Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Mbok Jamu Kangen Kita Rebutan Empon-empon pada Awal Pandemi
15 Oktober 2021 20:08 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Awal pandemi adalah masa terbaik bagi penjual jamu selama berpuluh-puluh tahun terakhir. Dan di mata Mbok Jamu, masa itu tampak sebagai masa mustahil yang akan terulang lagi.
Belasan botol berisi aneka jenis jamu masih penuh di hadapan Saryani, 67 tahun. Sejak pertama menjual jamu di Pasar Beringharjo Yogyakarta pada 1979, ini adalah salah satu masa yang paling sulit. Pelanggan makin hari makin sepi. Padahal harga jamu yang dia jual sangat murah, Rp 3 ribu untuk satu gelas, Rp 7 ribu untuk satu botol 600 ml, dan Rp 15 ribu untuk botol ukuran 1.500 ml.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada (yang beli), sepi banget sekarang. Paling yang beli pedagang-pedagang di pasar saja,” ujar Saryani, Selasa (12/10).
Padahal, Saryani masih ingat betul tahun lalu, bagaimana orang-orang rela mengantre untuk membeli jamunya. Ya, saat itu awal pandemi. Hanya selang sehari setelah Presiden Joko Widodo menyebut empon-empon ampuh untuk menangkal corona. Pendapatannya naik berkali-kali lipat, tiap sore Saryani pulang dengan bungah.
“Tapi sebentar itu, paling sebulan,” lanjutnya.
Kini, bisa menjual lima botol kecil jamu saja sudah syukur. Apalagi selama masa PPKM beberapa bulan terakhir yang membuat pasar kian sepi. Tak jarang, hasil jualannya tak cukup untuk memenuhi biaya produksi. Akibatnya, dia mesti rela uang tabungan yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun harus diambil sedikit demi sedikit untuk menutup kerugiannya.
ADVERTISEMENT
Dulu, pendapatannya juga cukup lumayan. Selain berjualan di Pasar Beringharjo, dia juga menyuplai jamu ke sejumlah hotel di Yogya. Namun, karena nasib usaha perhotelan kini juga sama buruknya gegara diombang-ambingkan pandemi, sudah lama Saryani tidak menyuplai jamu lagi.
“Dulu setiap hari nganterin ke hotel-hotel,” ujarnya.
Jika awal-awal pandemi dia nyaris tak bisa istirahat karena saking banyaknya pembeli, kini waktunya lebih banyak habis untuk menunggu dan menunggu. Di dekat pintu masuk pasar sebelah barat, Saryani lebih banyak menyaksikan langkah orang-orang lalu lalang keluar dan masuk pasar, tanpa ada yang berhenti dan membeli beras kencur, kunir asem, apalagi jamu brotowalinya yang pahitnya mengalahkan espresso yang satu gelas kecil harganya Rp 20 ribu.
ADVERTISEMENT
Meski kini lebih sering merugi, tapi Saryani tak pernah terpikirkan untuk pensiun sebagai penjual jamu. Baginya, meramu jamu adalah ibadah dan sebaik-baiknya dzikir. Apalagi saat ini masih ada beberapa pelanggan yang masih setia membeli jamunya setiap hari.
“Kalau enggak jualan kasihan pelanggan, kan masih ada orang-orang pasar yang sampai sekarang tiap hari pasti langganan,” kata Saryani.
Empon-empon yang Pernah Jadi Primadona
Tak jauh dari Saryani berjualan jamu, Rika, 47 tahun, juga terlihat cukup senggang siang itu. Dia adalah pemilik salah satu lapak penjual aneka macam rempah dan bahan jamu di Pasar Beringharjo. Karena merupakan salah satu lapak paling lengkap, awal pandemi lapaknya tak pernah sepi dari pagi sampai maghrib. Dalam beberapa hari, lapaknya jadi headline sejumlah media massa.
ADVERTISEMENT
Rika sampai tak bisa istirahat, selain untuk makan siang dan beribadah. Sisanya hanya untuk melayani pelanggan yang membludak secara tiba-tiba. Selama puluhan tahun berjualan, itu adalah masa-masa paling menggairahkan untuk usahanya.
“Penjualannya meningkat sekitar 200 persen waktu itu,” kata Rika.
Rika juga masih ingat betul, bagaimana dia kewalahan untuk memenuhi permintaan empon-empon. Diserbu tiap hari dari pagi sampai malam, membuat stok rempah di lapaknya sering kehabisan. Akibatnya, dia harus memutar otak mencari supplier-supplier baru yang bisa mengirimkan stok rempah, meski dengan harga yang lebih tinggi.
Saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Rika bisa istirahat kapanpun. Lapaknya lebih sering tanpa pembeli. Situasi kata dia sudah kembali normal, yang artinya sudah sepi lagi. Pembeli juga tidak perlu antre dan berdesak-desakan jika mau membeli empon-empon atau berbagai jenis rempah lainnya.
ADVERTISEMENT
“Paling sebulan dua bulan, kemarin waktu awal PPKM malah bener-bener sepi,” lanjutnya.
Makin jarang ibu-ibu yang datang beli rempah untuk membuat minuman untuk keluarganya. Pembeli rempah di lapaknya yang tersisa kini adalah para penjual jamu atau pemilik usaha makanan dan minuman yang butuh rempah untuk bumbu masakan mereka.
Sudah Memprediksi Euforia Tak Akan Lama
Kesulitan juga dirasakan oleh salah satu warung jamu paling legendaris yang ada di Jogja: Jampi Asli, yang terkenal dengan jamu cekoknya. Pemilik Jampi Asli, Joni Wijanarko, 56 tahun, mengatakan bahwa penjualan jamu mereka memang sempat naik pada awal-awal pandemi.
Kini, nasibnya sama, hasil penjualan lebih sering tak cukup untuk menutup ongkos produksi. Apalagi banyak pelanggannya yang berasal dari luar kota, sehingga selama pandemi mereka takut membawa anaknya untuk ‘dicekoki’ jamu.
ADVERTISEMENT
“Pegawai saya sempat menawarkan untuk tutup sementara, tapi sama saya enggak boleh. Tetap buka saja, walaupun harus pakai tabungan buat nutup operasional,” kata Joni.
Joni sebenarnya sudah memprediksi, bahwa euforia orang dengan jamu dan rempah tidak akan bertahan lama. Paling lama, sebulan atau dua bulan. Dan prediksinya tepat.
Menurut dia, perlu kesadaran yang mendasar supaya jamu bisa digemari lagi masyarakat, bukan sekadar jadi tren sesaat. Jika jamu hanya dipahami sebagai ramuan yang dapat menangkal corona, maka ketika corona itu hilang, atau jika seseorang yang sudah minum jamu ternyata tetap terkena corona, maka kepercayaan masyarakat kepada jamu akan hilang lagi.
“Jamu masih dianggap sebagai obat. Kalau jamu sudah dianggap sebagai minuman kesehatan, baru bisa jadi lifestyle,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Apalagi jamu masih dipersepsikan sebagai minuman dengan rasa yang pahit. Meskipun sebenarnya banyak sekali jamu yang rasanya manis, sebutlah kunir asem, beras kencur, atau temulawak.
“Makanya kalah sama kopi susu, thai tea, boba atau apa itu yang secara rasa itu manis, jadi lebih disukai anak-anak muda,” kata Joni Wijanarko.
Apakah harus ada wabah supaya kita mau minum jamu dan ramuan rempah? Atau, kita sudah tidak percaya dengan khasiatnya? Atau, kita sudah tidak takut mati lagi karena COVID-19? Itu jadi pertanyaan Joni, Rika, Sariyah, juga penjual rempah dan jamu lainnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)