Kesempurnaan Randu Alas Affandi, Ibu dari Randu Alas di Jogja

Konten Media Partner
14 Agustus 2021 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Randu alas di depan Museum Affandi, Yogya. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Randu alas di depan Museum Affandi, Yogya. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Semua orang tahu kalau setiap pohon punya manfaat menghasilkan oksigen untuk manusia bernapas. Tapi bagi Mulyadi ada pohon yang bukan hanya menghasilkan oksigen, tapi juga membantunya untuk mencari pundi-pundi rupiah. Pohon itu adalah randu alas tua yang ada di depan Museum Affandi di Jalan Jogja-Solo.
ADVERTISEMENT
Jangan salah dulu, Mulyadi tidak menyembah randu alas Affandi untuk meminta uang, tapi dia menjadikan pohon itu sebagai ‘kantor’, tempat dia mencari nafkah setiap hari. Sejak 2015 silam, dia membuka lapak stiker dan reparasi jok motor persis di bawah pohon randu alas besar itu.
“Lumayan rame Alhamdulillah, lebih rame dari tempat sebelumnya,” kata Mulyadi yang datang dari Kota Solo itu, Jumat (6/8).
Enam tahun ‘ngantor’ setiap hari di bawah randu alas Affandi, membuatnya sudah sangat hafal dengan perubahan pohon itu yang rutin setiap tahun. Mulyadi mengamati setidaknya ada tiga fase perubahan yang paling menarik perhatiannya, yakni ketika daun-daun randu alas itu gugur, ketika bunga-bunga yang berwarna kuning mekar dan memenuhi seluruh ranting pohon, serta ketika daun-daun muda mulai bersemi kembali.
ADVERTISEMENT
“Kalau bagi saya yang paling indah ya pas berbunga kayak sekarang. Tapi ini sudah mulai gugur, kemarin puncaknya bener-bener bagus,” lanjutnya.
Keindahan yang sama juga dirasakan oleh Budi Susanto, seorang penjaga keamanan Museum Affandi. Dia sudah 20 tahun bertugas di Museum Affandi, tapi menurut dia tidak banyak perubahan yang terjadi pada randu alas tersebut. Dia merasa, pertama kali melihat pohon itu ukurannya juga sudah sebesar sekarang.
“Dari dulu kayaknya ya sudah segitu (ukurannya), jadi pastinya sudah tua banget,” kata Budi Susanto.
Meski begitu, dia juga selalu mengamati bahwa pohon randu alas itu selalu mengalami masa gugur, berbunga, dan bersemi. Hal itu merupakan keniscayaan yang selalu terjadi rutin setiap tahun.
“Paling indah memang saat berbunga kayak sekarang. Apalagi dulu waktu jalanan masih sepi, belum banyak kabel-kabel telepon, sama belum ada baliho besar kayak sekarang,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ibu Randu Alas di Jogja
Randu alas di depan Museum Affandi, Yogya. Foto: Widi Erha Pradana
Kapan randu alas Affandi ditanam dan berapa usianya saat ini memang sulit untuk diketahui. Tapi guru besar taksonomi tumbuhan dari Fakultas Biologi UGM yang pernah meneliti randu alas di DIY, Purnomo, mengatakan bahwa randu alas Affandi merupakan salah satu yang tertua yang masih tersisa di wilayah DIY sampai saat ini. Sebenarnya bisa saja memperhitungkan usia pohon tersebut, paling gampang dengan menghitung lingkar tahun pada batangnya. Sayangnya untuk bisa menghitung lingkar pada batang caranya harus menebang pohon tersebut.
“Itu sudah lama, tampaknya tumbuh sendiri, bukan ditanam,” ujar Purnomo.
Purnomo bahkan menyebut randu alas Affandi merupakan induk dari randu alas berbunga kuning yang tersebar di wilayah DIY, terutama di sepanjang sungai Gajah Wong di daerah Bantul. Biji-biji randu alas dari Affandi yang terbawa oleh aliran sungai Gajah Wong, kemudian tumbuh menjadi pohon-pohon randu alas baru yang tersebar di sepanjang sungai tersebut.
ADVERTISEMENT
“Ada juga di hutan Biologi UGM yang saya tanam tahun 1988, dan sekarang sudah besar sekali, ada kalau cuman 15 meter. Karena randu alas memang cepat sekali pertumbuhannya dan menjadi raksasa,” lanjutnya.
Randu alas berbunga kuning, merupakan randu alas yang populasinya paling kecil dibandingkan dengan randu alas berbunga merah dan jingga. Tak hanya itu, randu alas jenis ini juga hanya ditemui di India dan Jogja. Ketika melakukan penelitian tentang taksonomi randu alas pada 1988, Purnomo sempat keliling Jawa untuk mencari randu alas kuning, namun dia hanya menemukan di Jogja saja. Karena menjadi indukan dari banyak individu randu alas kuning yang tersebar di Jogja, randu alas Affandi menjadi salah satu pohon penting yang ada di DIY.
ADVERTISEMENT
“Saya ndak tahu, apakah yang di Jogja itu dari India atau bagaimana, tampaknya iya,” lanjutnya.
Tiga Musim Terindah Randu Alas
Randu alas di depan Museum Afandi, Yogya. Foto: Widi Erha
Kemungkinan besar, randu alas bukanlah pohon asli dari hutan tropis. Purnomo memperkirakan, randu alas berasal dari hutan meranggas, yakni hutan yang pohon-pohonnya akan menggugurkan daun pada musim kering. Itu mengapa, randu alas akan menggugurkan daunnya ketika memasuki musim kemarau.
Gugurnya daun-daun randu alas pada awal musim kemarau juga akan memberikan keindahan lain. Suasana di sekitarnya akan menyerupai suasana musim gugur di negara-negara empat musim. Biasanya, musim gugur pada randu alas akan terjadi pada bulan-bulan Mei sampai Juni.
Randu alas tidak pernah berhenti menyajikan keindahan. Setelah semua daunnya berguguran, pada bulan-bulan Juni sampai Agustus seperti sekarang, dia akan mulai memunculkan bunga yang jumlahnya sangat banyak.
ADVERTISEMENT
“Pada waktu bunganya itu blooming, pada pagi hari itu akan banyak sekali serangga yang datang sampai seperti debu untuk melakukan penyerbukan, ada juga burung, tupai, dan masih banyak lagi. Jadi dalam satu pohon itu membentuk sebuah ekosistem untuk banyak makhluk hidup,” ujar Purnomo.
Setelah bunganya mulai berguguran, pada akhir musim kemarau seperti bulan September, pohon randu alas yang semula tak berdaun sama sekali mulai bersemi. Daun-daun muda mulai bersemi dan memenuhi setiap rantingnya.
“Itu juga tidak kalah indah hijaunya,” lanjutnya.
Karena perilaku menggugurkan daun tersebut, zaman dulu randu alas kerap dijadikan sebagai penanda pranata mangsa atau musim tanam bagi para petani. Perilaku ini bisa dijadikan sebagai patokan kapan akan tiba musim kemarau, kapan akan tiba musim penghujan, kapan harus menanam, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Sayangnya pemandangan randu alas Affandi itu agak terganggu memang karena ada baliho besar di dekatnya, tapi keindahannya masih bisa dirasakan,” kata Purnomo.