Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Hindari Risiko Erupsi Krakatau, Badak Jawa akan Dipindah dari Ujung Kulon
8 September 2021 14:45 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Status gunung Anak Krakatau kini sangat aktif dan memiliki risiko kebencanaan sangat tinggi.

Untuk menghindari risiko aktivitas vulkanis (erupsi) gunung Anak Krakatau, sebagian populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) akan dipindah dari habitat aslinya di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ke Cagar Alam Sancang di Cikepuh, Sukabumi. Pemindahan populasi tersebut merupakan upaya untuk menjaga tren positif pelestarian salah satu satwa paling langka di dunia itu.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Wiratno, mengatakan bahwa Ujung Kulon memang mempunyai risiko kebencanaan tinggi karena lokasinya yang berdekatan dengan gunung Anak Krakatau yang statusnya sangat aktif. Karena itu, pemindahan badak jawa dari TNUK tersebut memang perlu untuk dilakukan.
Kawasan Cagar Alam Sancang, yang masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), juga dinilai telah memenuhi sebagai tujuan translokasi sebagian populasi badak jawa setelah melalui sejumlah kajian.
“Ihwal pemindahan itu menjadi rencana strategis Kementerian LHK 2019 sampai 2029,” kata Wiratno seperti dikutip dari laman resmi Indonesia.go.id, Senin (6/9).
Wacana pemindahan badak jawa ke Cikepuh ini sebenarnya sudah mencuat sejak beberapa tahun lalu. Meskipun Cagar Alam Sancang hanya memiliki luas sekitar 8.127 hektar, namun secara biofisik kawasan tersebut memiliki kriteria yang sama atau mirip dengan TNUK.
ADVERTISEMENT
Apalagi badak jawa juga pernah ditemukan di kaki-kaki pegunungan Halimun-Salak, meskipun sudah lama mati. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem di kawasan tersebut memang cocok untuk menjadi habitat badak jawa. Secara internasional, lokasi ini juga telah diakui sehingga akan lebih mudah dalam melakukan translokasi salah satu satwa paling langka di dunia ini.
Wiratno tak mau kejadian pada 1883 terulang lagi, dimana populasi badak jawa sempat hancur akibat letusan dahsyat gunung Krakatau yang mengakibatkan tsunami besar. Padahal, selama bertahun-tahun berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan populasi badak jawa.
Pada 1967, populasi badak jawa sempat sangat kritis, hanya tersisa 25 ekor di alam. Pada 1982 populasinya mulai meningkat menjadi 56 ekor, pada 1992 kembali turun menjadi 47 ekor, dan kini setelah melakukan berbagai upaya pelestarian populasinya mulai meningkat lagi menjadi 75 ekor. Karena itu, perlindungan ketat harus terus dilakukan supaya tren positif ini bisa terus terjaga dan tidak mengalami penurunan lagi.
ADVERTISEMENT
Titik Terang Konservasi Badak
Dalam setahun terakhir, di tengah pandemi yang makin tak jelas ujungnya, kabar baik datang dari TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon). Empat anak badak jawa lahir menjadi penghuni baru TNUK. Mereka adalah Luther, anak badak jawa jantan yang usianya sekitar setahun. Culanya masih kuncup, beberapa kali dia terlihat melalui kamera pemantau sedang berjalan beriringan dengan induknya, Palasari, di sebuah jalan setapak menuju rawa-rawa kecil di tengah TNUK.
Pada saat yang lain, Helen juga terlihat melalui kamera pemantau sedang berjalan santai bersama induknya, Ambu, menuju sebuah kolam lumpur. Helen berjenis kelamin betina, usianya tak jauh berbeda dengan Luther. Sementara itu, dua anak badak jawa lain yang masih berumur tiga sampai empat bulan belum diberi nama. Mereka adalah anak dari induk badak bernama Rimbani, seekor ibu badak muda yang telah dipantau sejak lama.
ADVERTISEMENT
Kelahiran empat badak jawa tersebut membuat populasi badak jawa di TNUK kini berjumlah 75 ekor, populasi terbesar yang pernah tercatat sepanjang sejarah pengelolaan TNUK.
“Ini merupakan salah satu contoh keberhasilan perlindungan penuh atau full protection badak awa dan habitat aslinya di TN Ujung Kulon,” kata Wiratno.
Sekitar 200 sampai 300 tahun silam, badak jawa masih bisa ditemukan di hutan-hutan tropis dataran rendah di Myanmar, Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan tentunya di Indonesia terutama di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Semula, badak jawa dianggap sama dengan badak india, namun pada awal abad 19 keduanya ditetapkan sebagai spesies berbeda.
Keduanya, ternyata memiliki bentuk cula, motif kulit, serta ukuran yang berbeda. Dengan ukuran tubuh rata-rata panjang 3,1 sampai 3,2 meter dan tinggi 1,4 sampai 1,7 meter, badak jawa memiliki tubuh yang lebih kecil ketimbang badak india yang ukurannya hampir sebesar gajah.
ADVERTISEMENT
Awalnya, badak jawa dianggap sebagai mamalia endemik dari Jawa Barat, karena itulah dia diberi sebutan sundaicos. Namun pada tahun-tahun berikutnya ditemukan juga spesies yang sama di sejumlah negara di Asia Tenggara. Tapi hampir di semua tempat badak jawa diburu untuk diambil cula dan kulitnya dan akhirnya punah.
Di Indonesia, badak jawa pertama kali dilindungi pada 1973 setelah Pemerintah Hindia Belanda melarang perburuan badak jawa dan memasukkannya ke dalam kelompok satwa dilindungi. Badak jawa hanya boleh diambil untuk dibawa ke penangkaran, namun ternyata dia hampir tak pernah bisa berbiak di dalam penangkaran. Kini, tak ada satupun badak jawa yang berada di kebun binatang sehingga hanya dapat dilihat di habitat aslinya.
Badak jawa merupakan hewan penyendiri. Mereka berkumpul dalam jumlah terbatas dan hanya ketika bersama-sama mendinginkan badan di kolam kubangan yang sama, atau ketika musim kawin. Induk betina akan mengawal anaknya hingga berusia 2 sampai 3 tahun yang baru beranjak dewasa pada usia 6 tahun dimana rata-rata usianya mencapai 35 hingga 40 tahun.
ADVERTISEMENT
“Seekor betina umumnya hanya melahirkan satu bayi, mereka sulit bertahan di luar habitat aslinya,” ujarnya.