Konten Media Partner

‘Kartini’ Yogya di Usia Senja: Raga Rentan, Semangat Menggendong Tak Padam

21 April 2025 18:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu buruh gendong di Pasar Beringharjo, Kemiyem, menyusuri lorong-lorong menjajakan jasanya. Foto: Dok. Resti Damayanti/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu buruh gendong di Pasar Beringharjo, Kemiyem, menyusuri lorong-lorong menjajakan jasanya. Foto: Dok. Resti Damayanti/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
Langkah Kemiyem (80), buruh gendong di Pasar Beringharjo terus bergerak menyusuri lorong demi lorong, dari lantai dasar hingga lantai 3. Warga Sentolo, Kulon Progo, ini telah menjalani profesinya sebagai buruh gendong selama 55 tahun.
ADVERTISEMENT
Meski jam menunjukkan pukul 10.20 WIB, belum ada satu orang pun yang menggunakan jasanya. Namun, ia masih tetap tersenyum dan tertawa saat bercerita.
Kemiyem kini hanya mampu menggendong beban maksimal 20 kilogram, berbeda jauh ketika dirinya pertama kali bekerja.
“Saya dulu pernah ngangkat 114 kilo waktu nggendong beras sekarung. Kuat dulu, itu sekali aja ya dalam hidup tapi waktu (Pasar Beringharjo) belum seperti ini,” begitu kenangnya sambil tertawa, Senin (21/4).
Buruh gendong di Pasar Beringharjo, Kemiyem, ditemui Pandangan Jogja, Senin (21/4). Foto: Dok. Resti Damayanti/Pandangan Jogja
Meski sudah memasuki usia senja ini, tiap kali dirinya diperiksa rutin kesehatannya oleh Pemkot Yogya kondisinya dinyatakan sehat, tak ada indikasi asam urat.
“Hasilnya sehat, ndak ada asam urat, tapi katanya kolesterolnya agak tinggi,” ujar Kemiyem.
Ia mengaku menikmati pekerjaan ini, berapapun hasil yang dia dapatkan dari jasa tersebut. “Kadang 50 ribu, 60 ribu, nggak nggendong juga pernah,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Sejauh kira-kira 19 kilometer inilah perjalanan Kemiyem dari rumah hingga pasar. Sampai di pasar pukul 07.30 WIB, pulang ke rumahnya pukul 16.00 WIB.
Sebelum mulai menggendong pun, di Pasar Beringharjo ini ia berjualan sarapan terlebih dahulu. Kemiyem menolak untuk istirahat lama-lama.
“Disuruh di rumah saya nggak mau, nanti nek nggak gerak ndak malah capek, seneng juga ketemu orang-orang,” ujarnya.
Cerita Pariyah yang juga menolak istirahat lama-lama
Buruh gendong di Pasar Beringharjo, Pariyah, ditemui Pandangan Jogja, Senin (21/4). Foto: Dok. Resti Damayanti/Pandangan Jogja
Cerita lainnya datang dari Pariyah (70). Pariyah dan Kemiyem terkadang satu bus karena keduanya merupakan warga Kulon Progo. Ia sudah menjadi buruh gendong sejak 15 tahun yang lalu.
Ia mengaku tetap bersyukur atas pekerjaan ini karena tetap dapat digunakan sebagai penghasilan tambahan dengan suaminya untuk makan. Selain itu, pekerjaan ini juga membuatnya tak kehabisan kegiatan.
ADVERTISEMENT
“Suami cari rumput, petani. Ya dapat hiburan daripada di rumah. Kalau uang ada kan bisa dapat ini, buat masak,” kata Pariyah.
Pariyem biasanya mematok tarif mulai Rp 5 ribu ketika menggendong belanjaan ke kendaraan. Jika pengunjung itu berkeliling terlebih dahulu, ia tak mematok tarif tetap, tarifnya diserahkan kepada yang menggunakan jasanya. Meski demikian, hasil gendongnya tak mampu menutup biaya transportasi ketika pulang-pergi.
Buruh gendong di Pasar Beringharjo, Pariyah dan Kemiyem, ditemui Pandangan Jogja, Senin (21/4). Foto: Dok. Resti Damayanti/Pandangan Jogja
“Tetap disyukuri karena dapat rezeki tambahan juga,” kata dia.
Buruh gendong ini bukan satu-satunya pekerjaan Pariyah. Ia akan bekerja jika diminta oleh tetangga atau lainnya. Ia tetap berharap pengunjung dapat memakai jasa gendongnya.