Konten dari Pengguna

Mata Air Tuk Si Bedug di Sleman, Dibangun Sunan Kalijaga Dijaga Beringin Tua

23 September 2020 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pintu masuk Tuk SibedugFoto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Pintu masuk Tuk SibedugFoto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ikan-ikan wader berwarna perak berenang bergerombol di dalam air sendang yang jernih. Saking jernihnya air, dasar sendang terlihat jelas layaknya tatapan yang menerobos kaca tembus pandang. Di sebelah barat, aliran air yang cukup deras dari selokan Mataram menghasilkan suara gemericik. Dari selokan Mataram, air itu dialirkan melewati aliran yang lebih kecil untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan peternakan ikan milik warga setempat.
ADVERTISEMENT
Sendang itu bernama Tuk Si Bedug, yang terletak di Jalan Godean-Sayegan, Padukuhan Ngampon, Margodadi, Seyegan, Sleman. Sesekali, satu dua orang silih berganti singgah di sendang, ada yang sekadar istirahat ada juga yang menjalankan ibadah. Di dekat sendang memang terdapat musala yang disediakan untuk masyarakat umum.
Pendar matahari jatuh dengan sempurna ke bumi, setelah gumpalan awan hitam yang sebelumnya menutup langit Yogya mulai berarak ke barat karena ditiup angin yang siang itu bertiup cukup kencang.
“Biasanya setiap malam pasti ada yang datang buat mandi di sendang ini, mulai sekitar jam setengah 12,” kata Giyanto menggunakan bahasa Jawa, salah seorang pengelola sendang yang siang itu sedang berjaga, Jumat (11/9).
Bangunan di sekitar sendang sebenarnya belum terlalu lama dibangun. Pada prasasti yang tertera, bangunan itu diresmikan pada 28 September 2001. Tapi masyarakat percaya, sendang itu sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya: sejak 1553 Masehi.
ADVERTISEMENT
Kisahnya mengingatkan kisah Nabi Musa dengan tongkatnya dan Nabi Ismail yang dengan kaki kecilnya mengeluarkan Zam-zam dari dalam tanah.
Kala itu, ketika sedang menyebarkan syiar Islam, Sunan Kalijaga singgah di tempat tersebut. Hari sudah mulai sore, dan sebentar lagi waktu shalat Ashar tiba. Sunan Kalijaga mulai bergegas, bersiap untuk menunaikan kewajiban tersebut. Namun setelah mencari air ke mana-mana untuk berwudhu, hasilnya nihil.
Sunan Kalijaga kemudian berdoa kepada Tuhan, meminta supaya dia dimudahkan dalam mencari air. Selepas berdoa, dia menancapkan tongkatnya ke tanah dan seketika itu air mengucur dari tanah tersebut.
“Kejadiannya itu bareng sama suara bedug, makanya sendang ini dinamai Tuk Si Bedug,” ujar Giyanto.
Giyanto menceritakan ketika dia masih kecil, sekitar tahun 1990-an, kawasan tersebut belum ada bangunan apapun selain musala yang sangat sederhana. Selain itu, hanya ada dua beringin besar dan di sekitarnya dipenuhi ilalang.
ADVERTISEMENT
Saat itu, tongkat yang dipercaya sebagai milik Sunan Kalijaga masih tertancap di tempat yang sama. Orang-orang satu kampung sudah mencoba mencabutnya untuk dipindahkan, namun tiada hasil. Tidak ada yang kuat mencabutnya, tongkat masih tertancap di tanah dengan kokoh.
“Baru bisa dicabut sama tiga orang, Mbah Jumari guru kunci sini, Pak Dukuh, sama Pak Carik. Saya lihat sendiri waktu itu,” lanjutnya.
Setelah tongkat dicabut, dari lubang tersebut langsung mengucur air yang sangat jernih dari dalam tanah. Dan tongkat yang dipercaya milik Sunan Kalijaga kemudian dipindahkan ke dalam salah satu bangunan yang ada di situ. Sampai sekarang, mata air itu masih mengalir dan boleh dimanfaatkan oleh siapapun untuk mandi dan berwudhu.
“Kalau habis dikuras itu, dua malam sudah penuh lagi,” ujar Giyanto.
ADVERTISEMENT
Sumber Kehidupan dan Sebagai Media Dakwah
Foto: Widi Erha Pradana.
Menurut Giyanto, Sunan Kalijaga memohon kepada Tuhan supaya dibukakan mata air di lokasi tersebut bukan sekadar untuk keperluan berwudhu semata. Ada tujuan lain yang menurutnya jauh lebih besar, yakni sebagai media untuk berdakwah.
Dengan situasi yang serba kesulitan air, adanya mata air yang kemudian menjadi Tuk Si Bedug ini tentu akan membuat masyarakat di sekitarnya berkumpul ke tempat tersebut. Dari orang-orang yang mengambil air itulah Sunan Kalijaga mulai mengenalkan dan mengajarkan Islam.
“Karena air itu kan sumber kehidupan, otomatis orang-orang pasti akan datang ke sumber air, apalagi saat itu kan air sedang sulit,” ujar Giyanto.
Saat ini, Tuk Si Bedug juga masih memiliki arti penting, khususnya bagi masyarakat Padukuhan Ngampon. Meski masyarakat sekitar tidak menggunakan air dari Tuk Si Bedug untuk kebutuhan sehari-hari, namun mereka percaya keberadaan sendang tersebut memberikan aura positif untuk dusun mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka juga yakin akar-akar pohon beringin di Tuk Si Bedug telah menjalar kemana-mana, sehingga ikut menjaga ketersediaan air bersih di tempat tinggal mereka.
Sebagai ungkapan syukur, setiap tahun masyarakat menggelar tradisi Tuk Si Bedug, semacam acara arak-arakan dan gunungan. Biasanya, tradisi itu dilaksanakan setiap Jumat Pahing pada bulan Jumadil Akhir dalam hitungan kalender Jawa.
“Sayangnya ini masih Covid, jadi enggak dapat izin dari pemerintah untuk menggelar tradisi Tuk Si Bedug,” ujar dia.
Meski Sudah Tumbang, Akar Beringin Tetap Menjaga Mata Air
Mestinya, ada dua beringin besar yang ada di sekitar Tuk Si Bedug, satu di sebelah utara mata air dan satu lagi di sebelah timur. Tapi pada tahun 1990-an, beringin yang di sebelah utara ditebang karena menghalangi jalan masuk ke sendang. Tinggalah satu beringin di sebelah timur.
ADVERTISEMENT
Tidak lama, beringin yang tersisa kemudian tumbang hingga menjatuhi musala di dekatnya. Beringin yang tumbang itu hanya menyisakan bagian akarnya yang lambat laun mulai mengering. Namun beberapa tahun kemudian, dari akar yang tersisa itu tumbuh lagi tunas beringin muda yang kini tingginya baru sekitar tiga meter.
“Jadi walaupun sudah tumbang, tapi ternyata akarnya masih hidup, masih bisa menyimpan dan mengeluarkan air,” ujar Giyanto.
Giyanto percaya, bahwa keberadaan mata air di Tuk Si Bedug tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pohon beringin tersebut. Ketika menguras sendang, dia menemui mata air yang mengalir sangat deras dari sebuah celah di sekitar akar beringin.
“Sampai tanahnya itu sempat ambles karena saking derasnya air yang keluar,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya menyimpan dan mengeluarkan air, Giyanto percaya akar-akar beringin di sekitar sendang juga bisa menjernihkan air. Itu sebabnya, sampai sekarang air di Tuk Si Beluk masih sangat jernih meski di dekatnya mengalir selokan Mataram.
Menenangkan Jiwa dan Pikiran
Giyanto salah seorang pengelola sendang. Foto: Widi Erha Pradana.
Sampai sekarang, Tuk Si Bedug masih banyak digunakan oleh orang-orang untuk berendam dan bertapa, khususnya ketika malam. Begitu juga dengan Giyanto, ketika sedang banyak masalah dan pikiran, dia biasanya datang ke sendang untuk berkontemplasi.
Ketika di berada di sendang, dia merasa pikiran dan jiwanya menjadi sangat tenang. Kesejukan dan kesunyian, serta nyanyian-nyanyian alam dari gemericik air, dedaunan yang bergesekan, serta binatang-binatang malam merupakan perpaduan sempurna untuk menjernihkan pikiran yang kalut.
“Intinya minta petunjuk sama yang hidup, sendang itu tempat yang paling tepat,” ujar Giyanto.
ADVERTISEMENT
Pernah ada orang yang datang dari Semarang dan menderita penyakit stroke. Orang itu kemudian datang, berendam dan minum air dari Tuk Si Bedug. Selang beberapa lama, penyakit yang dia derita menurut Giyanto sudah sembuh. Menurutnya, salah satu faktor yang menyembuhkan penyakit adalah ikan-ikan wader yang hidup di dalam sendang.
“Ikan wader itu kan akan memakan sel-sel kulit mati dan penyakit yang ada di kulit, sehingga orang yang berendam bisa lebih sehat,” ujarnya.
Di manapun, kata Giyanto, sendang atau mata air harus dijaga keberadaannya. Caranya tidak lain dengan menjaga lingkungan di sekitarnya dan tidak menebangi pepohonan yang ada. Bukan perkara mitos atau apa, menurutnya pohon-pohon terutama pohon besar itulah yang membuat air di sendang tetap mengalir.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita tidak bisa menjaga apa yang sudah disediakan, Sing Mbaurekso juga bisa saja menghentikan nikmat yang selama ini diberikan ke kita. Jadi hidup ya harus bisa selaras sama alam,” ujar Giyanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)