Maneken untuk Praktik Mahasiswa Kedokteran Ternyata Harganya Miliaran dan Impor

Konten Media Partner
29 Maret 2022 19:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mahasiswa kedokteran UGM. Foto: Dok. Anet Kisuma Jatimika
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa kedokteran UGM. Foto: Dok. Anet Kisuma Jatimika
ADVERTISEMENT
Ribuan mahasiswa kedokteran di Indonesia masih sangat bergantung pada media-media pembelajaran yang diimpor dari luar negeri. Misalnya, maneken yang biasa dipakai untuk praktikum anatomi tubuh. Tak cuma harus impor, harga satu manekin juga cukup fantastis.
ADVERTISEMENT
“Satu saja bisa sampai miliaran, begitu juga dengan media pembelajaran yang lainnya. Maneken cuma satu contoh saja,” kata Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Hamim Sadewa, setelah acara pameran hibah media pembelajaran berbasis teknologi informasi di FK-KMK UGM, Selasa (29/3).
Ahmad Hamim Sadewa. Foto: Widi Erha Pradana
Ketergantungan fakultas kedokteran di Indonesia pada produk media pembelajaran asing dikarenakan mandeknya pertumbuhan industri media pembelajaran di Indonesia. Sampai saat ini menurut Hamim, nyaris tak ada industri media pembelajaran, khususnya yang memproduksi produk-produk untuk pembelajaran di pendidikan kedokteran di Indonesia.
Karena itu, menurut Hamim penting untuk mendirikan industri media pembelajaran di bidang kedokteran di Indonesia supaya tak terus-terusan bergantung dengan produk impor yang mahal. Hal itu menurutnya bukanlah sesuatu yang mustahil.
ADVERTISEMENT
Sejumlah dosen UGM menurutnya sudah berhasil mengembangkan media pembelajaran berupa anatomi modal tulang kepala, model organ tubuh paru, jantung, hingga teknologi preparat untuk mendiagnostik penyakit-penyakit tertentu. Produk-produk itu, menurut Hamim punya potensi besar untuk diproduksi dalam skala industri.
Apalagi produk-produk media pembelajaran itu juga sudah mengadopsi perkembangan teknologi sehingga sangat relevan dengan era digital yang berkembang saat ini.
Industri media pembelajaran memang cukup berbeda dengan industri secara umum. Sebab, industri media pembelajaran ini targetnya sangat spesifik untuk keperluan belajar, bukan seperti industri lain yang pasarnya lebih luas seperti industri obat atau industri alat kesehatan. Meski begitu, pasar industri ini menurut Hamim cukup besar, apalagi saat ini nyaris tak ada saingan.
ADVERTISEMENT
“Saya optimis ya, karena pasarnya saya pikir cukup besar, di Jogja saja fakultas kedokteran ada di UGM, UII, UMY, kalau di Indonesia ada sekitar 90 fakultas kedokteran dengan ribuan mahasiswa,” ujarnya.
Namun, ada yang mesti diwaspadai supaya sebuah inovasi teknologi tidak terjerembab dalam lembah kematian (death valley). Fenomena ini sering sekali dialami oleh produk-produk inovasi, dimana di awal produk tersebut dielu-elukan namun setelah itu hilang tak berbekas.
Ada dua tantangan utama yang mesti dihadapi ketika akan mendirikan industri media pembelajaran menurut Hamim, pertama adalah soal regulasi dan perizinan. Selain itu, sebuah produk inovasi juga seringkali masuk ke lembah kematian ketika memasuki fase pemasaran karena kurangnya perhitungan. Karena itu, untuk mendirikan sebuah industri media pembelajaran ini menurut Hamim sangat dibutuhkan ahli-ahli di bidang lain, tak hanya para peneliti dan inventor.
ADVERTISEMENT
“Kita juga butuh bantuan teman-teman dari Fakultas Hukum misalnya untuk ngurus regulasi, kemudian dari Fakultas Ekonomi untuk bidang pemasaran, dan sebagainya,” kata Hamim.
Dengan adanya industri media pembelajaran ini, Hamim berharap produk-produk impor yang sangat mahal perlahan bisa dipenuhi dengan produk lokal dengan harga yang jauh lebih murah namun tetap berkualitas.