Konten Media Partner

Jangan Dikira Vaksin Bisa Nyuntik Sendiri, Ini Kisah Jimpitan Vaksin di Jogja

26 November 2021 18:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jangan dikira kalau sudah ada vaksin lalu bisa ada vaksinasi. Vaksin kan enggak bisa jalan sendiri, nah ini kendala yang tidak banyak dimengerti.
Tim Jimpitan Vaksin Sonjo di Bantul berfoto seusai. Foto: Dok. Dr. Glory
zoom-in-whitePerbesar
Tim Jimpitan Vaksin Sonjo di Bantul berfoto seusai. Foto: Dok. Dr. Glory
Target Pemda DIY untuk bisa mencapai angka vaksinasi 100 persen pada November ini makin sulit dicapai, sebab dari target 2.879.699 penduduk baru sekitar 96 persen yang mendapatkan vaksin dosis pertama per 24 November. Hanya Kota Jogja yang telah mencapai target 100 persen dosis pertama, diikuti Sleman yang baru mencapai 91,03 persen, Kulon Progo 84,99 persen, Bantul 81,72 persen, serta Gunungkidul sebesar 77,41 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk vaksinasi dosis kedua di DIY sudah mencapai 84,58. Angka vaksinasi pertama dan kedua di DIY memang sudah sangat tinggi dibanding nasional yang masih berada di kisaran 60 persen untuk dosis pertama dan 40 persen untuk dosis kedua.
Kecepatan vaksinasi dosis 1 dan 2 akan sangat berpengaruh pada kekebalan kelompok untuk menahan laju varian baru maupun untuk segera memberi kesempatan bagi penduduk yang vaksin pada medio sebelum Juli 2021 untuk segera mendapat booster.
Ya, antibodi yang dihasilkan dari vaksinasi COVID-19 akan menurun seiring berjalannya waktu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penurunan tersebut terjadi 6 bulan usai vaksin lengkap dua dosis. Menurut penelitian Sinovac yang dirilis Juli lalu, memang terbukti adanya penurunan setelah 6 bulan. Di tengah pandemi yang belum usai, pemberian booster tentu menjadi penting. Apalagi dengan adanya penurunan antibodi tersebut.
ADVERTISEMENT
Ditemui awak media di kompleks Kepatihan Pemda DIY, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan bahwa kondisi geografis DIY menjadi salah satu faktor utama terhambatnya vaksinasi di DIY.
“Memang problemnya di Gunungkidul sama di Kulon Progo. Karena bagi orang tua sama yang difabel itu harus diparani (didatangi),” kata Sultan, Senin (22/11).
Pengalaman Puskesmas Bantul
Vaksinasi di Puskesmas Bambanglipuro, Bantul. Foto: Dok. dr. Tarsius Glory
Kepala Puskesmas Bambanglipuro, Bantul, dr Tarsisius Glory memaparkan masalah yang dihadapi desa-desa di DIY dan tentu saja di seluruh Indonesia terkait masalah kecepatan vaksinasi.
Selama ini, progres vaksinasi di desa-desa memang jauh lebih lambat ketimbang di perkotaan. Pasalnya, di kota-kota banyak dilakukan vaksinasi massal yang dilakukan pemerintah maupun dibantu swasta, dengan kuota mencapai ribuan.
Sementara di desa hanya mengandalkan vaksinasi puskesmas namun kuotanya hanya sekitar 200 sampai 300 dosis tiap hari.
ADVERTISEMENT
Sedangkan saat ini, masih banyak penduduk di desa yang belum bisa menjangkau layanan vaksinasi di kota karena masalah jarak, biaya, atau karena sudah lanjut usia.
“Kalau begitu kapan ini mau selesai?” kata dr Glory ketika dihubungi, Senin (22/11).
Melihat kenyataan itu, Glory kemudian menginisiasi gerakan serbuan vaksin di desa. Bersama tiga pimpinan desa yang ada di wilayah kerjanya, yakni Desa Sidomulyo, Sumbermulyo, serta Mulyodadi, Glory bekerja sama untuk mengadakan vaksinasi massal dengan target 1.000 dosis tiap event dengan cara gotong royong. Hasilnya, ternyata masyarakat sangat antusias, dari target 1.000 dosis, minimal ada 1.200 masyarakat yang mendaftar.
Setelah menghitung total biaya penyelenggaraannya, ternyata untuk tiap dosis biayanya hanya sekitar Rp 5 ribu. Artinya, untuk melakukan vaksinasi 1.000 dosis, hanya dibutuhkan dana sekitar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Biaya itu sangat kecil, sebab semua tenaga yang terlibat, mulai dari dokter, inputer, tenaga tensi, bidan perawat, semua bersifat sukarelawan,
ADVERTISEMENT
“Kami membuktikan bahwa biaya vaksinasi di desa itu murah, dengan catatan tidak boleh meninggalkan budaya kita, gotong royong, jangan semuanya harus pakai uang,” lanjutnya.
Jimpitan untuk Vaksin
Salah seorang relawan Sonjo. Foto: Dok. Sonjo
Tarsisius Glory kemudian digandeng oleh Sonjo, sebuah gerakan penanganan COVID-19 di DIY, untuk memasifkan gerakan serbuan vaksin melalui program jimpitan vaksin. Melihat efisiennya penggunaan dana untuk vaksinasi melalui gerakan itu, membuat para donatur sangat antusias untuk berdonasi.
“Rekornya itu Rp 6 juta terkumpul hanya dalam 6 menit, karena mereka melihat sangat murah ternyata, dengan uang segitu sudah bisa vaksin 1.000 dosis,” kata Glory.
Namun, Glory menolak jika ada satu orang yang ingin langsung menutup biaya vaksinasi, misal langsung berdonasi Rp 6 juta. Sebab, hal itu akan membuat program jimpitan yang basisnya adalah gotong royong tidak akan berjalan. Glory ingin memberikan kesempatan kepada para donatur lain untuk turut berdonasi dalam pelaksanaan program tersebut.
ADVERTISEMENT
“Karena donatur banyak sekali, kita penginnya budaya gotong royong, bukan hanya dikuasai satu orang saja. Saya bilang, yang ingin masuk surga itu juga banyak, bukan hanya kamu,” lanjutnya.
Selama ini, lambatnya vaksinasi di desa-desa menurut Glory karena belum berjalannya koordinasi dan komunikasi pemangku kepentingan wilayah, terutama puskesmas dan lurah yang punya otoritas atas masyarakatnya. Padahal, penyelesaian pandemi bukan hanya urusan tenaga kesehatan, tapi juga semua sektor. Jika pandemi berhasil ditangani, maka sektor lain seperti pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan pendidikan juga dapat diselesaikan.
Sampai 24 November, program jimpitan vaksin sudah berhasil mengumpulkan donasi sekitar Rp 678 juta. Donasi itu telah digunakan untuk melaksanakan 93 kali kegiatan vaksinasi massal dengan total yang sudah tervaksin sebanyak 95.489 orang.
ADVERTISEMENT
“Jadi per orang hanya sekitar Rp 7 ribu saja. Kalau hanya mengandalkan puskesmas itu enggak akan selesai-selesai, harus ada keterlibatan semua sektor,” kata Glory.
Pekerjaan Para Marvel
Bantuan dari salah satu BUMN untuk Jimpitan Sonjo. Foto: Dok. Sonjo
Inisiator gerakan Sambatan Jogja (Sonjo), Rimawan Pradiptyo, mengatakan apa yang dilakukan oleh dokter Glory dan tiga lurah lain tidak masuk akal. Mereka ibarat superhero dalam film-film Marvel. Pasalnya, selama ini pelaksanaan program vaksin massal yang dilakukan di kota paling tidak membutuhkan biaya hingga Rp 20-Rp 25 juta untuk tiap 1.000 dosis.
“Itupun hotel dan EO sudah tidak bayar,” kata Rimawan Pradiptyo.
Selama ini, pemerintah memang menyuplai vaksin, alat suntik, dan alkohol swab untuk vaksinasi, namun tidak ada biaya untuk operasional. Padahal, untuk melaksanakan vaksinasi massal pasti tetap memerlukan biaya, paling tidak untuk makan dan minum para relawan.
ADVERTISEMENT
“Jadi jangan dikira kalau sudah ada vaksin lalu ada bisa ada vaksinasi. Vaksin kan nggak bisa jalan sendiri, nah ini kendala yang tidak banyak dimengerti,” kata Rimawan.
Ya, biaya operasional yang besar untuk vaksinasi memang menjadi kendala. Namun, dokter Glory dan tiga lurah di wilayahnya membuktikan hanya butuh biaya Rp 4.500 tiap dosis, yang artinya tidak sampai Rp 5 juta untuk vaksinasi 1.000 dosis. Itupun mereka harus patungan untuk bisa memenuhi biaya tersebut.
“Saya bilang, enggak bisa kayak gini dong, kalau saweran siapa lurah yang mau, sampeyan-sampeyan ini yang agak edan,” ujarnya.
Rimawan sempat bernegosiasi panjang dengan dokter Glory, terkait penganggaran biaya jimpitan vaksinasi. Sonjo menawarkan biaya Rp 7.500 untuk tiap dosis, namun Glory kekeh menolak, menganggap biaya itu terlalu besar. Sedangkan dia bisa melaksanakan hanya dengan biaya Rp 4.500 per dosis.
ADVERTISEMENT
“Rp 4.500 yang ngerjain Marvel? Orang biasa enggak biasa, sampeyan itu Marvel-Marvel, sudah beda kelasnya,” lanjutnya.
Akhirnya disepakatilah angka Rp 6 ribu untuk biaya vaksinasi per orang, atau Rp 6 juta per seribu dosis vaksin. Dengan kekuatan gotong royong di desa, vaksinasi bisa dilaksanakan dengan biaya yang sangat murah. Berbeda dengan di kota, dimana semua keperluannya mesti bayar kecuali hotel dan EO, sehingga dibutuhkan biaya sekitar Rp 20 juta sampai Rp 25 juta per seribu dosis vaksin.
Setiap sumbangan pada program Jimpitan Vaksin Sonjo langsung akan diterima oleh Lazisnu DIY untuk dicatat dan disalurkan bagi proposal-proposal vaksinasi dari seluruh DIY dan sekarang ditambah di Magelang.
“Dan baik Lazisnu dan Jimpitan Vaksinasi Sonjo tidak mengambil serupiah pun pengelolaan dana. Ini benar-benar mendorong upaya gotong royong, kita pasti bisa kalau bareng-bareng,” kata Rimawan.
Lurah Sumbermulyo, Kapenewon Bambanglipuro, Bantul, Ani Widayani. Foto: Dok. Istimewa
Dihubungi terpisah, Lurah Sumbermulyo, Kapanewon Bambanglipuro, Bantul, Ani Widayani, mengatakan bahwa Jimpitan Vaksinasi sangat membantu percepatan vaksinasi di Sumbermulyo. Ketika hanya mengandalkan kuota dari puskesmas, mereka hanya bisa melakukan vaksinasi sekitar 250 orang per minggu.
ADVERTISEMENT
“Total ada 6.000 yang belum tervaksin sisa dari puskesmas, dan itu telah diselesaikan dengan program jimpitannya Sonjo. Sekarang tinggal 488 yang belum vaksin dosis kedua,” ujar Ani Widayani, Selasa (23/11).
Program Jimpitan Vaksin juga sangat meringankan beban anggaran yang ditanggung desa. Pos-pos anggaran yang sebelumnya ditujukan untuk melakukan vaksinasi, kini bisa dialihkan untuk agenda lain, baik untuk urusan kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, maupun sektor-sektor lain.
Hasilnya, kini transaksi di pasar tradisional mulai bergeliat lagi, begitupun di toko, PKL, termasuk di sektor pariwisata. Lebih dari itu, program ini juga telah memelihara modal sosial yang ada di tengah masyarakat desa, yakni gotong royong. Sebab dengan jimpitan ini semua petugas dari hulu sampai hilir dilakukan secara gotong royong, tak ada yang berbayar.
ADVERTISEMENT
“Sehingga ketika kita melaksanakan vaksinasi itu, dengan sasaran 2.000 hanya habis Rp 9.250.000. Artinya, masing-masing dosis hanya Rp 4.650, murah banget kan? Karena semua relawan,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)