Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Jadi Diri Sendiri Meski Sering Diejek Bau Bawang: Cerita Wibu Jogja (1)
19 Maret 2022 16:16 WIB
·
waktu baca 9 menitADVERTISEMENT
Galih terbahak, es kelapa muda yang sedang dia minum nyaris membuatnya tersedak. Pertanyaan ‘kenapa wibu bau bawang?’ membuatnya tak bisa menahan tawa.
ADVERTISEMENT
Stigma ‘bau bawang’ memang telah melekat pada pecinta kultur Jepang beberapa tahun terakhir yang lebih banyak dikenal dengan istilah wibu.
Dan Galih, dengan tegas mengatakan: Saya wibu!
Nama lengkapnya Galih Dwi Ramadhan, usianya kini 25 tahun. Sebagai sarjana hukum, Galih kini bekerja sebagai seorang lawyer atau pengacara di sebuah kantor layanan hukum swasta di Jogja. Ketika ada waktu senggang di kantor, menonton anime adalah aktivitas yang paling sering dia lakukan untuk membunuh waktu.
“Sering dicengin, sudah tua kok masih nonton kartun, biasanya malah aku ajakin nonton bareng aja,” kata Galih ketika ditemui di sebuah tempat makan di pusat Kota Jogja, Jumat (11/3).
Dia tidak menampik, banyak stigma negatif yang melekat pada seorang wibu: bau bawang, freak, sampai antisosial. Semua dia amini, dan tak membuatnya sedikit pun jadi rendah diri karena menjadi wibu. Galih menganggap semua omongan itu sekadar angin lalu saja, masuk kuping kanan dan keluar dari kuping kiri.
ADVERTISEMENT
“Enggak (malu dan sakit hati). Aku malah seneng, bangga kalau dibilang wibu,” lanjutnya.
Galih mulai serius. Dia mulai menjelaskan kenapa istilah bau bawang bisa melekat pada identitas seorang wibu.
Semua itu bermula ketika mereka datang ke event Jepang-jepangan, entah itu musik, cosplay, dance, dan event-event lainnya. Di event tersebut, yang biasanya digelar di dalam ruangan, hampir selalu mereka bergerak aktif, berjoget mengikuti alunan musik dan bintang tamu yang tampil di panggung. Karena banyak bergerak, apalagi di dalam ruangan yang penuh sesak, berkeringat adalah keniscayaan.
“Kalau berkeringat pasti bau dong, dari situlah ada istilah bau bawang,” ujarnya.
Tapi stigma apapun tentang wibu, termasuk bau bawang, tak akan membuat dia kesal apalagi marah. Dia sudah kebal dari stigma-stigma atau ledekan semacam itu. Dan kepada setiap orang yang dia temui, dia tidak akan segan menunjukkan dirinya bahwa dia adalah seorang wibu.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita marah, mereka bakal makin seneng, tujuan mereka ngeledek kan biar kita kesel, yaudah biarin aja nanti juga capek sendiri,” kata Galih Dwi Ramadhan.
Anime yang Membentuk Dunia Para Wibu
Fase pertama yang paling umum seseorang menjadi seorang wibu adalah menonton anime, tontonan kartun yang dibuat oleh rumah produksi Jepang. Sebutlah yang pasti diketahui oleh semua orang adalah Naruto, Detective Conan, One Piece, Kamen Rider, Ultraman, Crayon Shin-Chan, Captain Tsubasa, sampai Doraemon.
Itu hanya sedikit dari anime-anime yang paling populer dan pernah ditayangkan di televisi Indonesia. Selain itu, ada ratusan, bahkan ribuan anime mulai yang bergenre percintaan, politik, pendidikan, filsafat, sampai yang menyisipkan ideologi-ideologi tertentu.
“Dan sedikit banyak pasti anime-anime itu juga mempengaruhi pola pikir orang yang menontonnya,” kata Sandi, pemilik nama lengkap Desandi Saruindo.
ADVERTISEMENT
Sandi, 25 tahun, juga menghabiskan masa kecilnya bersama tontonan-tontonan anime yang selalu ditayangkan di televisi Indonesia tiap Minggu pagi pada masanya. Dari anime-anime itu, banyak quote-quote atau kutipan kuat yang kemudian melekat di ingatannya sampai dewasa dan perlahan mempengaruhi pola pikirnya.
Misalnya kata-kata yang diucapkan oleh Sarutobi dalam serial Naruto: “Hiduplah sesukamu, dan matilah sesukamu. Tapi ingat, lindungilah orang yang kau cinta, maka dengan itu kau bisa mati dengan tersenyum”.
Dari sepenggal kalimat itu, Sandi bisa belajar tentang apa itu kebebasan sekaligus apa itu kasih sayang dan kesetiaan.
Makin banyak anime yang ditonton, maka makin liarlah imajinasinya. Bahkan, seseorang bisa jadi seorang sufi dengan menonton anime.
“Tapi banyak yang tidak bisa menyampaikan imajinasi liarnya dengan baik, jadinya dia justru dianggap aneh sama lingkungannya lalu kayak diasingkan gitu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, para wibu cenderung sulit bergaul. Mereka akan lebih banyak hidup dalam dunia dan pikirannya sendiri, masa bodoh dengan yang orang lain katakan. Mereka akan lebih banyak diam, lebih baik menonton anime di layar handphone atau laptopnya ketimbang ngobrol dengan teman di sebelahnya.
“Tapi kalau ketemu sesama wibu, itu ceritanya enggak akan habis, mereka bisa jadi beda banget,” kata Sandi.
Kebanyakan wibu menurutnya memang agak sulit untuk bersosialisasi dengan orang baru, tapi ketika sudah bertemu dengan orang yang cocok, dia akan jadi teman bicara yang sangat menyenangkan. Tak harus seorang wibu juga, asal dia bisa menerima dan menghargai pemikiran mereka.
Awal Jadi Wibu Harus Backstreet
Jika Galih dan Sandi sejak awal tak pernah menutupi kesukaannya dengan anime dan semua hal lain tentang Jepang-jepangan, berbeda dengan Erika, 23 tahun. Dia adalah mahasiswi Arsitektur di Universitas Sebelas Maret (UNS).
ADVERTISEMENT
Layaknya anak-anak, dia juga mulai menggemari menonton anime dan membaca komik-komik manga sejak kecil. Namun saat ini dia sedang keranjingan memainkan gim Touken Ranbu, sebuah permainan petualangan dengan karakter kartun khas anime yang banyak berisi tentang pedang atau senjata-senjata khas Jepang.
Saat ini, Erika memang tak pernah sungkan lagi menunjukkan dirinya sebagai seorang wibu. Dia bahkan sering ikut acara-acara cosplay dengan memerankan salah satu karakter anime. Gantungan di kunci motornya, handphone, dan di tasnya juga ada banyak aksesoris-aksesoris berbau Jepang-jepangan.
“Awalnya aku backstreet, sembunyi-sembunyi kalau aku suka Jepang-jepangan soalnya malu,” kata Erika.
Erika tak tahu pasti kenapa saat itu dia merasa malu menunjukkan dirinya sebagai seorang wibu. Tapi kemungkinan, karena saat itu seorang perempuan menyukai anime apalagi yang bergenre petualangan masih dianggap tak biasa.
ADVERTISEMENT
Tapi ketika sudah masuk SMA sekitar tahun 2015an, dia mulai bertemu dengan teman-teman cewek yang ternyata juga seorang anime.
“Udahlah, klop, sudah mulai enggak malu-malu lagi malah makin ikut banyak kegiatan-kegiatan kayak cosplay,” ujarnya.
Semakin dipelajari, ternyata dunia perwibuan semakin membuat Erika jatuh cinta, terutama setelah menemukan teman-teman yang satu frekuensi dan menyenangkan. Dia belum pernah merasakan lingkaran pertemanan senyaman ini sebelumnya, dimana dia bisa menjadi dirinya sendiri.
“Enggak perlu lagi malu-malu atau nutup-nutupin, benar-benar merasa bisa jadi diri sendiri dan enggak ada yang menganggap aneh,” kata Erika.
Sekarang Aja Orang-orang Pada Cerewet Sama Wibu
Di antara wibu-wibu di Jogja yang masih aktif mengikuti kegiatan Jepang-jepangan sampai saat ini, Rewangga Gutama adalah salah satu yang paling senior. Usianya 29 tahun, sudah beristri, dan sekarang bekerja sebagai seorang pegawai di sebuah kantor pemerintahan di Bantul.
ADVERTISEMENT
Tak jelas kapan dia menyukai Jepang-jepangan, tapi dia sudah mulai mengikuti event-event cosplay sejak tahun 2008-an. Saat itu, event tidak sesering sekarang, dan akses atas kostum masih sangat sulit dan mahal. Tak seperti sekarang, jika belum mampu membuat atau membeli kostum sendiri, sudah banyak tersedia banyak persewaan kostum dan aksesoris yang dibutuhkan untuk cosplay.
“Bisa dibilang masih norak lah, karena memang seadanya banget, perlengkapan juga masih mahal-mahal banget, tapi dulu malah lebih sehat,” kata Tama, sapaan akrabnya.
Lebih sehat yang Tama maksud adalah tidak ada stigma-stigma negatif yang melekat pada seorang wibu seperti bau bawang, freak, antisosial, dan sebagainya. Menonton anime dan membaca manga adalah hal yang wajar dan hampir dilakukan semua anak pada masa itu, dan cosplay dipandang sebagai hobi kreatif dan mahal. Tama hampir tak pernah dengar suara-suara sumbang tentang wibu.
ADVERTISEMENT
“Sekarang aja orang-orang pada cerewet, suka nyinyirin wibu, kalau dulu itu enggak ada,” lanjutnya.
Saat itu, bahkan belum ada istilah wibu. Para pecinta Jepang-jepangan saling terkoneksi melalui radio, mereka biasa request lagu dan saling berkirim salam, bahkan berbagi nomor telepon lewat radio.
Tidak terlalu jelas kapan istilah wibu mulai banyak dipakai dan orang-orang mulai menstereotip wibu bau bawang, freak, dan sebagainya. Tapi Tama menduga, hal itu terjadi ketika teknologi informasi semakin canggih dan memudahkan semua orang bisa berkomentar sesukanya melalui dua jempol mereka.
“Orang-orang makin gampang komentar kan, terus itu bisa gampang banget menyebarnya, jadilah stereotip-stereotip tentang wibu itu,” kata Tama.
Makin Wibu Makin Selow
Jika Tama adalah salah satu wibu paling senior di Jogja, Galih Restu termasuk yang paling muda. Usianya baru 19 tahun dan sekarang masih duduk di bangku kelas 3 STM. Namun, di antara yang lain, dia termasuk yang paling aktif di setiap event.
ADVERTISEMENT
Restu mulai mengikuti anime-anime Jepang sekitar 2009, tapi dia belum tahu apa itu wibu. Dia hanya jadi penikmat, apalagi saat itu usianya masih sangat belia. Dia mulai merasakan stigma-stigma negatif tentang wibu sekitar tahun 2012 sampai 2013.
Sebagai generasi Z, Restu memang sudah berkenalan dengan internet sejak dini. Ketika masih SD, dia sudah banyak berdiskusi di dalam forum-forum seperti di Kaskus tentang dunia perwibuan. Dari sanalah dia tahu tentang stigma-stigma itu, sekaligus belajar bagaimana menyikapinya.
“Awal-awal malu banget, marah-marah di media sosial kalau diledekin, sekarang sudah dibawa santai aja sih, malah malu kalau ingat dulu ngapain sih harus marah-marah,” kata Restu.
Menurutnya, wibu yang masih kesal jika diledek biasanya adalah wibu-wibu baru yang baru setahun dua tahun suka Jepang-jepangan. Untuk wibu-wibu ‘senior’, mereka akan lebih santai dengan semua ledekan dan stigma. Hal itu menurut dia bisa dilihat di sosial media, saat diejek, wibu biasanya akan menanggapi ejekan itu dengan santai.
ADVERTISEMENT
“Makin wibu seseorang itu makin selow, bodo amat orang mau ngomong apa,” ujarnya.
Dia tidak menampik jika ada juga beberapa wibu (bahkan menurut dia banyak) yang jadi semacam ‘oknum’. Merekalah yang kemudian ‘mencoreng’ nama wibu, karena satu atau dua dari mereka yang freak atau bau bawang akan digeneralisir ke seluruh wibu. Padahal, banyak juga wibu yang wangi dan bisa bersosialisasi secara normal dengan lingkungannya.
“Tapi enggak peduli juga sih, toh kita kan enggak sedang lagi membuktikan apapun dengan orang-orang, kita cuma melakukan apa yang kita sukai dan apa yang bikin kita nyaman, dan itu enggak merugikan siapapun,” kata Galih Restu.
Galih Dwi Ramadhan, Sandi, Erika, Tama, dan Galih Restu sampai saat ini masih aktif cosplay di event-event Jepang-jepangan di Jogja, meskipun selama pandemi ini sangat jarang ada event. Mereka tergabung dalam sebuah forum atau kelompok yang mereka namai Werewolf Cosproject.
ADVERTISEMENT
Terakhir mereka tampil di event Sleman City Hall tahun kemarin, yang kemudian videonya viral karena jumlah penonton yang membludak. Mereka berharap, pandemi lekas berakhir sehingga event-event Jepang-jepangan bisa digelar lagi dan mereka bisa seru-seruan lagi dengan para wibu yang ada di seluruh Jogjakarta. (Widi Erha Pradana / YK-1)
*Ini cerita pertama dari 2 seri cerita wibu di Jogja. Simak seri kedua: