Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Malioboro Tanpa Pedagang Kaki Lima (2): Masalah Lama Tinggal Wisatawan
5 Desember 2021 19:08 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Sebelum maupun setelah adanya pandemi, lama kunjungan wisatawan yang datang ke Jogja masih rendah. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, sebelum pandemi rata-rata lama tinggal wisatawan domestik di hotel Jogja hanya sekitar 1,7 hari, sedangkan untuk wisatawan mancanegara sekitar 2,5 hari.
ADVERTISEMENT
Angka ini masih jauh dari durasi tinggal wisatawan di Bali, bahkan setelah adanya pandemi. Per Januari 2021, rata-rata durasi wisatawan mancanegara yang menginap di hotel berbintang di Bali mencapai 5,7 hari, sedangkan untuk wisatawan domestik mencapai 3,25 hari.
Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengatakan pihaknya telah mengusulkan berbagai upaya kepada Pemprov untuk meningkatkan durasi tinggal wisatawan di Jogja. Dari berbagai pertemuan dengan stakeholder wisata di Yogya termasuk dengan pemerintah, salah satu kata kunci yang keluar untuk memperpanjang lama tinggal wisatawan di Jogja adalah dengan menyediakan wisata malam.
Misalnya, dengan menghidupkan Malioboro sampai malam, dimana di sejumlah titiknya nanti terdapat berbagai pertunjukan kesenian. Karena itu, Deddy menilai keputusan Pemerintah DIY merelokasi para PKL ke gedung eks Bioskop Indra merupakan langkah yang tepat. “Soal relokasi PKL sebenarnya di luar urusan PHRI tapi memang sudah jadi rencana pemerintah DIY sejak lama. Sekarang saja baru dimulai relokasinya. Tapi kita melihat memang kalau mau dilihat secara luas, pembenahan Malioboro akan berdampak pada kita semua termasuk PKL yang sekarang direlokasi,” ujar Deddy Pranowo ketika dihubungi, Jumat (3/12).
Deddy menerangkan dengan relokasi PKL ke area khusus menjadi seperti Pasar Beringharjo jilid 2, maka Malioboro bisa menjadi area panggung pertunjukan dan pengalaman yang jauh lebih luas bagi wisatawan.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, Malioboro adalah tempat yang paling penting untuk menarik wisatawan, sekaligus menjadi komponen krusial untuk memperlama durasi tinggal wisatawan di Jogja. Meski telah berkunjung ke tempat wisata lain seperti Pantai Parangtritis, Kaliurang, atau Gunungkidul, namun mereka akan merasa belum lengkap kalau belum ke Malioboro.
“Jadi bayangkan malam hari Malioboro bisa hidup sampai dini hari, ada panggung pertunjukan, pentas kesenian, kreativitas warga. Wisawatan jadi punya alasan lebih lama di Yogya. Balik-balik semua untung, PKL yang direlokasi pun untung kan kalau Malioboro bisa 3 kali lebih ramai dari sekarang dan sampai dini hari di Malioboro, pasti kan ya beli oleh-oleh ke mereka,” papar Deddy.
Tak hanya di Malioboro, pertunjukan-pertunjukan seni juga dapat ditampilkan secara reguler pada malam hari di tempat lain, seperti di Museum Sonobudoyo, Ndalem Pujokusuman, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Wisata malam, menurut Deddy juga menjadi kunci membuat lebih lama tinggal wisawatan asing dan wisawatan domestik berdompet tebal. Untuk itu pemerintah juga bisa menyiapkan tempat khusus untuk wisatawan mancanegara atau menengah ke atas. Salah satu pantai di Gunungkidul bisa disediakan khusus untuk mereka dengan harga yang lebih tinggi, seperti pantai-pantai di Bali dimana mereka bisa mengenakan bikini dan sebagainya. Sehingga, budaya yang mereka bawa tidak akan mengganggu budaya lokal yang ada.
“Tapi tidak usah jadi Bali, kita punya branding sendiri, yaitu budaya. Kalau mau pakai bikini di pantai bisa saja, tapi pantai yang khusus,” ujarnya.
Selama ini, durasi tinggal wisatawan di Bali yang lebih lama ketimbang di Jogja menurut dia karena Bali memang memiliki wisata yang lebih lengkap, apalagi dulu Jogja belum punya bandara internasional YIA seperti sekarang. Untuk bisa mengejar Bali, Jogja perlu meningkatkan obyek wisata yang dimiliki, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
ADVERTISEMENT
Dengan upaya-upaya itu, serta dukungan infrastruktur berupa bandara internasional, harapannya jumlah kunjungan serta durasi tinggal wisatawan di Jogja akan meningkat. Dengan begitu, rata-rata uang yang dibelanjakan oleh wisatawan di Jogja juga akan lebih besar, dimana saat ini jumlah uang yang dibelanjakan wisatawan Jogja di hotel rata-rata antara Rp 600 ribu sampai Rp 5 juta untuk wisatawan domestik, serta Rp 2 juta sampai Rp 10 juta untuk wisatawan mancanegara.
“Kalau tinggalnya makin lama, kan uang yang dibelanjakan makin besar juga. Kami mengejar rata-rata itu nanti 3 hari seperti di Bali,” kata Deddy Pranowo Eryono.
Wisata Masih Dikelola Secara Parsial
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Bobby Ardyanto Setyo Ajie, muara persoalan rendahnya lama tinggal wisatawan di Jogja yang tak kunjung tumbuh dari angka 1,7 hari, menurut Bobby bermuara pada produk yang belum bisa menahan wisatawan untuk lebih lama menikmatinya. Sebab, sampai saat ini produk pariwisata Jogja masih dijual secara parsial, tidak sebagai satu kawasan yang terpadu.
ADVERTISEMENT
Misalnya pengelolaan wisata di Imogiri, Kabupaten Bantul. Di sekitar makam raja-raja, terdapat tujuh desa wisata, namun mereka masih mengelola dan menjualnya sendiri-sendiri. Tidak menjadi satu kawasan yang saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan potensi masing-masing.
Alih-alih melengkapi, yang ada justru duplikasi, akibatnya wisata di satu tempat dan tempat lainnya jadi seragam. Karena seragam, wisatawan merasa tak perlu untuk mengunjungi semua desa wisata tersebut. Mereka hanya akan mengunjungi satu atau dua tempat saja, toh yang lainnya juga sama. Padahal, jika tujuh desa wisata itu membuat satu paket kawasan yang di dalamnya bervariasi, maka wisatawan bisa perlu waktu hingga tiga hari untuk menikmatinya. Mereka akan tinggal lebih lama, otomatis homestay serta usaha-usaha lain juga akan laku.
ADVERTISEMENT
“Tapi sampai saat ini tidak ada satu kabupaten pun yang cukup kuat untuk menahan wisatawan,” kata Bobby.
Bali masih jadi parameter pembangunan pariwisata di Indonesia. Bagaimana mereka mengintegrasikan setiap wisata di tiap kabupaten, patut dicontoh jika ingin wisatawan lebih lama tinggal di Jogja. Bali berhasil mengelola pariwisata di tiap kabupatennya dengan baik, terstruktur, dan terintegrasi dalam satu kawasan. Sehingga, semua kabupatennya pun memiliki lama tinggal wisatawan yang bagus.
“Karena wisatawan ke sana pasti menginap, mau tidak mau,” ujarnya.
Karena kabupaten belum mampu menahan wisatawan lebih lama, akibatnya Malioboro masih jadi tujuan utama para wisatawan ke Jogja. Maka, tidak heran jika pemerintah saat ini sangat fokus melakukan pembenahan di Malioboro, salah satunya dengan merelokasi PKL-PKL di sepanjang Jalan Malioboro awal tahun depan.
ADVERTISEMENT
Bobby menyambut baik rencana penataan kawasan Malioboro itu, dengan catatan mesti dibarengi dengan komitmen dan konsistensi baik dari pemerintah, industri, maupun masyarakat. Pengelolaan yang dilakukan juga mesti berkelanjutan, bukan hanya sekadar per momentum supaya nantinya tak jadi masalah baru.
“Langkah nyatanya misalnya harus dibarengi dengan regulasi yang jelas tentang penataan di Malioboro, jika tidak ada regulasi percuma saja,” kata Bobby Ardyanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)
*Ini adalah seri kedua dari 2 seri reportase Malioboro Tanpa PKL. Simak seri pertama: