Konten Media Partner

Mahkamah Agung Tak Tersentuh, Bagaimana Pemerintah Reformasi Lembaga Peradilan?

29 September 2022 16:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mahfud MD hadiri dialog kehidupan beragama dengan tema "Konservatisme Beragama di Tahun Politik" di Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mahfud MD hadiri dialog kehidupan beragama dengan tema "Konservatisme Beragama di Tahun Politik" di Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Peneliti dari Pusat Kajian Antiokorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, soal keprihatinan pemerintah terhadap maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan. Hal ini sebagai buntut dari ditangkapnya Hakim Agung Sudrajad Dimyati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa saat lalu.
ADVERTISEMENT
Zaenur Rohman mengatakan, sebagai Menko Polhukam, Mahfud MD mestinya punya langkah yang nyata sebagai upaya memberantas praktik-praktik korupsi di lembaga peradilan. Pasalnya, salah satu tugas Menko Polhukam adalah mengkoordinir institusi di bidang hukum yang ada di Indonesia, termasuk lembaga peradilan.
“Saya berharap Menko Polhukam tidak sekadar berkomentar, karena berkomentar itu menjadi wilayah dari para pengamat, aktivis, atau masyarakat umum,” kata Zaenur Rohman, Kamis (29/9).
Dengan kewenangan yang dimilikinya, Mahfud MD mesti bisa menjalankan langkah-langkah yang strategis dalam rangka mereformasi lembaga peradilan di Indonesia.
Memang, berdasarkan aturan yang ada saat ini, pemerintah sebagai lembaga eksekutif tidak boleh masuk ke wilayah kekuasaan yudikatif. Namun, pemerintah bisa memperbaiki situasi korupsi di lembaga peradilan melalui beberapa cara. Salah satunya dengan melakukan reformasi institusi peradilan yang berada di bawah pemerintah, khususnya kepolisian dan kejaksaan.
ADVERTISEMENT
“Karena mafia peradilan itu biasanya berjejaring. Tidak mungkin beroperasi secara terpisah,” lanjutnya.
Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman. Foto: Dok. Pribadi
Biasanya bahkan dalam kasus jual-beli perkara ada istilah ‘paketan’, dimana di dalamnya sudah terdapat penyidik, jaksa penuntut umum, sampai pada majelis hakim yang sudah dipilih untuk memuluskan rencana jahat tersebut. Sehingga penting sekali bagi pemerintah untuk melakukan reformasi di dua institusi tersebut, apalagi reformasi di kepolisian dan kejaksaan selama ini relatif mandek.
“Tidak ada satu kemajuan yang signifikan. Mungkin ada kemajuan tetapi sangat lambat, masih ada perilaku-perilaku menyimpan dari penegak hukum baik dari kepolisian maupun kejaksaan,” ujar Zaenur.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam menjalankan reformasi lembaga peradilan ini di antaranya bagaimana memperbaiki kesejahteraan aparat penegak hukum, meningkatkan kualitas pengawasan, memperbaiki kultur kerja dan akuntabilitas sehingga dapat meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga perlu memperbaiki peraturan yang menyebabkan mudahnya terjadi mafia peradilan atau korupsi di bidang peradilan. Harus ada langkah tegas dari negara untuk melakukan pemberantasan korupsi.
“Di antaranya dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset yang bisa dilakukan dengan DPR dan mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Tunai,” kata dia.
Dua RUU tersebut menurut Zaenur dapat memiskinkan koruptor, sehingga harapannya akan membuat para pejabat takut untuk melakukan praktik korupsi, termasuk pejabat di dalam lembaga peradilan. Selama ini, hukum yang ada gagal membuat para pelaku koruptor jera, terlebih dengan mudahnya para pelaku koruptor mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Apalagi UU Pemasyarakatan yang baru memungkinkan remisi dapat diberikan kepada pelaku kejahatan tanpa terkecuali. Padahal sebelumnya remisi dikecualikan dari pelaku kejahatan tipikor, narkotika, dan terorisme.
ADVERTISEMENT
“Hal itu menjadikan proses penjeraan menjadi gagal,” ujarnya.
Zaenur Rohman juga menyinggung pentingnya perbaikan hukum acara melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasalnya, KUHAP yang berlaku saat ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada aparat penegak hukum dengan alasan melakukan kontrol terhadap kriminal. Akibatnya, kewenangan aparat penegak hukum menjadi sangat besar sehingga rawan terjadi penyalahgunaan.
“Karena itu, perlu diseimbangkan dengan kontrol terhadap aparat penegak hukum, reformasi KUHAP itu sangat mendesak,” kata Zaenur Rohman.
Sebelumnya, Mahfud MD mengungkapkan kekecewaan Presiden Jokowi kepada lembaga peradilan di Indonesia setelah ditangkapnya Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Pasalnya, ketika pemberantasan korupsi sudah dilakukan cukup baik di ranah eksekutif, justru masih sering terjadi penggembosan di lembaga yudikatif dengan tameng hakim harus merdeka dan independen sehingga tidak boleh ada intervensi apapun dari pihak luar.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah sudah berusaha menerobos berbagai blokade di lingkungan pemerintah untuk memberantas mafia hukum, tapi sering gembos di pengadilan,” kata Mahfud MD dilansir Kumparan News, Selasa (27/9).
Lebih lanjut, pemerintah menurut dia juga sudah bertindak tegas termasuk untuk mengamputasi bagian tubuhnya sendiri seperti menindak pelaku kasus korupsi Asuransi Jiwasraya, Asabri, Garuda, Satelit Kemhan, Kementerian, dan sebagainya. Kejaksaan Agung dan KPK juga dinilai sudah bekerja keras dan cukup berhasil dalam memberantas korupsi.
Tapi dengan dalih bahwa hakim harus merdeka, ternyata lembaga peradilan justru menjadi sarang jual-beli perkara karena tidak tersentuh oleh pihak luar.
“Kami tidak bisa masuk ke MA karena beda kamar, kami eksekutif sementara mereka yudikatif,” ujarnya.
“Mereka selalu berdalil bahwa hakim itu merdeka dan tak bisa dicampuri. Eh, tiba-tiba muncul kasus hakim agung Sudrajad Dimyati dengan modus perampasan aset koperasi melalui pemailitan. Ini industri hukum gila-gilaan yang sudah sering saya peringatkan di berbagai kesempatan," tegas Mahfud MD.
ADVERTISEMENT