Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Konflik Macan Tutul Jawa Vs Manusia, Pertempuran Berat Sebelah
31 Maret 2021 14:40 WIB
ADVERTISEMENT
Konflik antara manusia dengan macan tutul jawa masih terus terjadi, bahkan makin masif. Dengan segala kelebihan yang dimiliki manusia, pertempuran dua spesies ini menjadi pertempuran yang sangat berat sebelah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Sintas (Save the Indonesian Nature and Threatened Species) Indonesia, sejak 2008 sampai 2020 terjadi 87 konflik antara manusia dengan macan tutul jawa. Diperkirakan konflik-konflik tersebut telah menyebabkan 18 individu macan tutul mati dan 29 individu harus dievakuasi karena sebagian ada yang kondisinya cacat bahkan kritis.
Pendiri Yayasan Sintas, Erwin Wilianto mengatakan bahwa masih banyak kasus yang belum tercatat. Pasalnya, dari penyelidikan yang pernah dilakukan terkait kasus kasus penjualan macan tutul, ternyata macan tutul bukan jadi obyek utama. Melainkan hanya obyek sampingan yang sebenarnya pelaku mencari satwa lain namun ternyata mendapatkan macan tutul.
“Enggak kebayang kalau sebenarnya mereka juga menjadikan macan tutul sebagai objek utama, bisa jadi angkanya lebih tinggi dari ini,” kata Erwin dalam diskusi daring yang diadakan oleh Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran, Selasa (30/3
Menurut Erwin, faktor utama pendorong terjadinya konflik antara manusia dengan macan tutul tidak lain adalah pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi, terutama di Jawa. Pertumbuhan populasi manusia ini kemudian membuat kebutuhan akan ruang dan kebutuhan sumber daya juga meningkat.
ADVERTISEMENT
“Pertumbuhan manusia jelas meningkatkan kebutuhan akan ruang. Luas hutan di pulau Jawa yang tadinya hampir memenuhi daratan Jawa, kini hanya tinggal sekitar 24 persen saja,” kata dia.
Menyusutnya sumber daya yang ada di dalam hutan kemudian mendorong satwa-satwa liar seperti macan tutul mencari alternatif lain untuk mencukupi kebutuhannya. Di lain sisi, ternyata banyak masyarakat di sekitar hutan yang memiliki ternak. Bagi satwa tertentu, hewan ternak tersebut bisa menjadi alternatif pakan mereka ketika sumber daya di dalam hutan semakin menipis.
Upaya penambahan populasi satwa tertentu tanpa dibarengi dengan perluasan habitat juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan konflik antara hewan dan manusia kerap terjadi.
“Akhirnya yang terjadi satwanya bertambah, ruangnya tetap bahkan selalu berkurang, sehingga dia keluar,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Iklim dan penyakit juga kerap mendorong konflik antara satwa liar dan manusia. Misalnya ketika kemarau panjang, dimana banyak tumbuhan tidak dapat hidup sehingga hewan-hewan herbivora harus mencari sumber daya lain di perkebunan warga. Sementara itu, macan tutul sebagai predator memiliki perilaku mengikuti mangsanya ke tepian hutan hingga ke pemukiman penduduk.
“Akhirnya menimbulkan adanya interaksi negatif antara macan tutul dengan manusia,” kata Erwin Wilianto.
Minim Pengetahuan dan Belum Jadi Prioritas
Dari segi regulasi, menurut Erwin Wilianto sebenarnya peraturan yang ada di Indonesia sudah cukup lengkap yang mengatur tentang penanggulangan konflik antara macan tutul dan manusia. Misalnya dengan adanya Permenhut 48 tahun 2008 tentang pedoman penanggulangan konflik manusia dan satwa liar. Ada juga strategi dan rencana aksi konservasi macan tutul jawa 2016 - 2026, serta kebijakan-kebijakan lain.
ADVERTISEMENT
“Masalahnya konservasi bagi pemerintah daerah terutama bukanlah prioritas utama sehingga seringkali satwa liar dinomorsekiankan,” ujarnya.
Selain itu, ego sektoral masing-masing lembaga juga menyebabkan penanggulangan konflik satwa liar dengan manusia jadi tidak optimal. Erwin menilai, tiap kementerian masih bekerja sendiri-sendiri, jarang sekali berkolaborasi dengan pihak lain.
“Manajemen populasi juga belum dilakukan dengan betul di Jawa terutama untuk macan tutul,” lanjutnya.
Beberapa waktu lalu, di Sleman sempat heboh karena ditemukannya jejak kaki yang awalnya diduga merupakan jejak macan tutul. Namun setelah dilakukan identifikasi lebih lanjut, jejak tersebut ternyata merupakan jejak kaki anjing. Hal tersebut menurut Erwin menunjukkan rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap satwa liar.
Minimnya pengetahuan masyarakat tersebut disebabkan karena memang sampai sekarang masih sangat sedikit penelitian dan publikasi ilmiah terkait satwa liar di Indonesia, termasuk macan tutul.
ADVERTISEMENT
“Itu berakibat pada persepsi yang tidak tepat yang kemudian mengarah pada toleransi yang sangat kecil. Kemudian saat terjadi konflik penanggulangannya tidak tepat,” kata Erwin.
Menurut Erwin, ada lima prinsip utama penanggulangan konflik antara manusia dengan satwa liar. Pertama, harus dipahami dulu bahwa manusia dan satwa liar itu sama-sama penting.
Prinsip berikutnya adalah site spesifik, artinya penanganan di satu tempat belum tentu dapat diterapkan di tempat lain. Misalnya penanganan kasus di Jawa Barat belum tentu dapat digunakan untuk menangani kasus di Jawa Timur karena tipikal masyarakat yang berbeda.
“Selanjutnya tidak ada resep tunggal untuk semua masalah,” lanjutnya.
Penanggulangan konflik juga harus dilakukan dalam skala lanskap dan jangka panjang. Tidak hanya ditangani hanya di desa tertentu saja, tetapi lebih luas di habitat macan tutul. Terakhir, penanganan dan penanggulangan konflik macan tutul dan manusia juga harus dilakukan secara multipihak.
ADVERTISEMENT
Kapasitas Otak Manusia
Di kesempatan yang sama, Psikolog Sosial dari Komodo Survival Program, Puspita Insan Kamil, mengatakan ada dua hal yang menyebabkan tingginya interaksi antara manusia dengan satwa liar. Pertama adalah tingkat ekspansi manusia yang sangat masif dan kedua adalah fleksibilitas perilaku dan kemampuan belajar manusia yang tinggi.
Manusia memang tidak punya kemampuan kamuflase, memanjat, atau berjalan di dinding seperti yang dimiliki sejumlah hewan. Namun manusia memiliki kemampuan adaptasi dan kapasitas otak yang lebih besar.
“Tapi ternyata perbedaan ini cukup signifikan dan akhirnya membuat interaksi antara satwa dan manusia yang berat sebelah,” kata Puspita.
Kemampuan beradaptasi yang tinggi itu membuat manusia bisa beradaptasi di segala kondisi lingkungan, bahkan di tempat yang ekstrim sekalipun manusia bisa membuat peradaban.
ADVERTISEMENT
Menurut Puspita, ada diskursus yang hilang ketika membicarakan konflik antara satwa dengan manusia, yakni pertumbuhan populasi manusia yang masif. Pertumbuhan populasi manusia secara tidak langsung turut menyebabkan konflik antara manusia dengan satwa liar terus mengalami peningkatan.
“Ketika populasi bertambah berarti kita butuh lagi ruang tambahan, itu yang menyebabkan adanya tekanan habitat,” ujarnya.
Pertumbuhan populasi juga menyebabkan terjadinya perebutan kebutuhan dasar seperti makanan, air, udara, dan kesehatan sehingga menyebabkan tekanan produksi. Hal ini yang kemudian menyebabkan adanya alih fungsi lahan, terusirnya satwa dari habitatnya, sehingga meningkatkan potensi konflik.
Ketika populasi manusia terus meningkat, artinya manusia juga perlu mengembangkan pengetahuan supaya bisa hidup lebih baik. Seringkali, percobaan-percobaan untuk menemukan pengetahuan itu melibatkan spesies lain terutama monyet dan tikus sehingga menimbulkan adanya tekanan eksploitasi.
ADVERTISEMENT
“Seringkali manusia dipandang di ada luar konservasi, bahwa kita penjahatnya. Padahal manusia ada di dalam ekosistemnya,” ujarnya.
Hal ini menurutnya perlu diatasi dengan cara melibatkan semua pihak di sejumlah bidang mulai dari arsitektur, tata kota, ekologi, antropologi, teknologi pangan, kehutanan, ekonomi, psikologi, kedokteran, dan seluruh bidang ilmu lain, bagaimana menemukan teknologi baru supaya dengan pertumbuhan manusia yang terus meningkat namun tidak membuat tekanan yang ada terus meningkat.
“Jadi kita tidak membuat carrying capacity lingkungan semakin mendesak si satwa untuk masuk ke komunitas manusia,” ujar Puspita. (Widi Erha Pradana / YK-1)