Kenapa Beda Weton Kerap Bikin Pasangan dari Suku Jawa Sering Gagal Nikah?

Konten Media Partner
14 Juli 2022 19:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ahli Filsafat UGM, Iva Ariani, dalam podcast ‘Antara Zodiac, Weton, dan Sains’ yang disiarkan kanal Youtube UGM, Kamis (14/7). Foto: Tangkapan layar Youtube
zoom-in-whitePerbesar
Ahli Filsafat UGM, Iva Ariani, dalam podcast ‘Antara Zodiac, Weton, dan Sains’ yang disiarkan kanal Youtube UGM, Kamis (14/7). Foto: Tangkapan layar Youtube
ADVERTISEMENT
Selain beda prinsip dan beda agama, weton kerap membuat dua orang (terutama masyarakat Jawa) yang saling mencintai harus berpisah dan gagal menikah. Dalam masyarakat Jawa, weton yang tidak cocok bisa membuat hubungan rumah tangga tidak harmonis.
ADVERTISEMENT
Tapi, mengapa hal ini bisa terjadi? Kenapa dua insan yang saling mencintai mesti berpisah dengan tragis hanya karena weton?
Ahli Filsafat Jawa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Iva Ariani, menjelaskan bahwa dalam filsafat Jawa weton merupakan konsep perhitungan yang didasarkan pada ilmu titen atau membaca situasi. Ilmu titen itu mereka buat dari mengamati gejala-gejala alam semesta yang dilakukan selama ratusan tahun.
Weton kemudian dipakai untuk menghitung segala hal tentang kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya untuk menghitung hari lahir. Weton sendiri terdiri atas dua komponen, yakni hari (Senin sampai Minggu) dan pasaran (Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon). Setiap hari dan pasaran tersebut, memiliki angkanya masing-masing.
Misalnya, orang yang lahir pada hari Sabtu Legi. Sabtu memiliki angka 9, sedangkan Legi memiliki angka 5, keduanya kemudian dijumlahkan sehingga menjadi 14. Angka 14 itulah yang kemudian dibaca untuk melihat karakter seseorang.
ADVERTISEMENT
“14 itu lakune bulan, artinya dia selalu menjadi pencerah, selalu memberikan pencerah bagi orang di sekitarnya,” kata Iva Ariani dalam podcast ‘Antara Zodiac, Weton, dan Sains’ yang disiarkan kanal Youtube UGM, Kamis (14/7).
Rumah limasan di Kotagede, Yogya, tetap lestari hingga hari ini. Foto: ESP
Atau jika wetonnya 16, maknanya adalah lakune Bumi, artinya dia akan membuat orang yang berada di dekatnya merasa aman dan terayomi, seperti sifat Bumi. Tapi ternyata tidak semua weton memiliki makna yang baik, misalnya weton 11 memiliki makna lakune setan. Artinya, orang itu akan mudah tergoda dengan berbagai hal, dia cenderung suka mengikuti tren dan kurang punya pendirian.
“Angka-angka weton ini yang kemudian digunakan untuk melihat karakter seseorang, ada yang keras, ada yang lembut, dan sebagainya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang dalam budaya Jawa kerap menjadi masalah. Misalnya, jika berdasarkan perhitungan weton seseorang memiliki karakter yang keras, maka jika berpasangan dengan orang yang keras juga dikhawatirkan rumah tangganya akan penuh keributan dan tidak harmonis. Sebaliknya, jika keduanya memiliki sifat yang santai, maka rumah tangga itu akan sulit untuk maju.
“Secara nalar kan kita tahu, misalnya orang yang karakternya keras berumah tangga dengan orang yang keras juga, ya pasti rebut terus. Kalau yang slow, ketemu dengan yang slow, ya kapan ngegasnya,” lanjutnya.
Tapi sebenarnya leluhur Jawa zaman dulu juga sudah memiliki solusi, bagaimana supaya orang dengan weton yang kurang baik bisa membuang sifat-sifat buruknya. Solusi itu adalah dengan laku, misalnya dengan berpuasa dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang menjalankan laku tertentu, maka sifat-sifat buruknya bisa diatasi. Dengan begitu, karakternya dan pasangannya yang sebelumnya tidak cocok, bisa menjadi cocok. Sehingga keributan di dalam rumah tangga yang dikhawatirkan bisa dihindari.
Karena berupa perhitungan yang kompleks dari pengalaman empiris selama ratusan tahun, maka weton bisa disebut sebagai produk sains yang dihasilkan oleh leluhur Jawa.
“Itu adalah epistemologi Jawa, filsafat pengetahuan tapi pengetahuan tradisional masyarakat Jawa,” kata Iva Ariani.