Kondisi Penerbit Buku Makin Memprihatinkan, Penjualan Anjlok 50 Persen

Konten Media Partner
14 Februari 2022 19:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelantikan pengurus Ikapi DIY pada Sabtu (12/2). Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Pelantikan pengurus Ikapi DIY pada Sabtu (12/2). Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mengungkapkan bahwa kondisi penerbit buku di Indonesia makin memprihatinkan, terutama setelah diterjang pandemi. Sekretaris Umum IKAPI, Nurkholis Ridwan, mengatakan bahwa ada 58,2 persen penerbit anggota IKAPI yang penjualannya anjlok lebih dari 50 persen; 29,6 persen anjlok antara 31 sampai 50 persen, dan hanya 8,2 persen penerbit yang penurunannya hanya sebesar 10 sampai 30 persen.
ADVERTISEMENT
Penurunan pendapatan itu salah satunya karena pembelian dari lembaga pemerintahan yang juga menurun drastis. Pada 2020, menurut survei IKAPI, ada 71,4 persen penerbit yang sudah tidak menerima pemesanan buku dari dinas-dinas pendidikan maupun perusahaan daerah. Sementara 26,5 persen penerbit mengaku masih menerima pemesanan tapi jumlahnya jauh menurun.
“Kondisi teman-teman penerbit memang sangat sulit, apalagi setelah adanya pandemi,” kata Nurkholis Ridwan ketika ditemui di acara Pelantikan Pengurus IKAPI DIY, Sabtu (12/2).
Sebenarnya kondisi bisnis para penerbit sudah mulai goyah, bahkan sebelum pandemi. Hal ini menurut Nurkholis terutama disebabkan karena pembajakan yang sampai saat ini masih marak terjadi. Selain itu, banyak juga penerbit-penerbit yang terdisrupsi oleh perkembangan teknologi karena belum bisa menyesuaikan diri dengan era digital, misalnya dalam memasarkan dan menjual bukunya secara online.
ADVERTISEMENT
“Kalau pembajakan bisa diatasi sebenarnya lebih ringan, kita tinggal fokus untuk menghadapi disrupsi itu,” lanjutnya.
Untuk memulihkan kondisi para penerbit, IKAPI menurut dia telah mendorong pemerintah untuk membuka kembali keran pembelian buku oleh lembaga pemerintahan. Dia juga mengusulkan supaya buku bisa dijadikan cinderamata setiap lembaga pemerintah mengadakan acara.
Ketua IKAPI DIY, Wawan Arif Rahmat. Foto: Widi Erha Pradana
Ketua IKAPI DIY, Wawan Arif Rahmat, mengamini sulitnya kondisi penerbit buku saat ini. Bahkan belakangan, tidak jarang ada penerbit yang harus menanggung rugi karena penjualannya tak mampu menutup biaya produksi.
Namun dia melihat penerbit buku masih punya peluang masa depan, dengan catatan bisa memahami kebutuhan pasar dan bisa mengikuti perkembangan teknologi. Hal itu salah satunya dibuktikan dengan munculnya penerbit-penerbit independen yang menerbitkan buku-buku dengan narasi ideologi kiri. Sebelumnya, buku-buku tersebut tak pernah memiliki ruang untuk dipasarkan. Namun penerbit-penerbit tersebut berhasil mengemas buku-buku dengan wacana yang berat jadi sangat menarik dan berhasil memasarkannya melalui media online.
ADVERTISEMENT
“Karena enggak mungkin selamanya kita mengandalkan toko buku konvensional,” kata Wawan Arif Rahmat.
Apalagi Jogja menurut dia punya ekosistem perbukuan yang sangat baik. Banyak sekali kampus, sekolah, sastrawan, peneliti, yang mereka selalu membutuhkan buku.
“Terlepas nanti berubah bentuk jadi ebook misalnya, itu kan tinggal bagaimana penerbit menyesuaikan diri, yang pasti pasar masih sangat besar,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Martono Heri Prasetyo. Foto: Widi Erha Pradana
Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Martono Heri Prasetyo, mengatakan bahwa pemerintah DIY siap untuk mendukung keberlanjutan penerbit-penerbit khususnya di wilayah DIY. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendaftarkan produk-produk para penerbit ke e-katalog. Sebab, untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah jika nilainya Rp 200 juta maka harus melalui tender, sedangkan sistem tersebut dinilai kurang menguntungkan untuk penerbit.
ADVERTISEMENT
“Tapi dengan e-katalog, kita bisa langsung membeli buku yang diinginkan langsung ke penerbit,” kata Martono Heri Prasetyo.
Memasukkan produk ke e-katalog menurutnya juga sangat mudah, semua penerbit bisa mendaftarkan bukunya ke e-katalog baik di tingkat daerah maupun nasional.
“Misalnya tahun ini ada 200 judul, masukkan semuanya saja,” lanjutnya.
Selain itu, DPAD DIY selama pandemi juga telah mengadakan acara bedah buku hampir di 200 titik. Dan ketika akan melakukan bedah buku, otomatis mereka juga harus membeli buku dari penerbit. Meskipun jumlah buku yang dibeli tidak terlalu banyak, namun kegiatan itu menurut dia dapat digunakan sebagai media promosi produk-produk milik penerbit.
“Di sisi lain, penerbit juga harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan terus meningkatkan kualitas konten supaya bisa terus bertahan,” kata Martono. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT