Legenda Kutukan pada Warga Desa Jahat di Sendang Klangkapan, Sayegan, Sleman

Konten Media Partner
1 Mei 2021 15:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Warga desa membunuh dua pengemis kudisan dan bau, esok harinya seluruh ternak di desa itu lumpuh dan diserang penyakit kulit.
Sendang Klangkapan di Sayegan, Sleman, DIY. Foto: Widi Erha Pradana
Sinar matahari yang jatuh di permukaan air Sendang Klangkapan memantul, menyilaukan mata. Tak ada siapapun siang itu, selain capung yang terus terbang dan sesekali mencelupkan sedikit bagian tubuhnya ke permukaan air yang kehijauan menciptakan setitik gelombang kecil lalu meluas dan menghilang.
ADVERTISEMENT
Sesekali, sejumlah burung berkicau di balik rimbunnya pohon beringin, berkelabat, berlindung dari teriknya matahari siang itu. Sementara itu, air terus mengalir deras dari sebuah mata air ke dalam sendang berukuran sekitar 30 meter x 10 meter dengan kedalaman 2 meter itu, membuatnya sampai meluap keluar sendang.
“Sudah lama tidak dikuras, jadinya agak hijau airnya,” kata Suwardi, 83 tahun, sosok yang setiap hari membersihkan Sendang Klangkapan namun enggan disebut juru kunci menggunakan bahasa Jawa, Jumat (23/4).
Sebelum pandemi, Sendang Klangkapan yang berada di Dusun Klangkapan I, Desa Margoluwih, Kecamatan Seyegan, Sleman itu rutin dikuras. Di sana, hampir setiap hari ada orang yang mandi, terutama anak-anak. Namun siang itu tak ada satupun orang terlihat di sendang maupun di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau dikuras, semalam saja sudah penuh lagi,” lanjutnya.
Suwardi kemudian memulai cerita panjangnya tentang bagaimana sendang atau mata air itu lahir, mengisahkan ulang cerita yang berkembang turun temurun.
Ki Tunggulwana adalah sosok penting yang dipercaya berperan besar pada proses lahirnya Sendang Klangkapan. Ki Tunggulwana dipercaya sebagai orang yang pertama kali menempati daerah itu, yang dulu masih bernama Ngara-ara. Wilayah tersebut masih berupa hutan, karena itu Ki Tunggulwana harus membabat alas supaya bisa dijadikan pemukiman dan sawah.
“Seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai berdatangan dan tempat itu jadi ramai,” ujarnya.
Ki Tunggulwana mendapatkan semacam wangsit, bahwa tempat tersebut akan selalu subur, masyarakatnya damai dan sejahtera dengan catatan seluruh rakyatnya saling tolong menolong dan mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan. Pada sebuah pertemuan, sejumlah warga mengusulkan untuk mengadakan ritual bersih desa sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas semua nikmat yang telah diberikan.
ADVERTISEMENT
“Ki Tunggulwana setuju, semua orang ikut membersihkan desa, harinya itu dulu Selasa Kliwon,” lanjutnya.
Datangnya Kutukan
Suwardi, 83 tahun, juru kunci Sendang Klangkapan. Foto: Widi Erha Pradana
Ketika semua orang sedang sibuk melakukan bersih desa, datanglah dua orang laki-laki dan perempuan dengan pakaian yang compang camping dan sedang menderita penyakit kulit parah, kudis dan kurap. Mereka berdua datang untuk minta makan karena sudah berhari-hari tak makan.
Badan kedua orang itu mengeluarkan bau yang tidak sedap, yang akhirnya membuat salah seorang warga bernama Jagal Kasusra dan kelompoknya merasa terganggu. Meski telah diusir oleh Jagal Kasusra, kedua orang itu enggan pergi karena belum mendapatkan makanan.
Jagal Kasusra semakin jengah, apalagi teman-temannya terus memprovokasi dia. Hingga akhirnya, Jagal Kasusra tak mampu lagi menahan emosinya dan langsung menghajar dua pengemis itu sampai mati.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang satu desa ribut, sampai Ki Tunggulwana harus turun tangan,” kata Mbah Suwardi sembari membetulkan posisi peci yang dia kenakan.
Ki Tunggulwana yang merasa sangat kecewa dengan perbuatan Jagal Kasusra kemudian memerintahkan beberapa warga untuk menguburkan kedua jenazah itu menggunakan ritual keagamaan. Alih-alih mengidahkan instruksi Ki Tunggulwana, Jagal Kasusra justru melanggar perintah lagi.
Tanpa merasa berdosa sedikitpun, Jagal Kasusra dan teman-temannya mengambil kedua jenazah lalu membuangnya ke sungai.
Mengetahui hal itu, Ki Tunggulwana kemudian mencari dua jenazah yang dibuang oleh Jagal Kasusra itu ke sungai. Namun hasilnya nihil. Yang dirasakan oleh Ki Tunggulwana dan warga desa lain hanya sesal.
Tak ada yang aneh selama beberapa hari setelah insiden itu. Hingga akhirnya petaka itu benar-benar tiba. Seluruh hewan ternak milik warga tetiba lumpuh dan menderita sakit kulit. Warga yang panik kemudian meminta bantuan kepada Ki Tunggulwana.
ADVERTISEMENT
“Ki Tunggulwana bilang kalau bencana itu akibat matinya dua orang tidak bersalah karena dibunuh waktu acara bersih desa,” ujarnya.
Melihat warga desa panik, Ki Tunggulwana kemudian menyarankan supaya mereka memandikan seluruh hewan ternaknya di sebuah sungai yang ada di tepi desa. Namun ketika warga sudah sampai di sungai, ternyata sungai sudah mengering, tak ada lagi air yang mengalir.
Kekacauan makin menjadi ketika di situasi seperti itu Ki Tunggulwana yang diharapkan mampu memberikan solusi justru menghilang. Selama berhari-hari, Ki Tunggulwana pergi bertapa tanpa diketahui warga desa.
Lahirnya Sendang Klangkapan
Pohon beringin besar di sisi Sendang Klangkapan. Foto: Widi Erha Pradana
Ketika kondisi desa makin tak keruan, dan warga sudah mulai putus asa karena tak tahu harus berbuat apa lagi, Ki Tunggulwana akhirnya pulang dari pertapaannya. Secercah harapan untuk memperbaiki desa kembali lahir.
ADVERTISEMENT
Ki Tunggulwana yang baru pulang dari bertapa mendapatkan petunjuk supaya desa Ngara-ara yang mereka tinggali bisa subur dan damai lagi seperti sediakala. Pertama, warga harus menjalankan ritual bersih desa setiap tahun sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Berikutnya, warga harus bersikap baik dan tidak lagi menyakiti orang lain.
“Yang ketiga itu warga harus beribadah kepada Gusti Allah,” kata mbah Suwardi.
Dengan tiga hal itu, maka bencana yang melanda desa mereka tidak akan terjadi lagi. Ki Tunggulwana juga menyuruh semua warga untuk kencing di bahwa sebuah pohon beringin yang ada di desa mereka keesokan harinya.
Ketika datang untuk kencing, warga dikejutkan dengan munculnya dua mata air di bawah pohon beringin tersebut. Saat ini, sendang yang ada di sebelah utara dengan ukuran lebih besar disebut dengan sendang lanang atau laki-laki, sedangkan sendang di sebelah selatan yang lebih kecil dinamai sendang wadon atau perempuan.
ADVERTISEMENT
Ketika warga menanyakan tentang fenomena itu, Ki Tunggulwana hanya mengatakan bahwa hal tersebut sudah ada dalam petunjuk yang dia terima ketika bertapa. Warga kemudian meminta Ki Tunggulwana untuk memberi nama sendang tersebut.
“Kemudian diberi nama Sendang Klangkapan, karena ada di bawah pohon beringin yang kulitnya sudah nglingkap (terkelupas) karena sudah terlalu tua,” ujarnya.
Sebenarnya ada versi cerita lain yang berkembang di tengah masyarakat. Selain kisah Ki Tunggulwana, ada juga cerita tentang Sunan Kalijaga. Konon, saat Sunan Kalijaga sedang berdakwah, dia sempat singgah di desa tersebut dan menemukan sebuah belik atau mata air.
Karena haus, Sunan Kalijaga bermaksud untuk meminum air dari mbelik tersebut. Namun karena tidak ada gayung, dia kemudian mengambil air dengan cara menggunakan kedua tangannya lalu dikokop langsung. Dari kata dikokop itu kemudian berkembang jadi kokopan hingga akhirnya berkembang lagi jadi Klangkapan.
ADVERTISEMENT
Dipugar di Zaman Belanda
Sendang Klangkapan terlihat dari sisi samping. Foto: Widi Erha Pradana
Pertamakali, Sendang Klangkapan dipugar pada tahun 1920-an, ketika masih zaman penjajahan Belanda. Dari yang sebelumnya hanya berbentuk mata air kecil, Sendang Klangkapan kemudian diberi pagar dan talud dari semen atas inisiatif kepala desa saat itu.
Namun, Sendang Klangkapan baru diresmikan setelah Indonesia merdeka pada 1946. Selain untuk mandi dan mencuci oleh warga setempat, Sendang Klangkapan juga kerap digunakan untuk tempat latihan anggota TNI.
“Airnya juga dipakai buat irigasi, ada dua dusun yang pakai air dari Sendang Klangkapan buat irigasi,” kata Mbah Suwardi.
Di sekitar sendang, terdapat tiga pohon beringin dengan ukuran sedang. Awalnya, ada satu pohon beringin yang lebih tua, yang ditanam oleh Sultan HB IX pada saat peresmian Sendang Klangapan.
ADVERTISEMENT
“Tapi sudah tumbang, sekarang sudah baru semua pohonnya,” ujarnya.
Di bawah beringin yang ada di sisi utara sendang juga terdapat sebuah yoni yang sudah sejak dulu ada di Sendang Klangkapan. Keberadaan yoni itu menandakan bahwa sebelumnya sempat ada aktivitas masyarakat Hindu di Sendang Klangkapan. Sebab, dalam ajaran Hindu yoni merupakan simbol keperempuanan dan menggambarkan istri dari Dewa Siwa.