Jadi Pecundang saat Mendaki Gunung Kembang Wonosobo di Detik Terakhir 2021 (3)

Konten Media Partner
6 Januari 2022 15:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ini cerita terakhir dari seri Jadi 'Pecundang di Gunung Kembang Wonosobo.' Kedua kakiku sudah pincang, tinggal satu tanjakan lagi, Tanjakan Mesra namanya. Tapi jangan tertipu namanya.
Rasa lega luar biasa saat berada di puncak Gunung Kembang menghadap Gunung Sumbing. Foto: Willy.
Rasa sakit di kedua paha membuat saya terbangun. Pagi belum genap jam delapan. Semalam, kami memang sepakat untuk merelakan sunrise, mengingat fisik yang sangat lelah. Ketika saya membuka pintu tenda, matahari sudah tinggi. Dan saya langsung disajikan pemandangan Sindoro dan Sumbing yang berdiri bersebelahan, sangat anggun sekaligus gagah.
ADVERTISEMENT
Semalam, kami tiba di Sabana 1, tempat pertama yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda pukul dua dini hari. Tak ada kata lain yang kami ucapkan selain ungkapan syukur. Karena hujan masih turun, kami langsung bergegas mendirikan tenda supaya bisa lekas mengistirahatkan badan. Yang semula berniat masak, kami hanya membuat segelas susu sebagai penghangat dan memakan sepotong roti untuk mengganjal perut.
Sudah tak ada tenaga untuk masak, bahkan sekadar masak mie instan. Setelah menghabiskan berapa batang rokok, kami langsung mengambil sikap tidur di dalam sleeping bag masing-masing.
Karena sejak semalam perut tak terisi, kami menyempatkan memasak mie instan untuk mengisi perut sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak. Berbekal air minum satu botol kecil, rokok, dan sepotong roti sisa semalam, kami melanjutkan perjalanan tepat pukul sembilan.
ADVERTISEMENT
Tanpa beban berat seperti semalam, kami berharap perjalanan menuju puncak Kembang akan lebih ringan. Nyatanya sama sekali tidak. Tanjakan menuju puncak semakin sadis, ditambah kedua kaki saya yang sudah pincang.
Jalur menuju ke puncak lebih banyak didominasi oleh semak belukar dan ilalang yang tingginya melebihi kepala kami. Karena lebih terbuka, kami bisa lebih leluasa menikmati pemandangan berupa Gunung Sumbing, Sindoro, serta perkampungan di kaki gunung.
Siksaan yang sebenarnya datang ketika kami tiba di sebuah papan petunjuk dengan tulisan ‘Tanjakan Mesra’. Dari peta pendakian, ini adalah tanjakan terakhir sebelum kami sampai di puncak. Tapi, jangan tertipu dengan namanya. Kata petugas di basecamp, Tanjakan Mesra punya kepanjangan: Tanjakan Menyiksa Raga.
Sebuah tali telah disedikan di tanjakan mesra. Meski sudah ditolong tali, tak mudah untuk menaklukkan kemiringan tajam tanjakan ini dengan kaki yang sudah lelah. Foto: Widi Erha Pradana
Ya, kami langsung disuguhi dengan sebuah tanjakan yang kemiringannya sekitar 60 derajat. Dengan sisa-sisa napas yang ada dan langkah yang semakin menyakitkan, perlahan kami berusaha melewati tanjakan itu. Saking curamnya, di beberapa titik sampai disediakan tali tambang untuk membantu pendaki berjalan. Tanpa tambang itu, tentu kami mesti berjalan merangkak.
ADVERTISEMENT
“Benar-benar mesra, kita harus berpelukan sama tanah,” celoteh Willy ketika kami sama-sama menjatuhkan tubuh di salah satu ujung tanjakan yang sedikit landai.
“Tahun baru bukanya zina malah nyiksa diri kayak gini,” jawab saya membalas celotehannya.
Kami berusaha mengatur napas yang makin tersengal, sembari memijat paha dan lutut yang makin ngilu. Dari kejauhan, seekor elang terbang meliuk-liuk di antara punggungan bukit. Dia terbang, menembus kabut putih yang berarakan untuk mencari mangsa. Melihatnya terbang, saya merasa iri. Bahagia sekali jika punya sayap yang kuat seperti dia.
Kepakan elang itu seperti memberikan suntikan energi untuk kami melanjutkan perjalanan. Langkah demi langkah menjadi sangat berharga. Hingga akhirnya, pukul sepuluh lebih sedikit, kami tiba di Puncak Gunung Kembang, dengan ketinggian 2340 mdpl. Ya, Kembang hanya gunung mungil dengan ketinggian hanya 2.000-an mdpl. Tapi, don’t judge mountain by its mdpl. Tak percaya, buktikan saja sendiri.
Kelegaan luar baisa saat berada di puncak Gunung Kembang. Di belakang Gunung Sindoro tampak menjulang tinggi. Foto: Widi Erha Pradana
Kami langsung merebahkan tubuh yang sudah kelelahan di atas tanah. Mengatur napas sembari terus mengucapkan syukur: Alhamdulillah.
ADVERTISEMENT
Gunung Sindoro dan Sumbing jadi pemandangan utama yang menyambut kehadiran kami. Kedua gunung itu memang tampak jauh lebih tinggi dan besar. Mereka seperti sedang mengejek kami: kalian baru naik Kembang aja sudah mau KO, gimana mau bertamu ke rumah kami?
Saya balas, saya pernah mendaki Sindoro maupun Sumbing. Tapi maaf, saat itu saya tak sampai merasa hampir putus asa seperti saya mendaki Kembang semalam.
Tapi sekejam apapun jalur pendakiannya, Kembang membayar tuntas dengan keindahan yang dia sajikan. Di atas, kami hanya mengambil beberapa foto dan mengisap dua batang rokok untuk kemudian pulang. Prinsip kami masih sama: sejauh apapun pergi, tujuan terakhir adalah pulang.
“Naiknya udah kayak mau mati, di puncak cuma 15 menit,” gerutu Willy ketika kami mulai perjalanan turun. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT