Jalan Panjang Mangga Harum Manis Sampai ke Meja Makan Kita

Konten dari Pengguna
22 Oktober 2019 11:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Senin (21/10) kemarin stok mangga di Pasar Buah Gemah Ripah Gamping Sleman masih melimpah. Mangga-mangga ini banyak didatangkan dari Bojonegoro Jawa Timur. Foto oleh : Widi Erha.
Sengatan terik matahari siang tak mengurangi aktivitas di pasar induk buah dan sayur Gemah Ripah Gamping, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di sebelah sana, seseorang mengangkat karung berisi buah ke jok motor, memilih, dan memilah dagangannya, di kejauhan beberapa orang menurunkan kotak kayu berisi buah-buahan segar dari atas truk.
ADVERTISEMENT
Setiap hari sepanjang tahun, keberadaan beberapa jenis buah mendominasi pasar ini, di antaranya buah naga, semangka, jeruk, dan pada 3 bulan terakhir, mangga pun melimpah. Mangga memang tak bisa dijumpai sepanjang tahun, Oktober ini jadi puncak terakhir musim mangga.
“Kalau bulan ini masih banyak mangga. Nanti kalau mulai masuk Januari atau Februari biasanya benar-benar sudah enggak ada mangga. Lain dengan yang lain kayak jeruk itu kan selalu ada,” kata Manajer Koperasi Gemah Ripah Gamping, Bambang Rahardjo, 67 tahun, Senin (21/10).
Menurut Bambang, awal musim mangga terjadi pada Agustus, sementara puncaknya pada September sampai Oktober. Sementara pada November, suplai mangga mulai turun. Dalam sehari, ada sekitar 50 ton mangga yang masuk ke Pasar Gemah Ripah Gamping.
ADVERTISEMENT
“Satu truk itu kan rata-rata lima ton. Sehari bisa 10 truk, jadi rata-rata sehari bisa sampai 50 ton,” kata Bambang.
Hampir separuh dari stok itu akan menyuplai kebutuhan di Yogyakarta, sementara sisanya didistribusikan ke beberapa wilayah di Jawa Tengah. Menurut Bambang, jumlah mangga yang ada di Pasar Gamping sebenarnya masih belum bisa mencukupi kebutuhan di DIY. Sebab, sejauh ini, tren permintaan mangga selalu meningkat. Namun, dia tak tahu pasti, berapa total kekurangannya karena pihak pasar pun tak memiliki data secara valid.
Perjalanan Panjang
Salah seorang pedagang di Pasar Buah Gemah Ripah Gamping Sleman DIY, Anip Mushibin, menunjukkan mangga harum manis yang menjadi pengisi utama kantongnya pada bulan Oktober ini. Foto oleh : Widi Erha
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa salah satu jenis buah yang mendominasi relief di Borobudur adalah mangga. Artinya, sudah sejak lama manusia Jawa menanam dan membudidayakan mangga. Diperkirakan, mangga berasal dari sekitar perbatasan India dan Burma dan menyebar ke Asia Tenggara sejak 1500 tahun silam. Kini, mangga sangat mudah dijumpai di pekarangan warga di Indonesia. Tapi hanya beberapa daerah tertentu yang jadi pemasok utama mangga di pasar buah nasional.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesibukan orang-orang di pasar, Susanto, 47 tahun, tampak sedang mengawasi dua orang keneknya membongkar puluhan boks berisi mangga dari sebuah truk di Pasar Gamping. Pasar Gemah Ripah Gamping adalah sentra pasar buah di Yogya dan sekitarnya. Buah yang ada di pasar ini berasal dari seluruh daerah di Indonesia. Beberapa jenis buah didatangkan dari impor, seperti anggur, jeruk, dan apel. Tapi mangga selalu lokal.
“Dari Bojonegoro. (Beratnya) sekitar enam ton-an,” kata Susanto, sopir truk itu, ketika ditanya dari mana mangga-mangga itu diangkut.
Di Bojonegoro, Susanto tidak langsung mengambil dari petani. Dia hanya bertugas untuk mengangkut mangga-mangga itu dari tengkulak di sana menuju pasar Gemah Ripah di Gamping. Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, Susanto biasanya berangkat dari Bojonegoro selepas subuh dan sampai di Gamping menjelang dhzuhur.
ADVERTISEMENT
“Kalau lewat tol tujuh jam paling cepet. Kalau lewat bawah, ndak pakai tol, delapan jam setengah sampai sembilan jam,” kata dia.
Selain dari Bojonegoro, Susanto juga kerap mengangkut mangga dari Madiun dan Nganjuk. Siang itu, truk Susanto satu-satunya pembawa mangga di pasar Gamping. Beberapa truk lain sedang menurunkan muatannya yang berisi buah naga.
Manajer Koperasi Gemah Ripah, Bambang, mengatakan, mangga-mangga yang masuk ke pasar Gemah Ripah mayoritas berasal dari sejumlah daerah di Jawa Timur seperti Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Malang, Bojongoro, dan beberapa daerah lainnya. Bahkan, ada yang diangkut dari luar jawa seperti Bali, Madura, hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mangga-mangga itu tidak bisa lama-lama di pasar Gemah Ripah karena sudah melalui jalan yang panjang. Jika tak cepat-cepat sampai ke tangan konsumen, bisa-bisa membusuk dan pedagang merugi.
ADVERTISEMENT
“Sampai di sini langsung laku biasanya, langsung diangkut lagi. Soalnya masanya dia cuma tiga hari, lebih dari itu busuk,” kata Bambang.
Hanya dalam hitungan jam, para pedagang dari berbagai daerah akan mengangkut mangga-mangga itu untuk dijual kembali. Selain diangkut ke seluruh wilayah di Yogyakarta, banyak juga pedagang yang kulakan mangga dari Jawa Tengah seperti Klaten, Magelang, Purworejo, Kebumen, Banyumas, Cilacap, bahkan sampai Tasik Malaya, Jawa Barat.
Semua buah dan sayur yang di sini memang dijual grosiran, untuk dijual lagi. Sehingga, jangan harap bisa membeli sekilo atau dua kilo mangga di pasar Gemah Ripah. Itu adalah aturan dari koperasi yang mengelola pasar Gemah Ripah.
Nggak boleh orang beli di sini eceran, karena akan mematikan (pedagang) yang di pinggir jalan,” ujar Bambang.
ADVERTISEMENT
Dari pasar Gemah Ripah, mangga-mangga ini kemudian diangkut ke berbagai tempat lain, ada yang ke pasar tradisional, ada yang di warung-warung pinggir jalan, ada yang dijual keliling, atau warung-warung jus buah. Setelah itu, barulah mangga sampai di meja makan.
Harum Manis Laris Manis
Dari sejumlah jenis mangga yang ada, harum manis paling mendominasi. Selain rasanya yang manis, harga mangga harum manis juga masih bersahabat dengan kantong pembeli. Kata Bambang, bagi petani harum manis juga merupakan jenis mangga yang perawatannya paling gampang jika dibandingkan jenis lain.
“Harum manis (yang paling laris). Manalagi juga laris, tapi produksinya sedikit. Kalau Jawa Timur kan kebanyakan harum manis,” kata Bambang.
Seorang pedagang yang di lapaknya terdapat banyak mangga, Suraji, 47 tahun, juga mengatakan demikian. Meski ada beberapa jenis lain, namun yang paling banyak dia jual adalah harum manis. Selain stoknya yang melimpah, penggemarnya juga banyak.
ADVERTISEMENT
“Ada (mangga) kuweni, nanas, harum manis, jawa, gadug, cengkir, manalagi. Tapi yang paling banyak harum manis,” katanya.
Pedagang lain, Anip Musbihin, 40 tahun, yang memang fokus berjualan mangga juga mengatakan demikian. Harum manis masih menjadi primadona di pasar Gemah Ripah. Dalam sehari, di kiosnya saja ada lima sampai enam ton mangga yang masuk dan keluar. Sebenarnya dia bisa menjual lebih, namun apa daya, stoknya terbatas.
Sebenarnya ada jenis mangga lain yang sedang naik daun, yaitu mangga gedong kuning yang biasa disuplai dari Jawa Barat seperti Indramayu atau Cirebon. Bentuknya bulat dengan warna kemerahan di bagian pangkal buahnya. Tapi di Jogja, mangga jenis itu kurang populer, harga jadi persoalan utamanya.
“Di sini satu kilonya bisa sampai Rp 27 ribu, lumayan mahal. Jadi pasarnya kurang,” kata Anip yang pertama kali jualan mangga di Jakarta pada 2003.
ADVERTISEMENT
Di Gemah Ripah, stok untuk mangga-mangga asal Jawa Barat bisa dibilang sangat sedikit. Bambang mengatakan, selain harganya yang lebih tinggi, rasa khas mangga Jawa Barat juga kurang pas dengan selera orang Jogja.
“Orang Jogja kan sukanya yang legi (manis). Sedangkan mangga Jawa Barat, kayak Indramayu itu kan kecut (asam), jadi kurang cocok sama lidah orang Jogja,” kata Bambang.
Bambang juga menjelaskan bahwa seluruh mangga yang dijual di sana adalah mangga lokal, asli dari petani dalam negeri.
Nggak ada yang impor,” katanya.
Kemarau Panjang Bikin Harum Manis Makin Manis
Kemarau panjang tahun ini ternyata justru membuat hasil panen mangga semakin bagus. Secara kualitas, rasa mangga menjadi lebih manis.
“Kalau kemarau justru malah semakin bagus, semakin manis rasanya,” kata Bambang.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya lebih manis, menurut Bambang, di musim kemarau seperti sekarang mangga juga tidak mudah busuk. Anip mengamini pernyataan Bambang. Menurutnya, seperti kebanyakan buah pada umumnya, mangga juga menjadi lebih manis jika dipanen saat musim kemarau.
“Tapi, ukurannya menjadi lebih kecil, soalnya kan kadar airnya berkurang,” kata Anip.
Namun, perubahan ukuran itu tidak signifikan, sehingga tak jadi masalah serius bagi Anip dan para pedagang lainnya.
Stok Melimpah, Harga Payah
Di awal musim, seperti di bulan-bulan Agustus, harga mangga rata-rata dari pedagang di pasar Gemah Ripah bisa mencapai Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Namun, saat puncak-puncaknya seperti sekarang, harganya turun drastis, bahkan tidak sampai setengahnya.
“Kalau sekarang hampir lima ribuan (per kilogram),” kata Anip.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga diamini Suraji yang juga sangat merasakan turunnya harga tersebut. Sebenarnya fenomena semacam ini bukan hal baru. Bambang juga mengatakan bahwa turunnya harga sebuah komoditas merupakan hal wajar ketika musim panennya tiba.
“Semakin banyak stoknya, otomatis kan harganya akan turun,” katanya.
Itu artinya, harga dari tangan petani tidak sampai Rp 5 ribu per kilogram. Ketika ditanya, Susanto mengaku tidak tahu berapa harga dari petani. Dia mengaku hanya bertugas mengantar mangga-mangga itu saja, bukan dia yang membeli dari petani.
Sementara di toko-toko buah modern, mangga harum manis dijual dengan harga antara 1.600 sampai 1.850 rupiah tiap 100 gram. Itu artinya, satu kilogram harganya di kisaran Rp 16 ribu sampai Rp 18.500. Apa yang membuat disparitas harga di petani dan toko buah modern itu bisa sangat jauh? Kata Bambang, selain kemasan, ongkos perjalanan panjang mangga-mangga itu tentu membuat harganya kian ke hilir kian tinggi.
ADVERTISEMENT
Ada jalan panjang, terentang dari 1500 tahun yang lalu, sehingga mangga, bisa terhidang di meja makan kita di siang yang terik ini. Mari makan mangga, lokal punya, dan Oktober ini jadi bulan-bulan terakhir kita bisa berpesta mangga.
(Widi Erha Pradana / YK-1)