Lahirnya Kampanye 'Jogja Ora Didol,' Protes Warga pada Haryadi Suyuti pada 2013

Konten Media Partner
5 Juni 2022 14:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mural Jogja Ora Didol di Pojok Beteng Wetan (Dok. Jogja Berdaya)
zoom-in-whitePerbesar
Mural Jogja Ora Didol di Pojok Beteng Wetan (Dok. Jogja Berdaya)
ADVERTISEMENT
Menjelang tengah malam di bulan Oktober 2013, sehari sebelum hari jadi Kota Jogja, Arif Buwono dan sejumlah seniman jalanan lain yang tergabung dalam komunitas Warga Berdaya naik ke sebuah bangunan di Pojok Beteng Wetan Yogyakarta menggunakan tangga bambu. Sampai di atas, mereka mulai membersihkan pamflet-pamflet yang menempel di tembok bangunan itu.
ADVERTISEMENT
Setelah bersih dari berbagai jenis pamflet, mereka lalu mengecat putih tembok yang sebelumnya dipenuhi dengan berbagai tulisan dan gambar. Setengah jam lamanya mereka menutup semua coretan itu dengan cat putih. Tapi, misi belum selesai.
Arif dan teman-temannya mulai menulisi tembok bercat putih itu dengan cat hitam dengan tulisan besar: JOGJA ORA DIDOL.
Apa yang dilakukan oleh Arif, didokumentasikan dalam sebuah video pendek yang diunggah ke YouTube oleh akun Abdullah Rofii delapan tahun lalu. Judul Video itu ‘Jogja Ora Didol Har’.
“Itu adalah pesan kami untuk Wali Kota Jogja saat itu, Haryadi Suyuti,” kata Arif Buwono menceritakan aksi muralnya delapan tahun silam ketika ditemui di Kompleks Balai Kota Jogja, Sabtu (4/6).
ADVERTISEMENT
Hasil mural Arif dan teman-temannya berhasil menarik perhatian warga Jogja yang melintasi jalan Pojok Beteng Wetan. Di hari ulang tahun kota Istimewa yang ke 257 itu, publik dibuat geger oleh ulah Arif. Sejak saat itulah frasa Jogja Ora Didol semakin sering terdengar, sebelum akhirnya dijadikan sebuah lagu oleh grup musik Jogja Hip Hop Foundation pada 2017.
“Kalau media sosial udah kayak sekarang, pasti viral itu,” lanjutnya.
Tapi mural itu hanya bertahan beberapa jam saja, tak sampai sehari. Belum jam 12 siang, petugas dari Satpol PP Kota Jogja langsung turun tangan untuk menghapus tulisan itu dengan cat putih.
Mendengar karya yang dia buat selama berjam-jam dihapus begitu saja oleh petugas, Arif jengkel. Malam harinya, menjelang tengah malam, dia kembali beraksi. Dia naiki lagi bangunan gedung itu untuk menulis ulang kalimat yang sama: Jogja Ora Didol.
ADVERTISEMENT
“Sayang banget sudah dibuat susah-susah kok dihapus gitu aja,” ujarnya.
Tapi ketika kalimatnya belum selesai ditulis sebuah mobil Kijang datang menghampirinya. Seorang petugas dan pria berpakaian preman memaksanya turun, bahkan mengancam Arif akan menembak kepalanya jika dia tak mau turun. Arif diangkut dengan mobil itu bersama petugas.
Aksi Arif ternyata berbuntut panjang sampai ke pengadilan. Hingga akhirnya pengadilan memvonis Arif 7 hari kurungan dengan masa percobaan 14 hari.
“Tapi semua itu saya pikir terbayar karena kampanye ‘Jogja Ora Didol’ setelah itu semakin masif,” kata Arif.
Jogja Didol untuk Bangun Hotel
Arif Buwono sedang mencukur rambut Dodok Putra Bangsa di depan Balai Kota Jogja. Foto: Widi Erha Pradana
Ide kampanye ‘Jogja Ora Didol’ menurut Arif bermula dari semakin maraknya pembangunan hotel di Kota Jogja. Ruang-ruang publik di Jogja saat itu juga semakin terdesak oleh bangunan-bangunan hotel baru. Tak cuma mendesak ruang-ruang publik, hotel-hotel baru itu juga memunculkan masalah-masalah lingkungan, terutama masalah ketersediaan air tanah.
ADVERTISEMENT
Tak hanya masalah hotel, saat itu Jogja juga makin dipenuhi dengan baliho dan banner iklan ilegal yang kemudian menjadi sampah visual. Hal-hal itulah yang menurut Arif menunjukkan jika Jogja seperti sedang dijual.
“Jadi sudah sejak 2013 kami berpesan ke Haryadi kalau Jogja itu tidak dijual, Jogja itu milik warga,” kata Arif.
Aksi mural di Pojok Beteng Wetan itu dilakukan juga karena Arif dan teman-temannya tak punya ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Jalur-jalur advokasi secara formal cenderung mandek dan tidak pernah didengar. Sedangkan media sosial belum secepat sekarang yang bisa dengan mudah memviralkan sesuatu.
“Akhirnya mural jadi pilihan kami, walaupun berisiko,” ujarnya.
Tapi pesan itu ternyata tak didengar oleh Haryadi Suyuti, Wali Kota Jogja yang baru 22 Mei kemarin berakhir masa jabatannya. Hingga 2 Juni kemarin Haryadi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap perizinan pembangunan apartemen di Jogja.
ADVERTISEMENT
“Mungkin kualat ya, karena enggak mau dengerin pesan warganya sejak hampir 10 tahun lamanya,” kata Arif.
Pengingat untuk Warga Jogja
Elanto Wijoyono usai melayani wawancara Pandangan Jogja, beberapa waktu lalu. Foto: Widi Erha Pradana
Aktivis Warga Berdaya lain, Elanto Wijoyono, yang juga salah satu inisiator kampanye ‘Jogja Ora Didol’, mengatakan bahwa kampanye itu sebenarnya bukan hanya pesan untuk pemerintah Kota Jogja. Justru, pesan itu ditujukan kepada warga Jogja secara luas supaya lebih mewaspadai laju pembangunan di Jogja yang semakin memarjinalkan warga.
“Apa yang ada di Jogja itu adalah sesuatu yang harus kita jaga, tidak kemudian kita lepas sehingga kita hanya jadi penonton di rumah kita sendiri,” kata Elanto ketika ditemui di kantornya, Jumat (4/6).
Pesan ‘Jogja Ora Didol’ memang bisa dimaknai sebagai pesan untuk pemerintah. Namun pesan utamanya justru ditujukan untuk seluruh warga Jogja. Masa depan Jogja menurut dia ada di tangan warganya. Karena itu, warga Jogja mesti memiliki rasa memiliki terhadap Jogja supaya tidak mudah melepaskan ruang hidupnya ke orang lain.
ADVERTISEMENT
“Kami percaya kampanye paling efektif ya kampanye kepada sesama warga, karena pada akhirnya yang bisa mempertahankan Kota Jogja ya warga Jogja itu sendiri,” ujarnya.