Kerajaan Jawa Muliakan Difabel sejak Abad 13, Barat Baru Belajar di Abad 20

Konten Media Partner
10 Juli 2022 15:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karya JDA yang ditampilkan dalam ARTJOG 2022. Foto: Widi RH Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Karya JDA yang ditampilkan dalam ARTJOG 2022. Foto: Widi RH Pradana
ADVERTISEMENT
Penyandang disabilitas telah mendapatkan tempat, yang tidak hanya layak, tapi juga setara dan mulia di tengah masyarakat leluhur Jawa. Bahkan jauh sebelum peradaban Barat bicara soal inklusivitas, leluhur Jawa sudah lebih dulu mempraktikkan cara memanusiakan penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Jogja Disability Arts, Sukri Budi Dharma alias Butong, yang tahun ini bersama teman-temannya menjadi salah satu seniman yang tampil di ARTJOG 2022.
Riset yang dilakukan oleh Budi dan teman-temannya, menemukan bahwa penyandang disabilitas sudah ditulis dalam sejarah Jawa dan menempati tempat yang penting pada masa Kerajaan Singosari tahun 1222 – 1292. Dalam naskah Cerita Panji, diceritakan karakter Bancak dan Doyok sebagai dua orang disabilitas yang menjadi abdi dalem sekaligus pengawal dan penasihat Raden Panji Inu Kertapati, pangeran dari Jenggala.
“Artinya mereka sudah mendapat tempat di ring satu kerajaan, di tempat yang mulia,” kata Budi ketika ditemui di ARTJOG 2022, Kamis (7/7).
Ketua Jogja Disability Arts, Sukri Budi Dharma (Butong). Foto: Widi RH Pradana
Dalam naskah itu, Bancak dan Doyok digambarkan memiliki kekurangan secara fisik mulai dari mata, daksa, dan cebol. Namun ternyata keduanya bisa menjadi tokoh penting dalam Cerita Panji ini.
ADVERTISEMENT
Beranjak dari masa Jenggala, ada juga karakter Sabda Palon dan Naya Genggong yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi. Keduanya juga memiliki keterbatasan fisik seperti Bancak dan Doyok. Mereka adalah abdi dalem Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
“Bukan abdi dalem biasa, Sabda Palon dan Naya Genggong juga menjadi penasihat raja dan mampu membaca gejala alam,” lanjutnya.
Tak hanya itu, dalam Kakawin Sudamala atau Kidung Sudamala, dibahas juga tokoh Semar, yang dipahatkan di dalam relief Candi Sukuh pada 1437. Semar juga dikisahkan sebagai sosok penyandang disabilitas namun memiliki tempat yang mulia.
Pada era Kerajaan Demak (1500-1518 M), ada sosok Wujil, seorang mantan abdi dalem Maospati di era Majapahit. Kisahnya diceritakan di dalam Suluk Wujil.
ADVERTISEMENT
Setelah Majapahit surut dan beralih ke Demak, Wujil kemudian belajar ilmu kasampurnan pada Sunan Bonang, Wujil digambarkan sebagai seseorang bertubuh mini (cebol), namun punya kemauan belajar yang kuat.
Pada masa yang lebih modern, yakni pada era Diponegoro, dikisahkan juga peran penting seorang penyandang disabilitas di dalam kerajaan. Dalam Babad Diponegoro, diceritakan kisah Banteng Wareng, seorang abdi dalem, pengawal, dan pengikut Diponegoro yang setia dan kuat. Banteng Wareng menjadi salah satu tokoh penting dalam perjuangan Diponegoro meski perawakannya mini.
“Dari zaman Singosari, Majapahit, sampai Mataram Islam, bicara konteks disabilitas itu ternyata sudah diberikan peran dan statu di dalam masyarakat,” kata Budi.
Seorang pengunjung memperhatikan karya JDA di ARTJOG 2022. Foto: Widi Erha Pradana
Sementara itu, peradaban Barat baru mulai belajar tentang inklusifitas, tentang bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas secara layak baru mulai pada abad 20. Negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia, adalah yang pertama-tama mengembangkan pendidikan inklusif.
ADVERTISEMENT
Pada 1960-an, Amerika Serikat di bawah Presiden Kennedy baru mulai belajar pendidikan inklusif dengan mengirimkan pakar-pakar ke Scandinavia. Di Inggris, pendidikan inklusif juga baru mulai dikenalkan pada 1991 yang ditandai dengan adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.
Tanda lain yang menunjukkan bahwa peradaban Nusantara jauh lebih maju ketimbang peradaban Barat dalam hal inklusivitas adalah dewa-dewa yang digambarkan kedua peradaban itu. Dewa-dewa yang dimiliki peradaban Barat selalu digambarkan sebagai sosok yang sempurna, seperti Dewa Zeus, Hera, Apollo, dan sebagainya.
Sementara peradaban Nusantara mengenal Punakawan yang merupakan titisan dewa. Meski digambarkan sebagai penyandang disabilitas, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong adalah sosok penting dalam dunia pewayangan. Mereka adalah simbol harmoni yang memiliki kesaktian mengendalikan alam.
ADVERTISEMENT
“Dunia Barat itu baru kemarin sore belajar tentang inklusifitas, sedangkan leluhur Nusantara itu sudah berabad-abad yang lalu, bukan hanya belajar tapi sudah mempraktikkan,” tegas Sukri Budi Dharma.