Konten Media Partner

Jebakan Heroisme Semu dalam Gerakan Donor Plasma Konvalesen

10 Maret 2021 18:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Relawan dari Politeknik Abdi Kemanusiaan untuk Bangsa dan Negara (AKBARA) saat sosialisasi donor plasma konvalesen di depan kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Solo, Jawa Tengah, Jumat (15/1). Foto: Maulana Surya/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Relawan dari Politeknik Abdi Kemanusiaan untuk Bangsa dan Negara (AKBARA) saat sosialisasi donor plasma konvalesen di depan kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Solo, Jawa Tengah, Jumat (15/1). Foto: Maulana Surya/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Berbagai riset skala besar di luar negeri terkait terapi plasma konvalesen, sampai sejauh ini, belum menemukan manfaat bagi kesembuhan pasien COVID-19. Namun Satuan Tugas Penanganan COVID-19 bersama Palang Merah Indonesia (PMI) sejak Januari lalu justru mencanangkan gerakan nasional donor plasma konvalesen. Tanpa mendasarkan diri pada sains, gerakan donor plasma konvalesen bisa terjebak dalam altruisme dan heroisme semu. Sumber daya yang terbuang juga akan sangat besar sebab untuk pemrosesan satu kantong plasma konvalesen perlu biaya hingga Rp 4 juta. Lalu bagaimana seharusnya?
ADVERTISEMENT
Dalam siaran pers pers peluncuran situs pendaftaran pendonor konvalesen di Jakarta, Senin (8/2), Ketua Satgas Penanganan COVID-19, Doni Monardo mengatakan bahwa gerakan donor plasma konvalesen harus terus digalakkan sebab jumlah pasien COVID-19 di Indonesia yang terus bertambah, sehingga kebutuhan plasma konvalesen dinilai semakin meningkat.
“Sebagai penyintas, mendonorkan plasma konvalesen merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah sembuh dan juga mebantu penderita lainnya agar pulih,” katanya.
Padahal, dalam berbagai publikasi riset menemukan bahwa meta analisis atas berbagai riset plasma konvalesen berulang kali menemukan hasil yang selalu sama: plasma konvalesen tidak terbukti efektif memberikan manfaat untuk penyembuhan pasien COVID-19.
Hasil meta-analisis terbaru oleh para peneliti di University of Basel di Swiss yang diterbitkan akhir pekan lalu di JAMA, menyimpulkan bahwa penggunaan plasma konvalesen ternyata tidak meningkatkan status klinis, tidak mempersingkat masa inap di rumah sakit, tidak juga mengurangi kebutuhan ventilasi mekanis.
ADVERTISEMENT
“Pengobatan dengan plasma pasien yang sembuh dibandingkan dengan plasebo atau standar perawatan tidak secara signifikan dikaitkan dengan penurunan seua penyebab kematian atau dengan manfaat apapun untuk hasil klinis lainnya,” kata para peneliti, dikutip dari Jamanetwork.
Karena alasan itu juga, Institut Kesehatan Amerika Serikat (NIH) menghentikan uji coba plasma konvalesen dalam pengobatan pasien COVID-19 bergejala ringan hingga sedang pekan kemarin. Penghentian tersebut dilakukan setelah temuan dewan pemantau data independen yang menyimpulkan bahwa meskipun pemberian plasma aman dilakukan, tapi ternyata tidak memberikan manfaat apapun bagi pasien.
Langkah NIH dilakukan setelah uji coba internasional plasma konvalesen juga dihentikan karena tidak ada khasiat yang ditemukan. Riset lainnya yang dilakukan di India dan Argentina, ternyata juga tidak menemukan adanya manfaat yang jelas bagi pasien COVID-19 parah.
ADVERTISEMENT
“Bahkan jika uji dilanjutkan pun sepertinya tidak akan mendemonstrasikan plasma konvalesen bakal mencegah perkembangan gejala menjadi semakin parah di antara partisipan,” kata program officer studi plasma yang dilakukan di AS, Nahed El Kassar.
Kerjakan Riset
fPertamina Kampanyekan Gerakan Pekerja Donor Plasma. Foto: dok Pertamina
Donor plasma konvalesen boleh saja tetap dilakukan, tapi semestinya diperuntukkan bagi keperluan riset. Para peneliti tidak menyarankan donor plasma konvalesen digunakan untuk praktik umum, sebab sampai sekarang proses uji klinis belum selesai dan belum ada bukti bahwa plasma konvalesen efektif untuk membantu proses penyembuhan pasien COVID-19.
Epidemolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad memaparkan, donor plasma konvalesen untuk pengobatan COVID-19 sah-sah saja dikerjakan dan di situasi ketika semua berkejaran dengan mutasi virus, tentu saja penting untuk terus mencari terobosan terutama dalam diagnosa, pengobatan, dan vaksin.
ADVERTISEMENT
“Namun, risetnya yang musti dikerjakan sungguh-sungguh dan pada saat bersamaan jangan dijadikan sesuatu yang sifatnya praktek umum sampai kemudian ada evidence yang kuat untuk dijadikan praktek umum. Jangan sampai kita justru terjebak dalam altruisme dan heroisme semu untuk menolong sesama, tapi dengan melupakan sains,” papar Andono saat dihubungi akhir pekan lalu.
Andono Ahmad menggarisbawahi sumber daya besar yang musti dikerahkan untuk gerakan donor plasma konvalesen ini akan terbuang percuma kalau ternyata proses donor tidak terhubung dengan lembaga riset plasma konvalesen. Tanpa konektifitas donor dan riset, yang muncul hanyalah perasaan dan harapan semu. Padahal, untuk memproses donor plasma konvalesen biayanya jauh lebih mahal daripada donor darah biasa.
“Artinya hanya akan membuang-buang resources untuk sebuah perasaan nyaman semu. Ini akan jadi mahal sekali. Donor plasma konvalesen akan bermanfaat sangat besar kalau donor terhubung dengan lembaga riset konvalesen sehingga donor akan meningkatkan sampel partisipan,” jelas Andono.
ADVERTISEMENT
Riris Andono Ahmad dalam penutup wawancara mengatakan bahwa berbagai hasil riset yang sudah dikerjakan di luaran semestinya menjadi pertimbangan sekaligus bahan riset lanjutan di tanah air.
"Yang sekarang ditunjukkan banyak ilmuwan memang belum ada evidence bahwa plasma konvalesen bermanfaat. Jadi kata kunci seharusnya riset atau uji klinis sejauh mana manfaat plasma konvalesen dan bukan malah digunakan untuk praktek umum pengobatan," katanya.
Biaya Mahal Donor Konvalesen
Ketua Satgas COVID-19 Doni Monardo saat donor plasma darah. Foto: Satgas COVID-19
Di Yogyakarta, donor plasma konvalesen terus dilakukan. Ada dua tempat yang telah melakukan layanan donor plasma konvalesen, yakni PMI Kota Yogyakarta dan RSUP Dr. Sardjito.
Plt Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Kota Yogyakarta, Tri Rohmanto, mengatakan bahwa pembukaan layanan donor plasma sudah dilakukan sejak bulan kemarin. Menurutnya antusiasme masyarakat di Jogja untuk mendonorkan plasmanya cukup tinggi, tapi sebagian besar tidak memenuhi persyaratan. Sebagian besar yang tidak lolos dikarenakan titer antibodinya tidak memenuhi standar.
ADVERTISEMENT
“Dalam seminggu delapan orang ada, itu yang plasmanya bisa diambil. Kalau yang mendaftar sekitar empat kali lipatnya,” ujar Tri Rohmanto, Selasa (9/3).
Biaya proses donor plasma tidaklah sedikit. Kantong darah untuk plasma konvalesen saja satu buahnya hampir mencapai Rp 2 juta jadi untuk 2 kantong darah dari tiap pendonor Rp 4 juta, jauh lebih mahal ketimbang kantong untuk donor darah biasa yang hanya sekitar Rp 100 ribu per kantong.
“Kantongnya itu khusus, ada kit, seperti ada bulatan untuk memproses, cabangnya juga banyak, ada antikoagulan supaya darah tidak membeku,” lanjutnya.
Itu baru harga kantong, belum biaya tambahan untuk pemeriksaan titer antibodi serta pemeriksaan bebas HIV, hepatitis, sifilis, serta berbagai penyakit lainnya. Alat-alat yang digunakan juga cukup mahal, seperti aferesis dan steril connection device untuk menyambung selang supaya tidak ada udara luar yang mengontaminasi bagian dalam alat.
ADVERTISEMENT
“Perlu banyak alat tambahan yang mahal-mahal,” ujarnya.
Langsung untuk Penyembuhan bukan Riset
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria saat mendonorkan plasma darahnya, di Kantor PMI DKI Jakarta pada Selasa (2/1). Foto: PPID DKI JakartaWakil Gubernur DKI
Dari setiap plasma yang didonorkan, petugas PMI akan mengirimkan langsung kepada rumah sakit-rumah sakit yang mengajukan permintaan untuk proses penyembuhan pasien COVID-19 yang sedang dirawat. Sejauh ini, rumah sakit-rumah sakit yang mengajukan permintaan plasma ke PMI Kota Yogyakarta tidak hanya berasal dari DIY, tapi juga dari luar provinsi seperti Pacitan, Semarang, dan kota-kota lainnya.
“Langsung diambil rumah sakit untuk proses penyembuhan pasien COVID-19 di rumah sakit yang minta,” kata Tri Rohmanto.
Dalam pelayanan donor plasma tersebut, PMI Kota Yogyakarta juga melakukannya secara mandiri. Menurut Tri Rohmanto, PMI Kota Yogyakarta tidak menjalin kerja sama dengan RSUP Dr. Sardjito yang selain juga membuka layanan donor juga memiliki laboratorium untuk riset plasma konvalesen.
ADVERTISEMENT
“Mandiri, jadi langsung digunakan (untuk penyembuhan),” ujarnya.
Kepala Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD) RSUP Dr. Sardjito, Teguh Triyono, juga mengatakan RSUP Dr. Sardjito sampai sekarang masih membuka layanan untuk donor plasma konvalesen. Menurutnya, plasma yang didonorkan tersebut ada yang digunakan untuk riset dan ada yang digunakan untuk pengobatan.
“Ada yang untuk pengobatan sekaligus riset, ada yang untuk pengobatan saja,” kata Teguh Triyono.
Ketika dikonfirmasi terkait kerja sama dengan pihak luar termasuk PMI Kota Yogyakarta dalam rangka melakukan riset plasma konvalesen, menurutnya sampai sekarang belum ada kerja sama yang dilakukan.
“Kerja sama dalam bentuk formal MoU belum ada,” kata dia. (Widi Erha Pradana / ES Putra / YK-1)