Mebel Indonesia Berjibaku Lawan Produk China di Negeri Sendiri

Konten Media Partner
16 Juni 2022 17:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mebel di Pameran Jiffina 2019 di Jogja Expo Center (Dok. Jiffina)
zoom-in-whitePerbesar
Mebel di Pameran Jiffina 2019 di Jogja Expo Center (Dok. Jiffina)
ADVERTISEMENT
Industri mebel dalam negeri mesti berjibaku menghadapi serbuan produk impor, terutama produk-produk dari China. Bahkan, pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan pun saat ini masih didominasi oleh produk-produk impor dari China.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Organizing Committee Jogja International Furniture & Craft Fair Indonesia (JIFFINA) 2022, Endro Wardoyo. Padahal, nilai anggaran belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat mencapai Rp 526 triliun, daerah Rp 535 triliun, dan BUMN Rp 420 triliun.
“Faktanya mereka ini belanja barang dan jasa pemerintah, seperti kantor dan gedung pemerintah dan lain sebagainya masih didominasi produk impor, dari China terutama,” kata Endro Wardoyo saat dihubungi Pandangan Jogja, Kamis (16/6).
Besarnya anggaran pemerintah untuk belanja pengadaan barang dan jasa ini sebenarnya jadi peluang besar bagi industri lokal, termasuk industri mebel. Anggaran sebesar itu menurutnya bisa mempercepat pertumbuhan industri mebel dalam negeri asal bisa diserap dengan baik oleh industri lokal.
ADVERTISEMENT
“Tapi permasalahannya tidak sesederhana itu,” lanjutnya.
Secara kualitas, produk-produk mebel dalam negeri menurut Hendro sebenarnya tidak kalah dibanding produk impor. Namun dari segi harga, produk lokal masih sulit untuk bersaing, terutama untuk produk-produk yang diproduksi massal.
Pasalnya, sebagian besar produk mebel di Indonesia masih dikerjakan oleh pengrajin secara handmade, bukan dengan skala mesin industri seperti yang dilakukan China. Hal ini membuat waktu dan biaya produksi industri lokal kalah jauh dibanding China.
“Barang-barang massal pasti kalah, karena mereka sudah menggunakan teknologi tinggi, pakai mesin semua. Kita masih mengandalkan handmade,” ujarnya.
Industri mebel lokal juga mesti melawan pengusaha-pengusaha besar yang impor produk polosan dari China. Setelah sampai di Indonesia produk luar itu kemudian diberi label seolah-olah produk lokal. Otomatis produk-produk ini memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk lokal yang 100 persen dibuat oleh pengrajin dalam negeri.
ADVERTISEMENT
“Dan ini pasti pemain besar, tidak mungkin skalanya UKM,” kata Endro.
Mebel di Pameran Jiffina 2019 di Jogja Expo Center (Dok. Jiffina)
Industri mebel dalam negeri menurutnya juga kekurangan sektor pendukung atau aksesoris, seperti kulit imitasi, sekrup, engsel, atau alas kaki-kaki meja dari stainless yang banyak dipakai produk impor. Di China, menurut dia industri mebel sudah dikelola dari hulu sampai hilir, termasuk industri-industri pendukungnya.
Akibatnya, sebagian besar industri mebel lokal mesti impor aksesoris dari luar negeri. Dalam persoalan ini, industri mebel lokal membutuhkan peran pemerintah. Sebab, untuk mendirikan industri aksesoris sendiri membutuhkan biaya yang sangat besar.
“Kalau teman-teman sudah membuat produksinya, mungkin pemerintah kerja sama dengan BUMN itu membuat pabrik-pabrik industri pendukungnya,” ujarnya.
Besarnya anggaran untuk belanja barang dan jasa dari pemerintah ini menurut Endro juga mesti dilihat sebagai peluang oleh para pelaku industri mebel dalam negeri. Pasalnya, selama ini banyak pelaku industri yang tidak punya energi mengurus produk untuk pasar domestik karena sibuk memenuhi kebutuhan ekspor.
ADVERTISEMENT
Karena itu, industri mebel dalam negeri pun menurut dia harus mulai menyiapkan barang-barang atau produk yang dibutuhkan pasar domestik, terutama untuk pemerintahan.
“Agar barang-barang impor itu minimal tidak menguasai. Ini kan akan menguntungkan bagi kita semua karena akan ada perputaran ekonomi yang nilainya luar biasa,” kata Endro Wardoyo.