Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Ingat Ini: Kalau Makan Bakso Sapi Berarti Kamu Sedang Makan Cucunya Banteng
27 Oktober 2021 11:56 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Membayangkan makan banteng sungguh sensasi yang luar biasa. Tapi begitulah, sapi-sapi yang saat ini banyak diternakkan baik untuk diperah susunya maupun diambil dagingnya untuk dibikin bakso atau steak, ternyata memiliki trah banteng. Karena itu, banteng juga disebut sebagai sapi liar atau wild cattle, karena secara taksonomi memang masih berkerabat dengan sapi.
ADVERTISEMENT
Senior Veterinarian dari Taman Safari Indonesia, Bogor, Yohana Tri Hastuti, mengatakan banteng merupakan nenek moyang dari domestic cattle atau sapi domestik di Asia Tenggara. Sapi-sapi domestik di Asia Tenggara yang selama ini kita kenal, awalnya adalah banteng liar yang didomestikasi atau diternakkan sejak sebelum 3.500 SM di wilayah Jawa, Bali, dan Lombok.
“Sampai sekarang hal itu dipercaya karena masih ada banteng di Pulau Jawa,” kata Yohana Tri Hastuti dalam seminar nasional yang digelar Kelompok Studi Satwa Liar (KSSL) FKH UGM, Sabtu (23/10).
Hal ini diperkuat dengan penelitian-penelitian genetika yang sudah dilakukan terhadap beberapa jenis sapi yang ada di Indonesia. Sapi bali, ternyata memiliki kandungan genetik banteng yang paling besar, yakni antara 60 sampai 90 persen. Sapi Madura, mengandung genetik banteng sebesar 20 sampai 31 persen, serta sapi ongol atau brahman mengandung genetik banteng sebesar 10 sampai 16 persen. Dan saat ini, jumlah sapi bali di Indonesia mencapai 25 persen dari seluruh populasi sapi yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Ini semakin menegaskan bahwa banteng merupakan nenek moyang dari sapi bali,” ujarnya.
Sebelum didomestikasi, karakter dan sifat sapi juga sama dengan banteng liar. Mereka adalah para pengembara yang suka hidup berkelompok. Banteng juga aktif pada siang maupun malam hari atau diurnal.
Banteng bisa hidup di beberapa jenis habitat, mulai dari hutan lebat, hutan jarang, hutan bambu, hingga hutan dengan ketinggian sampai 2.000 mdpl. Namun sampai saat ini belum terlalu banyak diketahui tentang proses reproduksi pada banteng.
“Yang sudah diketahui baru sekadar lama kebuntingan 285 hari dan masa hidupnya 20 tahun,” ujar Yohana.
Dua dari Tiga Banteng di Dunia Ada di Indonesia
Ada tiga jenis banteng yang teridentifikasi di dunia ini dan dua di antaranya ada di Indonesia. Jenis banteng pertama yakni Bos javanicus birmanicus, tinggal di daratan utama Asia seperti India. Tak ada jenis banteng ini di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Nah, 2 spesies banteng lainnya hanya ada di Indonesia. Pertama, Bos javanicus lowi ada dii Kalimantan. Dan kedua, Bos javanicus javanicus yang banyak ditemui di Jawa.
Sementara, yang tampak seperti banteng atau kerbau di Afrika, itu beda lagi dan memiliki nama latin Syncerus caffer dan mempunyai beberapa sub spesies lagi.
Jumlah populasi banteng di alam liar saat ini diperkirakan hanya tersisa tak sampai 400 individu. Pada 2016, total persebaran banteng di alam liar hanya terisa 345 individu yang tersebar di Taman Nasional (TN) Alas Purwo sebanyak 126 individu, TN. Meru Betiri 60 individu, TN. Baluran 46 individu, TN. Ujung Kulon 70 individu, TN. Kayan Mentarang 13 individu, serta TN. Kutai sebanyak 30 individu.
ADVERTISEMENT
“Diagram yang ada, semakin lama semakin mengalami penurunan habitat,” ujar Yohana Tri Hastuti.
Populasinya yang terus menurun menjadikan banteng masuk ke dalam 25 satwa terancam punah yang jadi prioritas untuk ditingkatkan populasinya serta menjadi satu dari 10 jenis satwa yang jadi target pengembangan di lembaga konservasi.
Kawin Silang yang Berbahaya
Persoalan penurunan populasi banteng merupakan masalah klasik, yang juga mengakibatkan penurunan populasi semua jenis satwa liar. Di antaranya adalah kerusakan habitat dan perburuan liar. Yang menarik, banteng juga menghadapi ancaman penyakit dari hewan domestik yang masuk ke wilayah habitat mereka. Perkawinan silang dengan hewan domestik, juga jadi masalah serius karena bisa merusak genetik banteng.
“Karena jika semakin jelek genetiknya dia pastinya tidak akan tahan terhadap penyakit, secara struktur juga performance-nya akan semakin jelek,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Persoalan penyakit juga jadi perhatian serius oleh Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Kepala TN Baluran, Pudjiadi, mengatakan bahwa sifat TN Baluran yang membuka akses untuk masyarakat sekitar, membuat banyak aktivitas manusia di dalamnya. Salah satu aktivitas yang berpotensi menyebarkan penyakit kepada banteng adalah penggembalaan hewan ternak.
“Penggembalaan liar ternak masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Baluran juga merupakan ancaman pada kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit,” kata Pudjiadi.
Untuk menanggulangi persoalan tersebut, maka pengelola TN Baluran melakukan pemeriksaan feses banteng maupun sapi milik warga secara berkala supaya jika ada potensi penyakit menular bisa dideteksi sedini mungkin. Selain itu dilakukan juga pembedahan bangkai setiap ditemukan kasus kematian pada satwa untuk mengetahui penyebab kematiannya.
ADVERTISEMENT
“Harapannya jika ada potensi penyakit menular bisa segera dideteksi dan dilakukan langkah-langkah pencegahan,” ujarnya.
Banteng Kalimantan dan Ritual Masa Kerajaan
Tak seperti banteng jawa, banteng kalimantan tampaknya sangat jarang terdengar namanya. Peneliti dari Yayasan Orangutan Indonesia, Imam Sapari, mengatakan bahwa sampai saat ini sangat sedikit penelitian tentang banteng kalimantan. Jikapun ada, biasanya penelitian itu berasal dari Sabah, Malaysia.
“Bahkan untuk penelitian sebaran, populasi, dan sebagainya juga sedikit sekali sehingga jadi tantangan besar juga untuk upaya konservasinya,” ujar Imam Sapari.
Imam memprediksi, awalnya banteng tersebar di seluruh kawasan Kalimantan. Namun seiring perubahan habitat dan kondisi hutan, habitat banteng kalimantan kini diperkirakan hanya tersebar di tiga titik saja yakni di TN. Kayan Mentarang, TN. Kutai, dan di kawasan hutan produksi di Kalimantan Tengah atau di Belantika.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan cerita dari masyarakat Kalimantan, ada dua jenis habitat banteng di Kalimantan, yakni sopanan atau salt lick dan di rada, yakni sebuah kawasan yang berada di antara hutan dan semak. Secara sosial dan budaya, sejak zaman kerajaan sopanan sudah dikenal sebagai tempat keramat yang jadi tempat berkumpul berbagai jenis satwa.
“Jadi mereka sudah melakukan pengelolaan dengan melakukan upacara dan penaburan garam sehingga satwa-satwa itu berkumpul,” lanjutnya.
Sebagian masyarakat juga meyakini bahwa batu sopanan dapat membawa berkah. Sehingga jika mereka datang ke sopanan, mereka biasa mengambil batu untuk jimat. Di Belantikan, tanduk banteng juga menjadi salah satu alat untuk ritual namun sifatnya tidak wajib. (Widi Erha Pradana / YK-1)