Mematikannya Gigitan Ular di Indonesia di Masa Pandemi, Jangan Lakukan Hal Bodoh

Konten Media Partner
23 Juli 2021 19:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ular weling, salah satu ular paling mematikan di Indonesia. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ular weling, salah satu ular paling mematikan di Indonesia. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Kasus kematian akibat gigitan ular di Indonesia masih tinggi, bahkan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, gigitan ular menewaskan 35 orang di Indonesia, pada 2018 meningkat menjadi 47 korban, dan pada 2019 menjadi 54 korban jiwa. Selama pandemi, awal Januari 2020 sampai Januari 2021, terjadi sekitar 627 kasus gigitan ular di Indonesia dengan korban meninggal dunia mencapai 62 orang.
ADVERTISEMENT
Dokter spesialis toksinologi hewan berbisa dan tanaman beracun yang juga Presiden Toxynlogi Indonesia, Tri Maharani, mengatakan bahwa sebagian besar kasus gigitan ular di Indonesia pada 2020 sampai 2021, adalah kasus-kasus yang disebabkan dibuat sendiri, bukan karena tergigit ular secara alami atau ketidaksengajaan. Misalnya banyak kasus-kasus gigitan ular yang terjadi dalam aksi-aksi atraksi ular.
Dalam situasi pandemi seperti sekarang, penanganan korban gigitan ular juga semakin sulit. Selain mereka harus melewati berbagai prosedur tambahan sebelum mendapatkan perawatan medis, kapasitas rumah sakit juga makin terbatas karena banyak yang kini fokus untuk menangani pasien COVID-19.
“Dalam masa pandemi ini, jangan melakukan hal-hal yang bodoh. Dan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan nyawa Anda sendiri ketika kita sedang berada dalam masa pandemi COVID-19 seperti sekarang,” ujar Tri Maharani dalam diskusi daring yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Tri Maharani yang kini menjadi peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa saat ini terdapat 370 spesies ular yang tercatat ada di Indonesia, dan 77 spesies di antaranya merupakan spesies ular berbisa. Jumlah ini cukup banyak, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah spesies ular terbesar di dunia.
Tapi banyaknya spesies ular berbisa yang ada di Indonesia mestinya tidak menjadi penyebab banyaknya orang meninggal karena gigitan ular. Banyaknya kasus gigitan yang berakhir menjadi kematian disebabkan karena penanganan pertama yang tidak tepat.
“Masih banyak sekali yang melakukan praktik mistis dan mitos dalam memberikan pertolongan pertama, seperti pakai batu hitam dan sebagainya sehingga berakhir fatal,” lanjutnya.
Ilustrasi imobilisasi sebagai pertolongan pertama paska gigitan ular. Foto: Pixabay
Padahal pertolongan pertama pada korban gigitan ular yang tepat adalah cukup dengan melakukan imobilisasi, yakni meminimalkan pergerakan pada bagian tubuh yang terkena gigitan. Menurut catatannya, semua korban gigitan ular yang meninggal, tidak ada yang menjalankan pertolongan pertama ini.
ADVERTISEMENT
“Tapi semua orang yang mau menggunakannya (metode imobilisasi), ternyata mereka tidak ada yang mati,” ujarnya.
Pertolongan pertama yang tepat merupakan masalah utama yang ada di Indonesia yang fasilitas dan layanan kesehatannya belum merata. Hal ini menjadikan korban sulit mendapatkan perawatan medis secara cepat. Banyak korban-korban gigitan ular yang meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit karena racun yang berasal dari gigitan ular telanjur menyebar ke seluruh tubuhnya sehingga merusak organ-organ tubuh.
Tapi masalah ini sebenarnya bisa diatasi jika pasien sejak awal sudah melakukan imobilisasi sebagai pertolongan pertama. Sebab, imobilisasi ini dapat menghambat menyebarnya racun di dalam tubuh. Karena semakin banyak korban bergerak, maka akan semakin cepat juga racun itu menjalar ke seluruh tubuhnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita tahu first aid dan menerapkannya, tentu transportasi tidak akan jadi masalah. Ketiadaan antivenom di Indonesia juga bukan masalah utama, karena antivenom ini hanya digunakan di fase lanjut dimana sudah terjadi kegagalan organ,” kata Tri Maharani.
Kepala Museum Biologi UGM yang juga pakar herpetologi, Donan Satria Yudha, beberapa tahun lalu sempat tergigit ular bandotan pohon atau Trimeresurus puniceus. Bandotan pohon merupakan jenis ular berbisa dengan jenis bisa hemotoksin yang dapat menimbulkan rasa sakit luar biasa dan menyebabkan luka melepuh dan panas seperti terbakar.
Donan tergigit di punggung telapak tangannya, tapi efeknya ternyata menjalar sampai ke lengannya. Lengannya menjadi bengkak dan besarnya mencapai dua kali lengan satunya. Tak hanya bengkak, lengannya juga melepuh persis seperti terkena luka bakar atau tersiram minyak panas.
ADVERTISEMENT
“Itu rasanya sangat-sangat menyakitkan sekali,” kata Donan.
Beruntung Donan melakukan pertolongan pertama yang tepat. Dia memberi bidai tangannya dari ujung telapak tangan sampai ke lengan supaya tak banyak bergerak untuk mencegah penyebaran racun yang semakin cepat. Setelah melakukan proses imobilisasi, Donan secepatnya diantar ke rumah sakit supaya dapat mendapatkan perawatan medis supaya tak terjadi fase sistemik.
“Jika saya salam dalam melakukan first aid, mungkin kondisinya akan jauh lebih buruk. Tapi saya dibimbing dan dibina oleh dokter Tri Maharani selama proses penyembuhan,” ujarnya.