Konten Media Partner

Makam Keramat di Tengah Terminal Giwangan, Yogyakarta

21 Agustus 2021 15:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ada makam keramat tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Mataram yang belum banyak diketahui orang
Jjuru kunci, Supangat, 62 tahun di depan Makam Kyai Guno Mrico. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Jjuru kunci, Supangat, 62 tahun di depan Makam Kyai Guno Mrico. Foto: Widi Erha Pradana
Makam di tengah-tengah terminal. Aneh memang. Tapi begitulah faktanya. Meski telah dibangun terminal Giwangan, terminal bus terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) makam itu tak pernah dipindah. Sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Ya, di tengah kawasan terminal Giwangan, Yogyakarta, tersebut terdapat komplek pemakaman yang di dalamnya terdapat makam tokoh penting dalam sejarah kerajaan Mataram. Makam itu, kini dikelilingi oleh tembok-tembok terminal yang tinggi.
Tokoh penting yang dimakamkan di sana adalah Kyai Guno Mrico, sosok yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat Kampung Mrican, Giwangan. Kyai Guno Mrico disebut-sebut sebagai pepunden, orang yang pertama kali membuka kawasan Kampung Mrican sebagai perkampungan hingga menjadi perkampungan padat penduduk seperti sekarang.
Karena itulah, nama Kyai Guno Mrico itu kemudian dijadikan sebagai nama kampung tersebut. Selain dijadikan nama kampung, nama Kyai Guno Mrico juga dijadikan sebagai nama jalan utama di kampung tersebut.
“Karena itu masyarakat Mrican sangat menghormati sosok Kyai Guno Mrico,” kata juru kunci Makam Kyai Guno Mrico, Supangat, 62 tahun, menggunakan bahasa Jawa, Jumat (20/8).
ADVERTISEMENT
Sebelum dibangun menjadi terminal seperti sekarang, komplek pemakaman tersebut dikelilingi oleh komplek persawahan. Ketika pemerintah berencana untuk membangun kawasan tersebut menjadi terminal sekitar tahun 2003, masyarakat memberikan syarat untuk tidak memindahkan makam leluhur mereka. Karena itu makam tersebut masih bertahan di tengah-tengah terminal sampai saat ini.
Supangat, atau yang lebih dikenal dengan nama Mbah Dempul, mengatakan bahwa Kyai Guno Mrico sempat berpesan kepada anak cucunya sebelum wafat untuk tidak memindahkan makamnya apapun yang terjadi. Kyai Guno Mrico mengatakan bahwa suatu saat, tanah di wilayah Mrican akan menjadi ‘tanah emas’. Benar saja, saat ini harga tanah di Kampung Mrican sudah mencapai belasan juta per meter.
“Ya sudah kayak emas harganya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menelusur Sosok Kyai Guno Mrico
Salah satu ornamen di kompleks Makam Kyai Guni Mrico. Foto: Widi Erha Pradana
Sangat disayangkan, sangat minim referensi tentang sosok Kyai Guno Mrico. Tapi dari cerita turun temurun, Mbah Dempul menceritakan bahwa Kyai Guno Mrico memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Mataram Islam yang kala itu masih berkedudukan di Kotagede yang berdiri setelah menaklukan Kasultanan Pajang yang kemudian diikuti dengan penaklukan sejumlah wilayah sekitar di Jawa Timur.
Konon, setiap wilayah yang berhasil ditaklukan, pasukan penakluk akan memboyong perempuan-perempuan dari wilayah tersebut untuk dipersembahkan kepada raja atau sultan. Saat itu, ada seorang perempuan dari wilayah yang berhasil ditaklukan yang sangat sulit untuk diboyong. Namun Kyai Guno Mrico kemudian berhasil membawa perempuan tersebut dalam keadaan tidur bersama tempat tidurnya ke Keraton Kotagede.
ADVERTISEMENT
“Kyai Guno Mrico lalu dikasih hadiah berupa tanah yang sekarang jadi Kampung Mrican ini,” kata Mbah Dempul.
Tak hanya diberi hadiah berupa tanah, oleh Raja Mataram saat itu, Kyai Guno Mrico juga mendapat wewenang sebagai keamanan pasar Kotagede.
Dari cerita turun temurun, Mbah Dempul juga mengatakan bahwa Kyai Guno Mrico sempat menjadi teman seperguruan Panembahan Senopati. Sayangnya karena keterbatasan informasi, tak jelas kepada siapa mereka berdua berguru.
“Saya inginnya ada buku yang cerita tentang Kyai Guno Mrico, biar jelas dan lebih gampang juga menurunkan sejarahnya ke anak-anak sekarang,” ujarnya.
Hanya Dibatasi Tembok Tinggi
Komplek makam Kyai Guno Mrico benar-benar terletak di tengah terminal Giwangan. Untuk masuk ke dalamnya, hanya ada satu jalan, yakni sebuah pintu yang berada di sebelah timur tembok pembatas terminal Giwangan.
ADVERTISEMENT
Pintu itu mengarahkan ke sebuah jalan menurun yang berbentuk terowongan bawah tanah seperti gua yang berada tepat di bawah jalur keberangkatan bus. Ternyata terowongan itu bertujuan supaya jika ada orang yang mau mengakses kawasan makam tidak perlu masuk ke kawasan terminal.
“Ini satu-satunya jalan menuju makam,” kata Mbah Dempul dalam perjalanan menyusuri lorong yang setengah gelap tersebut.
Di ujung lorong, tepat sebelum sampai ke makam, terdapat dua patung naga di samping kanan dan kiri pintu. Menurutnya, tak ada makna khusus tentang patung naga tersebut selain sebagai unsur estetika.
Di dalamnya ternyata bukan hanya ada makam Kyai Guno Mrico, sebab komplek makam tersebut memang komplek pemakaman umum yang masih aktif sampai sekarang. Di tengah makam, terdapat sebuah pohon asem jawa yang cukup besar dan menjadi pohon utama di makam tersebut.
ADVERTISEMENT
Pohon-pohon kamboja yang banyak tumbuh di area makam tampak sedang berbunga dengan perpaduan warna putih dan kuning. Beberapa pohon singkong juga tampak tumbuh subur di area pemakaman.
“Ini saya yang nanam, di kota jarang ada makam yang ditanami singkong,” ujarnya.
Makam tersebut hanya dibatasi oleh tembok tinggi yang berbatasan langsung dengan terminal. Tembok inilah yang membuat banyak orang tak sadar bahwa di dalam terminal Giwangan sebenarnya ada komplek pemakaman.
Juru kunci di antara relief di Makam Kyai Guno Mrico. Foto: Widi Erha Pradana
Makam Kyai Guno Mrico ditandai dengan sebuah bangunan bercat hijau. Di kanan dan kiri pintu bangunan tersebut, terdapat sebuah relief bergambar sosok laki-laki bercelana pendek dan bertelanjang dada yang sedang duduk bersila.
“Ini enggak punya arti juga, buat hiasan saja,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di dalam bangunan tersebut, terdapat dua makam yang berdampingan di sebelah barat dan timur. Makam yang ada di sebelah barat merupakan makam Kyai Guno Mrico, sedangkan di sebelahnya merupakan makam abdi atau pengikut setia Kyai Guno Mrico. Kedua makam itu diselimuti dengan kain mori putih yang menambah kesan keramat.
“Sampai sekarang banyak yang ziarah ke sini dari mana-mana, terutama dari wilayah timur,” ujarnya.
Di sebelah timur bangunan makam terdapat sebuah rumah kecil mirip cungkup yang di dalamnya kosong. Menurut Mbah Dempul, dulunya cungkup itu berisi batu lumpang kuno yang saat ini suda tidak ada. Tak jelas di mana batu lumpang itu berada, tapi berdasarkan informasi batu lumpang itu dibawa oleh seseorang ke daerah Mlangi, Sleman.
ADVERTISEMENT
Tradisi Penghormatan Kepada Kyai Guno Mrico
Kompleks Makam Kyai Guno Mrico. Foto: Widi Erha Pradana
Sebagai bentuk penghormatan kepada Kyai Guno Mrico sebagai leluhurnya, sampai sekarang masyarakat Mrican masih melakukan sejumlah ritual. Ritual-ritual tersebut juga bertujuan sebagai ungkapan terima kasih kepada Kyai Guno Mrico karena telah membabad alas kawasan yang mereka tinggali saat ini.
Salah satu ritual yang masih dijalankan sampai sekarang adalah upacara nyadran, yakni ziarah kubur secara masal. Upacara nyadran ini dilakukan setiap bulan Ruwah (bulan Jawa sebelum bulan Puasa), bulan Mulud, serta beberapa hari menjelang lebaran. Khusus dua atau tiga hari sebelum puasa Ramadhan, masyarakat mengadakan kenduri ketupat.
“Maknanya itu masyarakat mengakui lepat (salah dan dosa), sehingga suci lagi sebelum masuk bulan Puasa,” kata Mbah Dempul.
ADVERTISEMENT
Pada ritual tersebut, masyarakat juga saling maaf-memaafkan dengan tetangga-tetangga mereka dan kepada saudara-saudara mereka yang telah meninggal dan dimakamkan di komplek pemakaman tersebut, terutama kepada leluhur mereka, Kyai Guno Mrico.
“Bagaimanapun, tanpa Kyai Guno Mrico, tak akan ada Kampung Mrican seperti sekarang,” ujarnya.