Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Lahan Basah Indonesia Berpotensi Jadi Ekowisata Berskala Internasional
8 Februari 2021 17:41 WIB

ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki enam situs situs lahan basah (ramsar) dengan total luas sebesar 1,42 juta hektare yang berpotensi dikembangkan menjadi ekowisata berskala internasional. Enam situs Ramsar tersebut di antaranya TN Berbak-Sembilang, TN Betung Kerihun-Danau Sentarum, TN Wasur, TN Rawa Aopa Watumohai, SM Pulau Rambut, serta TN Tanjung Puting.
ADVERTISEMENT
Potensi itu semakin besar mengingat tren di tengah masyarakat sekarang yang lebih menyukai wisata berbasis alam. Terlebih karena pandemi, masyarakat cenderung memilih berwisata di alam terbuka untuk menghindari kerumunan.
“Sekarang kan trennya orang-orang lebih ke wisata alam, apalagi pandemi seperti sekarang, orang-orang akan cari tempat-tempat wisata berbau alam yang jauh dari kerumunan,” kata Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Suratman di Yogyakarta, pekan lalu.
Selain menambah pendapatan negara, pengembangan situs Ramsar sebagai ekowisata juga akan mendongkrak perekonomian masyarakat di sekitarnya. Masyarakat bisa mendapatkan keuntungan misalnya dengan menjual oleh-oleh khas berupa suvenir, makanan tradisional, maupun jasa berupa penyewaan tempat inap.
Apalagi sekarang teknologi sudah semakin berkembang, promosi dapat semakin gampang dilakukan melalui media digital.
ADVERTISEMENT
“Suatu wilayah yang memiliki branding wetland seperti Raja Ampat, danau Toba, TN Wasur, dan yang lainnya, itu harus dipromosikan secara IT misal pakai Instagram, website, untuk dijadikan sebagai digital tourism, dan sebagainya,” ujarnya.
Potensi Ekonomi Berkelanjutan
Selain dimanfaatkan sebagai ekowisata, lahan basah di Indonesia yang luasnya sekitar 30 juta hektar juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai bisnis yang menguntungkan. Misalnya pertanian, perkebunan, maupun di sektor perikanan, tentunya dengan tetap memperhatikan aspek konservasi.
Menurutnya, pengelolaan lahan basah harus berbasis pada kemakmuran dan kesejahteraan manusia secara adil dan merata. Jika dikelola dengan baik, lahan basah dapat memberikan keuntungan bagi orang-orang di sekitarnya.
“Tapi kalau tidak dikelola dengan baik, maka orang-orang di sekitarnya hanya dapat bencana, yang dapat untung hanya segelintir orang saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tak sekadar keuntungan ekonomi, lahan basah juga dapat memberikan manfaat lain berupa jasa lingkungan seperti mitigasi bencana dan perubahan iklim, penyedia air, ketahanan pangan nasional maupun dunia, penyedia karbon terutama di kawasan ekosistem esensial mangrove, serta menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan keindahan alam.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pengelolaan lahan basah menurutnya mesti mempertahankan kearifan lokal yang sudah ada. Penggunaan teknologi bukan sesuatu yang haram, tapi jangan sampai penggunaan teknologi itu justru membuat ekosistem lahan basah rusak dan tidak bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.
“Tetapi sepertinya berat juga, karena kepentingan eksploitasi sumber daya alam ini lebih diprioritaskan untuk mengejar percepatan pembangunan,” ujar Suratman.
Jangan Mengubah Struktur
Senior Communication and Policy Officer Wetlands Indonesia, Ragil Satriyo Gumilang mengatakan lahan basah sebenarnya sangat mungkin memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat tanpa harus mengubah strukturnya. Misalnya dalam konteks gambut, masyarakat di sekitar lahan gambut bisa memanfaatkan sagu yang merupakan tanaman asli lahan gambut sebagai sumber bahan pangan.
ADVERTISEMENT
Komoditas lain juga masih banyak yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan perekonomian, misalnya getah jelutung.
“Ada juga komoditas-komoditas kayu yang bisa dimanfaatkan, tentunya dengan catatan pemanfaatannya harus dilakukan secara berkelanjutan,” ujar Ragil kepada Pandangan Jogja, Senin (1/2).
Di beberapa daerah, lahan gambut juga kerap dijadikan sebagai tempat budidaya ikan secara tradisional. Pemanfaatan ini biasanya dilakukan di kawasan gambut pasang surut. Di aliran tertentu masyarakat akan membuat semacam kolam, ketika air mengalir ikan akan masuk ke dalam kolam tersebut, dan ketika air surut mereka akan terjebak di dalamnya.
“Seperti yang dilakukan masyarakat Dayak misalnya ya. Jadi secara kearifan lokal, masyarakat adat sudah bisa memanfaatkan dengan benar sebetulnya,” kata Ragil.
Namun Ragil juga mengungkapkan fakta miris bahwa ternyata kondisi lahan basah Indonesia justru semakin terancam setiap waktu, kualitas maupun kuantitasnya semakin menurun. Sampai sekarang memang belum ada lembaga yang merilis data luas lahan basah Indonesia secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Tapi secara umum, fakta di lapangan menurutnya telah menunjukkan bahwa luas lahan basah di Indonesia semakin berkurang.
“Di pesisir ekosistem lahan basah banyak digunakan untuk budidaya tambak ikan dan jumlahnya semakin meningkat, otomatis lahan basahnya menurun. Begitu juga dengan gambut, sawah, dan yang lainnya,” ujar Ragil. (Widi Erha Pradana / YK-1)