Kisah Margaretha Mala, Lestarikan Alam Lewat Tenun di Batas Negeri

Konten dari Pengguna
28 Desember 2020 18:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Margaretha Mala (kiri) sedang mengawasi proses menenun anggota gerakan Srikandi Pelestari Tradisi dan Koservasi Kalimantan Barat. Foto: Dok Yayasan Kehati.
zoom-in-whitePerbesar
Margaretha Mala (kiri) sedang mengawasi proses menenun anggota gerakan Srikandi Pelestari Tradisi dan Koservasi Kalimantan Barat. Foto: Dok Yayasan Kehati.
ADVERTISEMENT
Di tengah semakin terdegradasinya tradisi dan alam, selalu ada segelintir orang yang berjuang mempertahankannya. Margaretha Mala adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
Mala adalah penggagas gerakan Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi di Kalimantan Barat. Sejak usia 10 tahun, dia sudah memiliki ketertarikan dengan tenun ketika melihat proses ibu dan neneknya membuat kain tenun khas Dayak Iban.
Dari situ, Mala kemudian fokus belajar cara menenun, hingga pada usia 15 tahun dia sudah menguasai teknik yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Sampai sekarang ketika usianya sudah 25 tahun, Mala terus menenun.
Kain tenunnya selama ini dia simpan di rumahnya yang dia jadikan sebagai galeri. Tak hanya dipajang, kain tenun yang dia buat juga digunakan untuk kegiatan ritual dalam kebudayaan Dayak Iban.
Usahanya selama bertahun-tahun membuahkan hasil, setelah ibu-ibu di kampungnya datang ke rumahnya dan tidak sengaja melihat galeri milik Mala. Melihat karya-karya Mala, ibu-ibu di kampungnya di Dusun Sadap, Desa Menua, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tertarik untuk ikut membuat kain tenun.
ADVERTISEMENT
Dengan senang hati, Mala mengajari mereka. Itulah yang, pada 2018, menjadi cikal bakal terbentuknya kegiatan “Dara Labu Anya Ngemata Ka Pengawa Ari Aki-Inek Bansa Iban Ngan Ngenanka Menua” atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi.
Mala semakin termotivasi setelah mengetahui tradisi nenek moyangnya semakin terancam punah. Menurut dia, semakin sedikit generasi sekarang yang mau belajar menenun.
“Bahkan tidak sedikit juga dari mereka yang sudah tidak tahu arti tentang tenun tersebut,” ujar Mala dalam seminar daring yang diadakan oleh Yayasan KEHATI, akhir pekan pertengahan Desember ini.
Dengan menekuni menenun dan mengajarkannya kepada orang-orang di sekitarnya, Mala berharap dapat melestarikan tradisi leluhur suku Dayak Iban dan mencegahnya punah.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak mau itu nanti akan hilang oleh perkembangan zaman,” ujarnya.
Melestarikan Alam dengan Menjaga Tradisi
Mala. Foto: Yayasan Kehati
Dalam membuat kain tenun, Mala tidak menggunakan pewarna-pewarna kimia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Dia memanfaatkan pewarna alami yang dibuat dari berbagai jenis tanaman yang dia dapat dari hutan atau kebun di sekitarnya, seperti rengat akar, rengat padi, kepapak atau laban, mengkudu, sibau, tengkawang, buah pinang, kemunting, engkerebai, leban, durian, daun salam, randu, ulin rambutan, hingga pepaya.
“Namun, kebanyakan anak-anak khususnya di dusun saya sudah banyak yang meninggalkan tradisi tersebut sehingga mereka tidak tahu fungsi untuk memanfaatkan tanaman yang tumbuh di sekitar,” ujar Mala.
Menenun dengan pewarna alami menurutnya juga merupakan salah satu upaya konservasi lingkungan. Ketika orang-orang mewarnai kain tenun dengan pewarna alami, otomatis mereka harus melestarikan juga tanaman-tanaman penghasil warna tersebut supaya bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
“Dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat pewarna-pewarna sintetis pakaian,” lanjutnya.
Nenek moyang Dayak Iban sejak dulu menurutnya telah melestarikan tanaman-tanaman yang biasa mereka gunakan sebagai pewarna tenun di sekitar rumah mereka. Ada sekitar 29 jenis tumbuhan yang sudah dikenal dan dimanfatkan oleh masyarakat sejak dulu sebagai pewarna.
Di bawah bimbingan FORCLIME, sebuah program kerja sama bilateral antara Indonesia dan Jerman juga telah membudidayakan tanaman pewarna alam di demplot dengan luas 1 hektar. Jenis tanaman yang dibudidayakan melalui program tersebut di antaranya rengat akar, rengat padi, dan mengkudu akar.
“Bentuk pemanfaatannya denan memanen tanaman pewarna secara lestari, sesuai kebutuhan, lalu melakukan penanaman kembali, dan membersihkan segala jenis gulma yang ada di demplot tersebut,” kata Mala.
ADVERTISEMENT
Di Dusun Sadap, Mala juga membangun kebun etnobotani dengan luas tiga hektar. Di kebun itu, sedikitnya ada 160 jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alam.
Kebun ini merupakan inisiatif masyarakat Dusun Sadap yang didukung oleh petugas Resort Sadap, Balai Besar TNBKDS. Masyarakat Sadap, bebas memanfaatkan kebun ini dan wajib menjaga dan melestarikannya.
“Saya sangat bersyukur memiliki alam ini, lingkungan dan tumbuhan di sekitar saya ini bisa dilestarikan dan dmanfaatkan untuk penambahan penghasilan,” kata Mala.
Ritual dalam Pembuatan Tenun
Tenun buatan ibu-ibu Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi di Kalimantan Barat. Foto: Dok. Yayasan Kehati
Dalam membuat setiap kain tenun, Mala tidak asal membuatnya. Teknik saja tidak cukup, beberapa ritual harus dilakukan. Salah satu ritual yang dilakukan adalah nakar atau proses peminyakan.
Nakar merupakan proses pemberian protein pada benang dengan tujuan untuk mengikat warna agar mampu bertahan lama dan memiliki warna lebih kuat pada kain serta membuat kain menjadi lebih tahan lama.
ADVERTISEMENT
Bahan-bahan yang biasa digunakan pada proses nakar ini di antaranya lemak labi-labi, lemak ular, lemak ikan, kemiri, buah kelapa busuk, buah kelempai, buah jelemuk, buah kedondong, buah kepayang, kayu pohon jangkau, biji-bijian, dan bunga-bungaan.
“Ini adalah hal yang paling penting di proses menenun kami. Ini adalah ritual yang harus kami lakukan, wajib dilakukan oleh setiap pengrajin. Ritual ini dinamakan nakar oleh nenek moyang zaman dahulu,” ujar Mala.
Banyak hal penting yang mesti diperhatikan dalam ritual nakar ini. Pertama, nakar tidak boleh dilakukan ketika ada orang yang meninggal. Masyarakat Dayak Iban percaya, hal itu akan membuat benang menjadi rapuh dan mudah putus.
Selain itu, jika pantangan ini dilanggar juga akan membawa dampak buruk kepada pengrajin seperti mimpi buruk hingga jatuh sakit.
ADVERTISEMENT
“Yang mencampurkan ramuan ritual adat nakar tadi adalah orang yang sudah ahli atau yang sudah tua memiliki umur lebih dari 60 tahun,” ujarnya.
Perempuan yang sedang hamil juga dilarang melakukan ritual tersebut karena dipercaya dapat menyebabkan kecacatan terhadap janin yang dikandungnya. Begitu juga bagi perempuan yang sedang menstruasi, mereka tidak boleh melakukan ritual ini.
Ritual nakar juga tidak boleh dilakukan di dalam rumah. Sedangkan benang yang sudah dinakar harus dimasukkan ke dalam rumah betang dan dijaga sepanjang malam, tidak boleh dibiarkan tanpa ada yang menjaganya.
Pada 2018, menurut Mala pernah ada pengrajin yang beruntung setelah melakukan nakar. Lewat mimpi, dia mendapatkan ilmu dalam membuat kain tenun seperti panduan pembuatan motif.
ADVERTISEMENT
“Karena setelah mengikuti prosesi tersebut, seperti sudah mendapat izin dari pendahulu kami,” kata Mala.
Saat ini, ibu-ibu di kampungnya menurut Mala semakin semangat membuat kain tenun. Pasalnya, tenun-tenun yang mereka buat sudah semakin diminati oleh orang-orang dari luar.
Awalnya, mereka menjual kain tenun itu kepada para pengunjung atau wisatawan yang datang ke kampung mereka. Namun setelah pandemi, kini Mala lebih banyak menjual kain tenun karya ibu-ibu di kampungnya itu secara online. Harga kain tenun yang mereka hasilkan bervariasi, mulai dari Rp 75 ribu sampai lebih Rp 1 juta.
“Tergantung ukuran, motif atau warna yang seperti apa, kita kan menyesuaikan pesanan dan harga,” kata Mala. (Widi Erha Pradana / YK-1)