Konten Media Partner

Melihat Lagi Autobiografi Soeharto yang Cerita Soal Serangan Umum 1 Maret 1949

2 Maret 2022 17:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cover buku autobiografi "Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya." Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Cover buku autobiografi "Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya." Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Soeharto menggambarkan dirinya sebagai aktor utama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di dalam autobiografinya: “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”. Pengakuan Soeharto di buku tersebut, sama sekali tak menyebut peran tokoh-tokoh sentral yang lain. Satu-satunya peran sentral yang ada hanyalah Soeharto, sebagai penggagas, pemula, sekaligus pemimpin Serangan Umum 1 Maret 1949.
ADVERTISEMENT
Tapi Presiden Joko Widodo, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakkan Kedaulatan Negara yang baru saja diterbitkan, sama sekali tak memasukkan nama Soeharto sebagai tokoh utama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Alih-alih menyebut Soeharto, Keppres tersebut justru menuliskan nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penggagas serangan umum. Selain sebagai Gubernur DIY, saat itu HB IX juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI.
Nama lain yang disebut dalam Keppres tersebut adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang memerintahkan serangan umum, serta Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden yang menyetujui serangan itu.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, mengatakan bahwa inisiator Serangan Umum 1 Maret memang bukan Soeharto, melainkan Sri Sultan HB IX.
ADVERTISEMENT
Soeharto, menurut Sri Margana, memang punya peran dalam peristiwa itu, tapi bukan sebagai penggagas melainkan sebagai pelaksana di lapangan.
“Dia (Soeharto) yang ditunjuk memimpin serangan umum, bukan yang mencetuskan ide serangan umum,” kata Sri Margana saat dihubungi, Selasa (1/3).
Pada era Orde Baru, peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 menurutnya memang terlalu dilebih-lebihkan. Berbanding terbalik dengan peran tokoh-tokoh lain yang cenderung ditutupi.
“Di masa lalu peran Soeharto dilebih-lebihkan melebihi peran tokoh yang lain. Dan pada zaman Pak Harto peran-peran tokoh yang lain tidak ditunjukkan,” ujarnya.
Klaim Soeharto Menggagas Serangan Umum 1 Maret
Jenderal Soeharto semasa berpangkat letkot turut terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret. Foto: AFP
Dalam buku autobiografinya, “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, Soeharto menggambarkan dirinya sebagai aktor utama dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dia menceritakan, dirinyalah yang menginisiasi, memulai, sekaligus memimpin serangan umum yang berhasil memukul mundur Belanda dari Yogyakarta, meski hanya beberapa jam.
ADVERTISEMENT
“Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI,” tulis Soeharto dalam autobiografinya pada bab Serangan Umum 1 Maret 1949.
Situasi Yogyakarta menurutnya sedang kritis. Pasukan Belanda sangat mudah masuk menerobos ke pusat kota Yogyakarta, yang kala itu jadi ibukota negara. Hal itu membuat kepercayaan rakyat Yogya kepada TNI terkikis.
Soeharto berpikir, satu-satunya cara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat adalah dengan melakukan serangan balasan secepat mungkin ke kota.
Ketika aksi saling tembak masih terjadi di antara TNI dan pasukan Belanda di daerah Nyutran, Soeharto tak sengaja bertemu dengan Kapten Widodo, seorang Komandan Kompi dari Batalyon Sardjono Purworejo. Soeharto tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia memerintahkan Kapten Widodo untuk segera lapor kepada Komandan Batalyonnya untuk menarik seluruh batalyon ke Yogya karena musuh sudah ada di sana.
ADVERTISEMENT
“Segera susun sektor di selatan Yogya. Dan tunggu perintah saya sambil mempersiapkan untuk melaksanakan serangan umum ke kota,” kata Soeharto kepada Widodo.
“Saya tutup pembicaraan itu dengan komando ulangan itu: Tunggu perintah saya!” lanjutnya.
Hal sama juga dia perintahkan kepada Mayor Ventje Sumual, yang dia perintahkan untuk memimpin pasukan di sektor barat. Juga kepada Mayor Kasno yang diperintahkan memimpin pasukan di sektor utara. Di sektor timur, dia memerintahkan Mayor Soedjono untuk memimpin pasukan. Di Kota, Soeharto memerintahkan Letnan Marsudi sebagai pemimpin pasukan dengan wakil Letnan Amir Murtono.
“Segera saya membuat rencana serangan umum pertama. Maksud saya bukan untuk menduduki, melainkan untuk menunjukkan kepada rakyat, dan kepada Belanda bahwa TNI masih ada,” tulisnya.
Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. (Foto: John Gibson/AFP)
Serangan pertama dilancarkan pada 30 Desember malam. Sepuluh hari berselang, serangan kedua kembali dilakukan, diikuti serangan ketiga pada pertengahan Januari dan serangan keempat pada awal Februari.
ADVERTISEMENT
Kendati telah melakukan empat kali serangan, namun dalam sidang PBB, Belanda tetap mengklaim bahwa TNI sudah tiada. Berita itu membuat Soeharto berpikir untuk melakukan serangan pada siang hari, untuk melawan semua omong kosong Belanda. Namun Soeharto mengaku kesulitan karena saat itu Panglima Besar Jenderal Soedirman sedang tidak ada di Jogja.
“Waktu itu tidak ada komunikasi antar-pimpinan TNI. Pak Dirman sudah berada di dekat Jawa Timur. Mungkin sudah di Pacitan. Mungkin sudah di desa Sobo,” lanjut Soeharto.
Dengan sistem Wehrkreise yang sudah disepakati sebelumnya, dimana memberikan kewenangan kepada Komandan Wehrkreise untuk melakukan inisiatif sesuai keadaan, Soeharto memutuskan untuk kembali melakukan serangan ke kota Yogyakarta. Serangan kembali dilakukan pada pertengahan Februari ke pos-pos Belanda yang berada di luar kota lebih dulu, tujuannya membuat Belanda lengah, seolah-olah TNI tak akan menyerang kota.
ADVERTISEMENT
Setelah melihat Belanda lengah, Soeharto memerintahkan kepada tiap pasukan untuk mempersiapkan serangan umum.
“Waktu saya tentukan: pada tangga 1 Maret, serangan pagi,” tulisnya.
Tepat 1 Maret pukul 06.00, bersamaan dengan dibunyikannya sirine akhir jam malam, gemuruh tembakan mulai terdengar di seluruh kota. Serangan umum benar-benar dilancarkan dari seluruh penjuru kota. Pasukan Belanda yang belum siap, kaget dan kewalahan dengan serangan itu. Dalam waktu singkat, TNI berhasil menguasai seluruh kota. Bendera merah putih dikibarkan di sepanjang Jalan Malioboro.
“Rakyat menyambut kami dengan pekik ‘Merdeka’,” begitu tulis Soeharto.
Ketika bala bantuan Belanda dari Semarang tiba di Yogya, Soeharto memerintahkan seluruh pasukan untuk mundur. Sebab, tujuan serangan menurut dia telah tercapai. Dari pusat kota, Soeharto memerintahkan pasukannya untuk menyerang pos-pos Belanda di luar kota.
ADVERTISEMENT
Serangan itu kemudian diberitakan pada siang hari ke luar negeri melalui pemancar radio di Playen, Gunungkidul. Dari pemancar itu, berita diteruskan melewati Bukit Tinggi, Sumatra.
“Dari Sumatra berita itu lalu disiarkan ke check-pointnya di Burma dan dari Burma diteruskan ke New Delhi dan terus menyebar ke seluruh dunia serta menggetarkan yang ada di dalam sidang-sidang PBB,” tulis Soeharto.