Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Komnas HAM: Ada 2.580 Aduan Kekerasan oleh Polisi sepanjang 2022, Masalah Serius
12 Januari 2023 20:52 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2022, Komnas HAM mencatat sebanyak 2.580 pengaduan oleh masyarakat terkait dengan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh institusi kepolisian.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh Komisioner Bidang Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan. Banyaknya aduan ini menurut Hari menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam tubuh institusi kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
“Artinya kita melihat bahwa sistem penyelidikan dan penyidikan di Indonesia ini sudah tidak benar,” kata Hari Kurniawan saat menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku Memburu Keadilan ‘Anakku Korban Rekayasa Kasus Aparat’ di Yogya, Rabu (11/1).
Meski sudah banyak pelatihan-pelatihan dan penyuluhan yang diberikan kepada aparat kepolisian, namun menurutnya ternyata belum ada perbaikan yang signifikan. Misalnya pelatihan-pelatihan yang sudah diberikan kepada para polisi di Papua untuk menangani konflik tanpa kekerasan, realitanya sampai saat ini masih sering terjadi kekerasan yang dilakukan oleh polisi di Papua.
ADVERTISEMENT
“Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi ini merupakan bentuk pelanggaran hukum dan melanggar asas hak asasi manusia,” tegasnya.
Dosen Fakultas Hukum UGM yang aktif melakukan studi terkait HAM, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan bahwa kasus-kasus kekerasan oleh aparat polisi yang terus terjadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah tidak berjalannya dengan baik fungsi pengawasan internal yang ada di dalam institusi kepolisian.
“Kalau misalnya ada kesalahan siapa yang harus bertanggung jawab? Di internal kepolisian itu ada pengawasan, jalan enggak? Rasa-rasanya sangat jarang kita mendengar kasus-kasus itu memberi pelajaran yang baik dalam penegakan hukum,” kata Herlambang Perdana Wiratraman dalam acara yang sama.
Lemahnya pengawasan yang ada di dalam tubuh kepolisian menyebabkan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi sangat jarang diselesaikan secara adil. Adapun hukuman yang sering diberikan hanya berupa mutasi, penangguhan kenaikan pangkat, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Begitu gampangnya kasus kekerasan terutama yang dilakukan oleh aparat penegakkan hukum jadi impunitas malah, karena atas nama penegakan hukum, ketertiban, dan seterusnya,” lanjutnya.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh polisi menurut dia juga berkorelasi dengan buruknya proses penegakan hukum di institusi penegakan hukum lain, misalnya kejaksaan. Harusnya, kejaksaan juga memeriksa setiap perkara yang diajukan oleh kepolisian sebelum diajukan ke pengadilan.
Yang terjadi sekarang menurut Herlambang, kejaksaan sekadar menjadi tukang pos yang melimpahkan kasus dari kepolisian ke pengadilan.
“Istilahnya the justice postman, kalau ada kasus dari kepolisian ya sudah dilimpahkan ke pengadilan, Cuma jadi tukang pos,” kata dia.
Di dalam proses peradilan, dia juga menilai hakim bekerja terlalu tekstual dengan cara pandang formal, prosedural, asal memenuhi unsur pasal.
ADVERTISEMENT
“Hakim pada titik tertentu dia harus merefleksi, kalau memang peristiwanya abu-abu, dialah yang harus memperjelas di ruang persidangan, bukan hanya asal buktinya lengkap. Tapi dia harus mengkonfirmasi, menguji keterangan, bukti, saksi, dan seterusnya. Ini yang saya kira lemah dalam sistem peradilan kita,” kata Herlambang Perdana Wiratraman.