Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Korban Meninggal Digigit Ular Terus Meningkat, tapi Ini Bukan Salah Ular
20 Mei 2021 14:33 WIB
ADVERTISEMENT
Kematian warga Playen, Gunungkidul, Anton Subagyo, 37 tahun, beberapa hari setelah lebaran 2021 karena digigit ular welang (Bungarus fasciatus) bukanlah sesuatu yang baru. Dalam setahun, setidaknya ada 135.000 kasus gigitan ular yang terjadi di Indonesia. Memang, tidak semuanya berakhir dengan kematian. Namun, jumlah korban meninggal gigitan ular yang tercatat terus mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT
Pada 2017, gigitan ular menewaskan 35 orang di Indonesia, pada 2018 meningkat menjadi 47 korban, dan pada 2019 kembali bertambah menjadi 54 korban. Indonesia memang memiliki spesies ular yang sangat besar, mencapai sekitar 349 spesies. Dari 349 jenis, 77 di antaranya merupakan jenis ular berbisa.
Tapi banyaknya jenis ular di Indonesia bukanlah masalah utama kenapa banyak penduduk Indonesia sampai meninggal karena gigitan ular. Dokter Spesialis Toksikologi hewan berbisa dan tanaman beracun, Tri Maharani, mengatakan bahwa tingginya tingkat kematian akibat gigitan ular di Indonesia karena penanganan pertama paska gigitan yang salah. Sebab, keberadaan ular justru menjadi penanda ekosistem yang terjaga sehingga faktor manusia lah yang musti menjadi perhatian bersama.
“Kegawatan untuk kasus-kasus gigitan ular di Indonesia itu karena cara-car penanganan awal atau first aid yang salah. Karena penduduk Indonesia tidak diajari bagaimana hidup berdampingan dengan ular,” kata Tri Maharani, Selasa (18/5).
ADVERTISEMENT
Tri Maharani adalah satu-satunya Dokter Spesialis Toksikologi ular berbisa di Indonesia. Ia juga menginisiasi pengumpulan data kasus gigitan ular di Indonesia, karena belum adanya lembaga resmi pemerintah yang melakukannya.
Imobilisasi Penentu Hidup dan Mati Korban Gigitan Ular
Sebenarnya bukan perkara sulit memberikan pertolongan pertama pada korban gigitan ular berbisa. Riset yang telah dilakukan puluhan tahun oleh WHO menunjukkan bahwa pertolongan pertama paling tepat yang mesti diberikan kepada korban gigitan ular adalah imobilisasi, yakni meminimalkan atau membuat bagian tubuh yang tergigit ular untuk tidak bergerak.
“Karena bisa ular itu menurut riset puluhan tahun dari WHO tidak lewat pembuluh darah, tetapi lewat kelenjar getah bening ketika pertama kali masuk ke tubuh kita dan menyebar,” jelas Tri Maharani.
ADVERTISEMENT
Dengan meminimalkan gerakan, maka penyebaran bisa ke seluruh tubuh bisa dicegah atau setidaknya dihambat. Sebaliknya, jika korban tetap melakukan banyak gerakan, maka bisa ular dengan cepat akan menyebar ke seluruh tubuh.
Karena itu, Tri Maharani meminta supaya setiap orang yang digigit ular untuk tetap tenang, jangan panik. Untuk meminimalkan gerakan, maka bisa dipasang bidai pada bagian tubuh yang tergigit ular, missal pada tangan atau kaki.
“Setelah itu langsung bawa ke pelayanan kesehatan terdekat, puskesmas atau rumah sakit secepatnya, jangan dibawa ke dukun,” ujarnya.
Tri Maharani juga menegaskan supaya masyarakat tidak memberikan pertolongan-pertolongan pertama yang salah pada korban gigitan ular, misalnya menghisap atau menyedot darah pada luka gigitan, menorah atau mengeluarkan darah korban, memijat, menggunakan obat herbal, atau yang paling sering dilakukan adalah mengikat bagian tubuh yang tergigit dengan asumsi akan menghentikan persebaran bisa ke seluruh tubuh.
ADVERTISEMENT
“Sekali lagi itu salah, bisa akan tetap menyebar karena dia menyebar lewat kelenjar getah bening. Justru cara ini akan membuat bagian yang terikat itu mengalami kematian sehingga harus diamputasi,” kata Tri Maharani.
Tri Maharani, juga menejaslakan bahwa bisa ular welang merupakan jenis bisa neurotoksin yang sudah membuat banyak sekali kasus kematian. Namun sebenarnya Indonesia sudah punya antivenom polivalen yang dapat digunakan untuk mengatasi beberapa jenis bisa ular seperti kobra jawa, welang, ular tanah, kobra sumatra, serta weling. Sehingga dapat membantu proses pengobatan gigitan ular welang jika nantinya membutuhkan antivenom, dengan catatan tidak ada kesalahan pertolongan pertama yang fatal.
Namun pertolongan pertama yang salah akan mengakibatkan racun semakin cepat merambat ke seluruh tubuh, menyebabkan hipoksia atau kekurangan oksigen sehingga membuat korban merasa sesak hingga akhirnya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
“Kalau dia benar digigit Bungarus fasciatus atau welang, sebetulnya sudah ada antivenomnya. Tapi masalahnya kan identifikasi jenis ularnya tidak jelas, yang identifikasi itu welang siapa itu enggak jelas, harus dipastikan dulu karena setiap bisa ular yang berbeda juga butuh antivenom yang berbeda,” ujarnya.
Tidak Setiap Kasus Gigitan Butuh Antivenom
Sampai saat ini, Indonesia baru memiliki satu jenis antibisa atau antivenom jenis polivalen yang bisa dipakai untuk mengatasi kasus gigitan beberapa jenis ular seperti welang, weling, kobra jawa, kobra sumatra, serta ular tanah. Jumlah ini tentu masih sangat sedikit dibandingkan jumlah ular berbisa di Indonesia yang mencapai 77 jenis, sebab setiap gigitan ular yang berbeda butuh antivenom yang berbeda pula.
Meski demikian, menurut Tri Maharani mestinya hal ini tidak terlalu jadi masalah. Sebab, tidak setiap kasus gigitan ular berbisa membutuhkan antivenom. Antivenom hanya dibutuhkan jika korban gigitan ular sudah mencapai fase sistemik, yakni ketika bisa ular telah menjalar ke seluruh tubuh.
ADVERTISEMENT
“Jadi tidak semua kasus gigitan ular itu harus ditolong pakai antivenom,” ujarnya.
Permasalahannya, fase sistemik ini biasanya terjadi akibat pertolongan pertama yang salah. Padahal, jika sejak awal diberikan pertolongan pertama yang benar maka korban gigitan ular tidak perlu mendapatkan antivenom, maka korban cukup dirawat di rumah sakit selama 48 jam, jika tidak ada tanda-tanda sistemik maka dia bisa pulang.
Karena itu, pemberian pertolongan pertama pada kasus gigitan ular menjadi faktor yang sangat penting untuk menentukan apakah korban bisa selamat atau tidak.
“Kalau first aid-nya benar kan tidak jadi sistemik. Tapi ketika first aid itu salah, justru akan membuat bisa semakin cepat menyebar ke seluruh tubuhnya,” ujarnya.