Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Media Partner
Kisah Dedi, Pedihnya Anak Panti Asuhan yang tak Tahu Siapa Orang Tuanya
25 Juni 2021 15:02 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:06 WIB

ADVERTISEMENT
Namanya pendek saja, Dedi. Dia penderita tuna laras, yang membuatnya tidak bisa mengekspresikan emosinya seperti orang kebanyakan. Dedi, yang kini berusia 36 tahun, rindu sekali dengan orang tuanya.
ADVERTISEMENT
“Dari kecil, sama sekali enggak diceritain siapa orangtua saya,” kata Dedi sambil menunduk, di Yayasan Penyandang Cacat Mandiri di Jalan Parangtritis Km 7,5, Sewon, Bantul, Kamis (24/6).
Tatapannya kosong. Masker hitam yang dia pakai, tak mampu menutupi beratnya beban yang dia tanggung. Jika ada yang bilang, obat rindu adalah temu, itu tak berlaku bagi Dedi. Dia sangat merindukan sosok orangtua, yang tak dia ketahui siapa. Rindu memang berat, dan Deni harus menanggung semuanya seorang diri, tanpa tahu mesti mengungkapkan kerinduannya pada siapa.
Dedi tak banyak ingat dengan masa kecilnya. Satu-satunya yang Dedi ingat, ketika kecil dia sempat tinggal dan dirawat di sebuah yayasan milik dokter Lukas, pemilik RS Bersalin Pura Ibunda di daerah Samirono, Sleman, yang ternyata kini juga sudah tutup.
Belum genap berusia 5 tahun, Dedi dipindah titipkan ke panti asuhan Panti Asih di Pakem, Sleman. Di sana dia disekolahkan di sekolah dasar milik panti asuhan tersebut hingga lulus. Dedi juga diberi keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan mengepel lantai. Dia juga sempat bekerja di SD tempatnya sekolah untuk menutup jendela kelas selepas kegiatan belajar mengajar berakhir.
ADVERTISEMENT
“Setelah lulus, diminta buat lanjut sekolah saya enggak mau. Enggak suka sekolah,” kata dia.
Di Panti Asih, Dedi tinggal hingga 2010, ketika Merapi mengalami erupsi dahsyat. Oleh pengurus Gereja Kristen Ngupasan, yang memang punya program untuk memberdayakan anak-anak panti asuhan, Dedi kemudian dititipkan ke Yayasan Penyandang Cacat Mandiri, dengan harapan dia bisa hidup mandiri di sana. Ya, seperti saat ini, Dedi mendapat tugas membantu mengemas pasta gigi dari sebuah hotel di Jogja.
Meski punya keluarga baru, tapi ternyata Dedi masih merasa kesepian. Makin beranjak dewasa, kerinduannya dengan orangtua yang tak tahu ada di mana, semakin menjadi. Rindu yang dia tahan selama bertahun-tahun akhirnya membuat dirinya menjadi sosok yang sangat pendiam dan tertutup.
ADVERTISEMENT
“Saya cuma pengin ketemu, pengin ngerasain kayak orang-orang lain yang punya ayah ibu,” kata Dedi.
Dedi bilang, rasa rindu makin menyiksa saat lebaran kemarin datang. “Tiap lebaran saya nangis, saya ngurung di kamar saja.”
Jejak yang Hilang
Ketua Yayasan Cacat Mandiri, Joko Purwadi, merasa sangat pedih melihat anak asuhnya semakin sering murung. Puncaknya ketika lebaran kemarin, dia melihat bagaimana Dedi semakin murung dan menangis di dalam kamarnya, Dedi juga kerap berteriak-teriak karena saking inginnya bertemu dengan orangtuanya.
“Saya juga bingung, ikut prihatin. Pengin sekali nemuin Dedi sama orangtuanya, tapi enggak ada yang tahu siapa orangtuanya. Saya cuma bisa bilang supaya Dedi ini sabar,” kata Joko.
Joko telah mengupayakan semua yang bisa dia lakukan untuk mempertemukan Dedi dengan orangtuanya. Dia berusaha melacak orangtua Dedi ke Panti Asih yang telah mengasuh Dedi selama belasan tahun. Hasilnya nihil. Identitas yang dia dapatkan hanya sebatas nama Dedi dan tahun lahirnya, 1985.
ADVERTISEMENT
Joko juga tak tahu, siapa sebenarnya dokter Lukas. Yang dia tahu, usia dokter Lukas sudah sampai 90-an tahun dan terakhir kabarnya sudah pikun sehingga tidak memungkinkan untuk ditanyai. Kepada pihak gereja, Joko sempat meminta tolong untuk melacak identitas orangtua Dedi. Salah seorang suster kemudian mendatangi Nancy, adik kandung dokter Lukas. Tapi hasilnya tetap nihil.
“Tanggapannya malah kurang enak, katanya enggak usah dicari lagi orangtuanya,” lanjut dia.
Mendapat hasil seperti itu, membuat harapan Joko untuk bisa mempertemukan Dedi dengan orangtuanya seperti pupus. Dia tak tahu lagi harus mencari kemana, sementara sumber pertama yang jadi harapan satu-satunya saja sudah menutup diri.
Tapi di sisi lain, Joko semakin prihatin dengan kondisi Dedi yang belakangan semakin sering murung. Terlebih, Dedi adalah seorang tunalaras, yang membuatnya tidak bisa mengekspresikan emosinya seperti orang kebanyakan. Meski fisiknya normal dan sehat, tapi sorot matanya tak pernah bisa berbohong kalau dia punya tekanan batin yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
“Sekilas dia baik-baik saja, jarang sekali mengeluh, tapi sebenarnya dia punya masalah yang sangat besar. Sebagai orangtua, saya tahu betul bagaimana kepedihan yang dirasakan Dedi,” kata Joko.
Setidaknya Bisa Punya Identitas Diri
Bak jatuh tertimpa tangga, itulah nasib Dedi. Bukan hanya tak tahu siapa orangtuanya, Dedi juga tak memiliki kartu identitas apapun seperti akta kelahiran maupun KTP. Hal itu membuat keberadaannya seperti tak dianggap oleh negara.
Dalam banyak hal, Dedi tak pernah bisa mendapatkan haknya sebagai warga negara karena tidak adanya identitas yang jelas. Misalnya untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, jika dibekali keterampilan seperti orang-orang lain, Dedi juga bisa bekerja dengan baik.
Sepuluh tahun lebih bekerja di yayasan itu, Joko melihat Dedi adalah anak yang tekun dan pekerja keras. Pekerjaan yang diberikan kepada dia selalu beres. Tak hanya itu, Dedi juga punya tenaga yang sangat kuat meski tubuhnya relatif kecil.
ADVERTISEMENT
“Mungkin karena makannya banyak juga, kalau makan Indomie harus dua sekaligus, enggak cukup satu,” kata Joko bercanda yang membuat Dedi tersipu malu.
Selama ini, Dedi juga tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah, termasuk di tengah pandemi seperti sekarang. Alasannya, lagi-lagi karena dia tidak punya identitas diri apapun yang membuktikan kalau Dedi adalah warga negara Indonesia. Kalau bukan warga negara Indonesia, lantas warga negara mana? Begitu tanya Joko.
Karena alasan itu juga, Joko tak pernah berani melepas Dedi keluar sendirian karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setiap ingin keluar untuk refreshing, Joko akhirnya harus pasang badan untuk menemani dan mengantar Dedi ke tempat yang ingin dia tuju.
“Kayak kemarin dia ingin ke Panti Asih, karena kangen sama temannya di sana, harus saya temani sebisa saya,” kata Joko.
ADVERTISEMENT
Nantinya, ketika Dedi menemukan pasangan hidupnya dan ingin menikah, tak adanya identitas ini tentu akan menjadi masalah lagi. Padahal, itu adalah hak dasarnya sebagai seorang manusia. Dan kemungkinan besar, banyak juga orang yang bernasib serupa dengan Dedi. Karena di Panti Asih, ada lima teman Dedi yang sampai sekarang juga tak punya identitas apapun.
“Jadi kalaupun Dedi tidak bisa bertemu dengan orangtuanya, harapan saya ada solusi dari pemerintah soal masalah identitas itu, setidaknya ke depan bisa mengurangi masalah Dedi dan orang-orang yang punya nasib sama, karena saya yakin jumlahnya banyak,” ujarnya.
Baca konten terkait disablitas dari Pandangan Jogja @Kumparan: