Konten Media Partner

Mayoritas Investor Ritel Indonesia di Bursa Saham Berpendidikan SMA ke Bawah

18 November 2021 19:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jumlah investor ritel Indonesia selama pandemi meningkat pesat. Menariknya, mayoritas investor ritel di Indonesia, yakni sebesar 56,75 persen berpendidikan SMA ke bawah.
Ilustrasi investor ritel. Foto: Pixabay
Jumlah investor ritel Indonesia di bursa saham selama pandemi mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sebelum pandemi, pada Desember 2019, tercatat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jumlah investor ritel yang telah terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) berjumlah 2,48 juta investor. Setahun berikutnya, Desember 2020 jumlahnya meningkat menjadi 3,88 juta investor, dan pada Oktober 2021 telah mencapai angka 6,75 juta investor.
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi, investor ritel merupakan investor individual non-profesional yang memperjualbelikan efek seperti saham, obligasi, reksadana, maupun ERF melalui rekening mereka sendiri pada perusahaan sekuritas.
Menariknya, mayoritas investor ritel di Indonesia, yakni sebesar 56,75 persen berpendidikan SMA ke bawah. Setelah itu baru diikuti oleh investor dengan tingkat pendidikan sarjana (S1) sebesar 33,59 persen, D3 sebesar 7,67 persen, dan terakhir berpendidikan S2 ke atas dengan presentase sebesar 2,98 persen.
“Ini menunjukkan semakin iklusifnya pasar modal. Bahwa mereka yang berpendidikan SMA ke bawahpun sekarang sudah banyak, bahkan dari sisi presentase sudah mayoritas,” ujar Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal OJK, Luthfy Zain Fuady dalam webindar yang diselenggarakan KAFEGAMA, pekan lalu.
Meskipun untuk jumlah aset, yang terbesar masih investor dengan pendidikan sarjana, yakni sebesar Rp 454,34 triliun. Aset investor ritel dengan pendidikan SMA ke bawah berada di peringkat kedua dengan total aset sebesar Rp 169,44 triliun, diikuti S2 ke atas dengan Rp 103,36 triliun, serta terakhir D3 dengan total aset Rp 39,44 triliun.
ADVERTISEMENT
Dari sisi pekerjaan, pegawai baik swasta maupun negeri, merupakan komposisi investor ritel terbesar dengan 33,48 persen dan total aset sebesar Rp 283,63 triliun. Kemudian diikuti oleh pelajar dengan presentase 27,59 persen dan total aset sebesar Rp 16,14 triliun, pengusaha dengan presentase 14,28 persen dan total aset 316,39 triliun, ibu rumah tangga 5,21 persen dengan aset 62,40 triliun, dan profesi lainnya sebesar 19,45 persen dengan total aset sebesar Rp 220,63 triliun.
Kabar baiknya lagi, separuh lebih, yakni 59,50 persen investor ritel Indonesia masih berusia 30 tahun ke bawah, meskipun total asetnya baru sebesar Rp 40,56 triliun.
“Sebagian besar investor ritel kita adalah para milenial,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, I Wayan Nuka Lantara, mengatakan berkembangnya investor ritel ini menjadi kabar menggembirakan di tengah suramnya perekonomian dalam negeri selama pandemi. Ada sejumlah peran penting dari para investor ritel ini, di antaranya adanya literasi keuangan yang meningkat, kemudahan akses investasi dimana investasi tidak harus melalui perusahaan sekuritas tapi juga telah banyak tersedia platform investasi online yang kini bisa digunakan.
ADVERTISEMENT
Geliat investor ritel ini juga telah mengintegrasikan antara pasar modal, kegiatan marketing, sekaligus kegiatan di media sosial. Selain itu, perkembangan investor ritel juga meningkatkan keragaman varian produk investasi.
“Mulai dari pasar modal, pasar uang, pasar derivative, hingga pasar crypto asset,” ujar I Wayan Nuka Lantara.
Namun perkembangan investor ritel ini sangat membutuhkan kebijakan-kebijakan untuk membuatnya terus berkesinambungan. Salah satu kebijakan yang paling penting adalah terkait peningkatan keamanan dari potensi masalah yang bisa merugikan investor ritel. Namun meski nantinya telah mendapat jaminan keamanan, investor ritelpun menurut Wayan harus terus meningkatkan literasinya melalui edukasi, pelatihan, sertifikasi, forum diskusi, dan sebagainya.
“Sehingga kuantitas atau jumlah investornya meningkat, diimbangi dengan kualitas yang lebih baik juga,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT