Jika Suami Memaksa Berhubungan Intim apalagi Tak Wajar, Istri Bisa Apa?

Konten Media Partner
15 September 2021 13:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Gugatan cerai bisa dipilih sebagai langkah non pidana. UU tentang KDRT dan Pemerkosaan bisa digunakan sebagai langkah pidana. Tentunya, korban harus berani dan jangan diam.
Kolase foto Istri Siri Ayah Taqy Malik. Foto: Instagram.com/fatihmalik_, istimewa
Marlina Octoria Kawuwung, dan suaminya Mansyardin Malik yang merupakan ayah Taqy Malik tiba-tiba menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Hal itu lantaran Marlina mengungkapkan kepada publik bahwa suaminya memaksa dia untuk berhubungan intim dengan cara kurang wajar, yakni memaksanya untuk tetap berhubungan meski sedang haid serta memaksanya berhubungan badan melalui anal.
ADVERTISEMENT
Kasus seperti itu sebenarnya seringkali terjadi, yang dialami Marlina dan Mansyardin hanya satu yang tersorot oleh media. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perempuan jika pasangannya memaksa untuk melakukan hubungan intim dengan cara-cara yang dianggap menyimpang?
Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan bahwa sangat mungkin korban, dalam konteks ini pihak perempuan, mengambil tindakan hukum. Jika kasus tersebut terjadi di antara suami istri yang sah baik secara agama maupun hukum negara, korban bisa menuntut pasangannya dengan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Dalam UU tersebut, diatur tentang kekerasan seksual terhadap pasangan, yakni antara suami dan istri. Kekerasan seksual dalam UU ini dapat diartikan sebagai hubungan atau penetrasi yang tidak diinginkan, baik secara vaginal, anal, maupun oral, atau ketika istri sedang berhalangan seperti haid.
ADVERTISEMENT
Namun jika pihak korban enggan melaporkan kasus tersebut sebagai tindak pidana, istri bisa memilih jalan lain yakni dengan mengajukan gugatan cerai.
“Antara dua langkah itu yang bisa dilakukan,” kata Yiyik, sapaan Sri Wiyanti, Selasa (14/9).
Namun pengambilan proses hukum akan berbeda jika pasangan tersebut tidak terikat dalam pernikahan yang sah sesuai hukum negara. Pasalnya, UU PKDRT merujuk pada UU Perkawinan yang mengatur tentang hubungan suami istri yang tercatat oleh negara. Sementara nikah siri, meskipun sah menurut hukum agama namun tak tercatat dalam hukum negara.
Karena itu, UU PKDRT sulit jika digunakan untuk menuntut pasangan atas kasus tersebut. Namun, pihak korban bisa mengambil langkah hukum menggunakan UU lain, yakni Pasal 285 KUHP tentang Tindak Pidana Perkosaan. Namun, istilah perkosaan dalam pasal ini menurut Yiyik merujuk pada kekerasan seksual dimana telah terjadi penetrasi antara alat kelamin laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Jika kasusnya adalah pemaksaan hubungan seksual melalui anal, maka korban bisa melaporkan pelaku dengan pasal pencabulan. Kedua pasal ini menurut Yiyik juga bisa digunakan jika kasus itu terjadi di antara pasangan yang belum menikah atau masih pacaran.
“Jadi kalau konteksnya adalah masuknya penis ke dalam vagina, berarti bisa digunakan pasal 285, di luar itu masuknya ke percabulan,” ujarnya.
Delik Perkosaan dalam Rumah Tangga
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Istimewa
Konselor Hukum Rifka Annisa Woman’s Crisis Center, sebuah organsasi non-pemerintah yang aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Nurul Kurniati, melihat masalah pemaksaan anal bisa masuk dalam delik perkosaan dengan kaya kunci pemaksaan persetubuhan. Sebab, anal menurutnya juga bagian dari alat kelamin.
“Kalau bicara alat kelamin, itu (anal) kan bagian dari alat kelamin juga sebenarnya. Nanti tinggal dari hasil penyidikannya seperti apa, apakah bisa mengarahkan ke percobaan perkosaan atau sudah masuk ke perkosaan,” kata Nurul Kurniati.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, jika umur korban ternyata masih di bawah 18 tahun, maka pelaku bisa dijerat dengan UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dia juga mengatakan jika kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga yang sah secara hukum negara tetap bisa dilaporkan menggunakan UU PKDRT.
Apa yang Harus Korban Lakukan Pertama?
Ilustrasi korban KDRT. Foto: Pexels
Nurul Kurniati mengatakan bahwa korban mesti berani untuk bercerita ketika dia mengalami kekerasan seksual, baik yang dia alami di luar maupun di dalam ikatan pernikahan. Sebab, banyak korban yang enggan melaporkan kasus yang dia alami karena takut atau malu sehingga dia simpan sendiri masalahnya yang akhirnya malah memperburuk kondisinya.
Namun, korban harus benar-benar selektif kepada siapa dia menceritkan kasusnya, yakni kepada orang-orang terdekat seperti keluarga atau orang yang bisa dipercaya. Namun jika enggan bercerita dengan keluarga, korban bisa langsung bercerita kepada lembaga tertentu yang fokus pada penanganan kasus kekerasan seksual. Misalnya di Jogja ada Rifka Annisa, Rekso Dyah Utami, atau Unit Pelayanan Terpadi Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) yang tersedia di tiap kabupaten dan kota.
ADVERTISEMENT
“Yang terpenting dia harus berani bicara kepada orang atau lembaga yang tepat untuk bisa mengambil langkah yang bisa dilakukan,” kata Nurul.
Dengan korban berani bercerita, maka dapat diketahui langkah apa yang mesti dilakukan setelah itu. Di Rifka Annisa misalnya, ketika korban yang mengadukan kasusnya ternyata mengalami luka fisik, maka korban harus diobati dulu dan menjalani pemeriksaan medis. Baru setelah mendapatkan penanganan medis, korban akan mendapatkan konseling.
Dari proses konseling itu nanti akan diketahui apa yang dibutuhkan korban, jika dia ingin menempuh proses hukum maka akan diasesmen terkait saksi dan alat bukti yang dimiliki. Korban juga akan diberi informasi sebanyak-banyaknya tentang semua kemungkinan jika dia memilih untuk menempuh jalur hukum.
“Supaya dia bisa memahami bahwa proses hukum tidak bisa cepat, butuh waktu, dan banyak yang perlu disiapkan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai ketika proses hukum sudah berjalan, namun di tengah jalan korban merasa tertekan dan tidak nyaman sehingga mencabut laporannya. Selain itu, orangtua atau keluarga juga perlu diberi tahu, terutama jika korban masih di bawah umur sehingga dia bisa mendapatkan dukungan dari orang terdekatnya.
“Jangan sampai korban mengambil langkah yang tidak strategis, ketika mengambil proses hukum korban harus sudah siap dengan semua konsekuensi yang akan terjadi,” kat Nurul Kurniati.