news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jadi Pecundang saat Mendaki Gunung Kembang Wonosobo di Detik Terakhir 2021 (2)

Konten Media Partner
6 Januari 2022 15:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ini kisah lanjutan 'Jadi Pecundang di Gunung Kembang Wonosobo (1).'
Gunung Sindoro dan Sumbing tampak dari puncak Gunung Kembang. Ketinggian Gunung Kembang kira-kira hanya separo dari Sindoro-Sumbing, tapi jalur pendakiannya yang curam membuat kami putus asa. Foto: Widi Erha Pradana
Kami memulai pendakian terlalu malam. Pukul setengah sepuluh kami baru mulai berjalan dari Basecamp Pendakian Gunung Kembang via Blembem. Sebenarnya ada fasilitas truk dari basecamp sampai perbatasan kebun teh dan hutan (hampir setengah perjalanan). Namun karena malam itu hanya kami berdua yang mendaki, truk tak berani mengantar, apalagi selepas hujan membuat jalan yang menanjak dan berbatu semakin licin.
ADVERTISEMENT
Kami juga sebenarnya sudah tiba di basecamp sejak maghrib. Namun karena kami tak membawa surat keterangan sehat, kami mesti menunggu petugas kesehatan basecamp yang sedang keluar. Kata mereka, hanya keluar sebentar. Tapi ternyata petugas tersebut baru kembali ke basecamp sekitar pukul 21.00 WIB.
Sebelum melakukan pengecekan kesehatan, petugas lebih dulu melakukan pengecekan barang bawaan. Mulai dari peralatan pendakian, sampai logistik. Tak ada satu item logistikpun yang terlewat, dan semua dihitung perbiji. Permen dihitung perbuah, sosis, sampai rokok pun dihitung berapa bungkus dan berapa batang yang kami bawa.
Aturan seperti ini memang sering terdengar di beberapa gunung lain. Namun sejauh pengalaman saya, baru Basecamp Pendakian Gunung Kembang via Blembem ini yang benar-benar menerapkannya secara ketat. Bukan hanya pengecekan ketika berangkat, ketika pulang, seluruh sampah yang kami bawa juga kembali diperiksa, apakah sesuai dengan yang dibawa ke atas.
ADVERTISEMENT
Semua sampah diperiksa satu per satu, bahkan bagian bungkus bumbu mie instan yang tersobek pun ditanyakan oleh petugas. Kami sempat diinterogasi karena di sampah kami terdapat dua bungkus Beng-Beng yang kami bawa, padahal dalam daftar logistik yang kami bawa tidak ada jajanan itu. Kami lupa, bahwa di tas kecil kami ada Beng-Beng, kembalian kami membeli air mineral di sebuah warung dekat basecamp.
Di sepanjang trek jalur pendakian tak ada sama sekali sampah bungkus makanan atau snack yang biasa dijumpai di jalur pendakian gunung lainnya. Foto: Widi Erha Pradana
“Maksudnya mau nyembunyiin logistik apa gimana?” kata seorang petugas pemeriksa sampah dengan ketus, yang kami ketahui bernama Pak Yayang.
“Beneran lupa Pak, kalau niat nyembunyiin ngapain sampahnya kita bawa turun lagi,” jawab saya yang masih kelelahan dan menahan sakit di sekujur tubuh.
Beruntung perdebatan itu tak memanjang. Selesai memeriksa sampah-sampah kami, Pak Yayang bercerita semua aturan itu sama sekali tak bermaksud untuk merepotkan pendaki. Sebaliknya, itu justru bentuk pelayanan basecamp supaya para pendaki tetap bisa nyaman sepanjang perjalanan tanpa sampah.
ADVERTISEMENT
“Kalau dibilang repot, dipikir kami enggak repot harus ngitungin sampah satu per satu?” ujarnya.
Benar saja, sepanjang pendakian kami sama sekali tak menemukan satupun sampah. Tak ada puntung rokok, tak ada bungkus Madurasa, tak ada sampah tisu basah yang pasti selalu kami temui di jalur pendakian gunung sebelumnya.
“Kalau buat pendaki baru, mungkin kesannya aturannya sangat ketat. Tapi sebenarnya beginilah seharusnya,” lanjut dia.
Ekosistem flora hutan Gunung Kembang yang masih terjaga. Foto: Widi Erha Pradana
Konsekuensinya, Gunung Kembang tak populer di kalangan pendaki. Dalam sebulan, rata-rata jumlah pendaki setiap bulan hanya sekitar 200 orang, jumlah yang mungkin bisa dicapai Gunung Prau (tetangga Kembang) hanya dalam sehari. Tapi itu tak jadi soal, bagi Yayang, jumlah pendaki memang harus dibatasi.
Tak hanya soal sampah. Mereka juga sengaja membuat jalur yang jauh dari mata air. Tujuannya, supaya kegiatan pendakian tidak merusak mata air yang ada di Gunung Kembang. Kepada para pendaki, mereka selalu menyampaikan bahwa di sepanjang pendakian tak ada mata air, karena itu pendaki mesti mencukupi kebutuhan airnya sedari bawah.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan pengalaman kami, kalau mata air ada di dekat jalur pendakian, tidak sampai tiga bulan sudah rusak, sudah jadi kakus, kan kasihan masyarakat di bawah yang juga bergantung sama mata air itu,” lanjutnya.
Selain keamanan pendaki, keberlanjutan ekosistem memang jadi prinsip Yayang dan petugas basecamp Gunung Kembang via Blembem. Hutan di Gunung Kembang bisa dibilang sebagai hutan dengan ekosistem paling beragam di antara gunung lain di sekitarnya. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi dengan pepohonan yang sangat rapat dan beragam. Masih banyak juga pohon-pohon besar yang seluruh batangnya diselimuti oleh lumut yang tebal.
“Hutannya memang masih heterogen, tapi yang paling banyak ditemui ada namanya pohon puspa, yang bagus juga untuk menyerap air,” ujar Yayang.
Rasa lega luar biasa saat berada di puncak Gunung Kembang menghadap Gunung Sumbing. Foto: Willy.
Keragaman satwa di Gunung Kembang memang masih cukup bagus. Berbagai jenis burung masih banyak dijumpai. Tapi yang perlu diwaspadai adalah babi hutan, sampai-sampai pada sebuah gerbang memasuki hutan tertulis “Selamat Datang di Kandang Celeng”. Beruntung, sepanjang perjalanan kami tak bertemu dengan ‘bagas’ alias babi ganas ini.
ADVERTISEMENT
“Kita ini kan tamu, jadi jangan sampai tamu itu merusak rumah tempat kita bertamu, karena nanti pasti yang punya rumah akan marah,” kata Pak Yayang.
Ada kelegaan luar biasa berbicara dengan Pak Yayang, mengingat sebelumnya kami mengalami apa yang kami sebut ‘siksaan gunung’ yang maha dahsyat yang lahir dari tipuan nama tanjakan mesra.
Simak cerita selanjutnya, di seri ketiga yang jadi seri terakhir pendakian Gunung Kembang, kali ini. (Widi Erha Pradana / YK-1)