalam kurun waktu 6 jam, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur dari wilayah Yogyakarta. Momentum ini berhasil menunjukkan eksistensi Indonesia, sehingga di mata PBB Indonesia memiliki daya tawar yang kuat.
ADVERTISEMENT
Bung Karno Pulang ke Jogja
Serangan Umum 1 Maret juga memaksa Belanda untuk menghentikan serangan militer dan kembali ke jalur diplomasi. Sebelumnya, kedua negara memang sempat menempuh jalur diplomasi melalui Perjanjian Linggarjati dan Renville, namun selalu dilanggar oleh Belanda. Setelah agresi militer kedua, pada 28 Januari, Dewan Keamanan PBB juga kembali mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda ke Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik Indonesia.
Setelah Serangan Umum 1 Maret, kemudian dilakukan Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli 1949 dengan Muhammad Roem sebagai wakil delegasi Indonesia. Dalam perundingan itu, Roem menyampaikan bahwa Indonesia yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka bersedia untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, pada 6 Juli 1949, para pemimpin Indonesia yang tengah diasingkan di Bangka akhirnya dipulangkan ke ibu kota sementara di Yogyakarta, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Yogya Kembali. Sebelum pulang ke Yogya, Sultan HB IX sempat menemui Sukarno dan kawan-kawan di Bangka pada 10 sampai 15 Juni 1949. Kala itu, Bung Karno sedang gelisah karena tak ada dana untuk melanjutkan pemerintahan.
“Di sana Sultan HB IX memberikan cek kepada Bung Karno senilai 6 juta gulden untuk modal melanjutkan pemerintahan. Bung Karno langsung bangkit dan memeluk Sultan,” kata Hasto.
Pada 23 Desember sampai 2 November, kemudian diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda yang dihadiri perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO. Perundingan ini menghasilkan sejumlah dokumen penting seperti Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, dan kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda dari Indonesia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
ADVERTISEMENT
Usai KMB, Sukarno kemudian terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS), dan dilantik pada 17 Desember 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta.
“Baru setelah itu, pada 28 Desember Bung Karno kembali ke Jakarta, berbarengan dengan kembalinya ibu kota Indonesia ke Jakarta,” ujar Hasto.
Momen Menentukan di Waktu yang Singkat
Meski terbilang singkat, hanya sekitar empat tahun, namun begitu banyak peristiwa penting dan krusial yang terjadi selama Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia. Selama empat tahun itu, Yogya yang dipimpin oleh Sri Sultan HB IX benar-benar menjadi tulang punggung Republik. Tak hanya membiayai secara materi, semua proses mempertahankan kemerdekaan mulai dari diplomasi, politik, sampai perang juga dilakukan pada fase tersebut.
“Keberlangsungan Republik dan eksistensinya mempertahankan kemerdekaan itu sebagian besar dilakukan di Yogyakarta, sehingga Yogyakarta menjadi penggalan periode penting dalam sejarah Republik untuk mempertahankan kemerdekaannya,” kata sejarawan FIB UGM, Baha Uddin, Senin (3/1).
ADVERTISEMENT
Masa-masa berat itu dapat dilewati bukan hanya karena Yogyakarta memiliki fasilitas dan infrastruktur yang cukup lengkap sebagai sebuah ibu kota. Di sana, ada peran Sri Sultan HB IX, Raja Kasultanan Yogyakarta saat itu yang siap pasang badan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peran Sultan HB IX inilah yang tidak dimiliki kota lain di Indonesia saat itu, meskipun mereka memiliki infrastruktur yang juga cukup memadai.
“Mungkin RI akan berbeda nasibnya kalau tidak ada Yogyakarta,” kata Baha Uddin, dengan menyebut bahwa perkataannya itu mengulangi perkataan Prof Djoko Suryo, sejarawan senior dari UGM yang kiprahnya diakui secara nasional maupun internasional. (Widi Erha Pradana / YK-1)