Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten Media Partner
Melihat Transformasi Borobudur: Lebih Banyak RTH, Ikuti Standar Dunia
9 September 2024 11:28 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Borobudur yang merupakan candi Buddha terbesar di dunia, kini ditata ulang dan ditransformasi menjadi situs wisata religi yang mengikuti standar dunia. Ada pemangkasan bangunan dari yang mulanya 13 persen area Borobudur, menjadi total 4 persen, dan dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau (RTH).
ADVERTISEMENT
Adapun bangunan yang dipangkas tersebut adalah toko-toko dan zona parkir mobil yang sebelumnya ada di kawasan Borobudur. Para pedagang dan zona parkir mobil dipindahkan ke Pasar Seni Kujon, tak jauh dari Borobudur.
Pasar tersebut memiliki total luas area 10,7 hektar. Namun, para pedagang tak langsung dipindahkan secara serentak, tapi bertahap. Untuk sementara waktu, mereka masih dapat berdagang di dekat kandang gajah yang berada dekat dengan pintu keluar Borobudur.
"Zona 2 yang dulu jadi tempat parkir mobil dan pedagang kini sudah diubah menjadi ruang terbuka hijau. Dulu, 13 persen total area Borobudur berupa bangunan, padahal menurut standar dunia, maksimal hanya 4 persen saja yang bisa digunakan,” ucap seorang pemandu wisata, Yulianto, saat ditemui Pandangan Jogja di Candi Borobudur, beberapa waktu yang lalu.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan, transformasi Borobudur ini dilakukan demi meningkatkan lalu lintas kunjungan pada situs tersebut. Berlabel sebagai candi Buddha terbesar di dunia, ternyata Borobudur memiliki kunjungan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan situs serupa di Asia Tenggara.
“Padahal, ada sekitar 500 juta umat Buddha di dunia, namun hanya sebagian kecil yang menjadikan Borobudur sebagai tujuan ziarah,” ucap Yulianto.
Borobudur menerima sekitar 2 juta pengunjung per tahun, yang sebagian besar adalah wisatawan domestik. Wisatawan asing hanya sekitar 200 ribuan orang per tahun. Angka itu kalah dengan Wat Phra Kaew di Thailand yang menggaet 8 juta pengunjung per tahun dengan mayoritas wisatawan asing.
Jumlah kunjungan Borobudur juga masih tertinggal dengan situs Angkor Wat di Kamboja yang pengunjung per tahunnya juga mencapai 2 juta orang, namun hampir semuanya adalah wisatawan asing.
Jadi, pembenahan dan penataan ulang Borobudur ini adalah upaya untuk menyempurnakan citra Borobudur di kancah internasional, memberikan pandangan bahwa Borobudur sudah menetapkan standar dunia dan layak dikunjungi oleh turis asing.
ADVERTISEMENT
“Sekarang lebih tertib karena yang sebelumnya lebih bebas, tidak terikat waktu. Kalau sekarang dijadwalkan dan ada guide juga, dulu kita sendiri-sendiri. Mereka mau nunjukin ke generasi selanjutnya kalau kita sudah maju,” ucap seorang pengunjung bernama Heru.
Pembenahan Borobudur juga dapat dilihat dari pembatasan akses pengunjung. Sekarang, pengunjung tidak dapat lagi masuk ke lantai puncak Borobudur, yaitu lantai 9. Area itu dikhususkan untuk wadah ibadah bagi umat Buddha, dan perlu izin untuk memasuki wilayah tersebut.
Selain itu, ada pula penggunaan sandal khusus yang disebut upanat. Sandal ini wajib digunakan oleh pengunjung apabila ingin menjelajahi situs Borobudur. Alasannya, sandal ini didesain agar meminimalisir gesekan yang dapat merusak struktur Borobudur.
Kini, tiket masuk ke Borobudur dipatok tarif Rp 120 ribu untuk dewasa dan Rp 75 ribu untuk anak-anak. Pengunjung berhak mendapatkan sandal upanat, air mineral, tas, dan juga tour guide. Selain itu, ada juga tiket Rp 50 ribu dan Rp 25 ribu untuk akses sampai halaman Borobudur, tanpa bisa menaiki Borobudur.
ADVERTISEMENT