Jogja 'Ayem Tentrem' untuk Lansia tapi Angka Stroke Tertinggi Kedua di Indonesia

Konten Media Partner
8 Februari 2022 18:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi lansia penyandang stroke sedang didorong di atas kursi roda. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lansia penyandang stroke sedang didorong di atas kursi roda. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) jadi salah satu provinsi dengan prevalensi kasus penyakit stroke paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, Provinsi DIY menempati peringkat kedua dengan prevalensi 14,6 per 1.000 penduduk. DIY hanya berada di bawah Kalimantan Timur, yang punya prevalensi kasus stroke sebesar 14,7 per 1.000 penduduk.
ADVERTISEMENT
“Saya rasa ini angka yang cukup tinggi, padahal orang-orang bilang Jogja itu ayem tentrem, tapi ternyata angka strokenya cukup tinggi,” kata dokter spesialis bedah saraf di RSUP Dr. Sardjito, Adiguno Suryo Wicaksono, ketika memberikan materi di acara puncak hari ulang tahun RSUP Dr. Sardjito, Selasa (8/2).
Secara jumlah, mungkin jumlah kasus stroke di DIY lebih rendah ketimbang provinsi-provinsi lain yang memiliki populasi penduduk lebih besar. Namun, secara prevalensi, kasus stroke di DIY jadi salah satu yang paling tinggi di Indonesia.
Adiguno menjelaskan, tingginya prevalensi stroke di DIY disebabkan karena tingginya jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi penduduk lansia di DIY mencapai angka 15,75 persen, naik dibandingkan tahun 2010 sebesar 13,08 persen. Dengan jumlah penduduk sekitar 3,7 juta jiwa, artinya ada sekitar 577 ribu penduduk lansia yang tinggal di DIY. Inilah yang menyebabkan tingginya kasus stroke yang terjadi di DIY.
ADVERTISEMENT
“Karena angka stroke paling banyak terjadi antara usia 50 tahun ke atas,” lanjutnya.
Ilustrasi Jogja ayem tentrem. Foto: Pexels
Karena itu, DIY mesti mewaspadai tingginya jumlah lansia yang rentan ini. Apalagi stroke jadi salah satu penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi di Indonesia.
Kendati demikian, provinsi lain dengan prevalensi stroke yang lebih rendah menurut Adiguno belum tentu aman. Sebab, sangat mungkin prevalensi stroke di provinsi tersebut rendah disebabkan karena kurang lengkapnya fasilitas kesehatan yang ada. Hal itu mengakibatkan kasus-kasus stroke yang dialami masyarakat jadi tidak dapat dideteksi.
Berdasarkan Riskesdas 2018, secara nasional prevalensi stroke di Indonesia sebesar 10,9 per 1.000 penduduk. Namun, berdasarkan Global Burden of Disease (GBD) pada 2016, prevalensi stroke Indonesia mencapai angka 17 hingga 22,9 persen.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya masalah stroke bukan hanya jadi permasalahan Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus stroke di dunia juga terus mengalami peningkatan. Bahkan data Global Burden of Disease (GBD) pada 2016, menyebutkan 1 dari 4 orang dewasa di dunia akan mengalami stroke.
“Peningkatan cukup tinggi terjadi di Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Angka pertumbuhannya terus meningkat dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Adapun faktor risiko penyakit stroke hampir sama dengan jantung koroner dan penyakit pembuluh darah lainnya, yakni hipertensi, peningkatan kadar lemak, dan diabetes. Gaya hidup yang tidak sehat juga disebut-sebut dapat meningkatkan faktor risiko stroke, misalnya merokok, aktivitas fisik rendah, diet tidak sehat, serta obesitas sentral (perut).
“Perlu ada intervensi terhadap faktor-faktor risiko itu untuk menekan kasus stroke dan mencegah kematian akibat stroke,” ujar Adiguno Suryo Wicaksono.
ADVERTISEMENT