Membawa Kejayaan Pangan Mataram Islam ke Era Digital

Konten Media Partner
16 Oktober 2023 18:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi upacara wiwitan untuk mengawali musim panen di Kalurahan Pleret, Bantul. Foto: Mbulak Wilkel Kalurahan Pleret
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi upacara wiwitan untuk mengawali musim panen di Kalurahan Pleret, Bantul. Foto: Mbulak Wilkel Kalurahan Pleret
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Empat abad silam, Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya saat beribukota di Kerta (kini masuk wilayah Kalurahan Pleret, Bantul). Sultan Agung, Sang Raja, menjadikan Mataram Islam sebagai kerajaan terbesar di Jawa yang sangat disegani kerajaan lain, termasuk oleh VOC.
ADVERTISEMENT
Tak hanya memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan militer yang kuat, kejayaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung juga ditandai dengan kekuatan di sektor pangan. Dengan lahan pertanian yang sangat luas, Jawa saat itu menjadi lumbung padi yang sangat subur. Sektor pertanian juga menjadi sumber pendapatan utama Mataram Islam, sehingga membuatnya sebagai kerajaan agraris dengan kekuatan ekonomi yang besar.
Hingga kekuasaannya berakhir pada 1645, kejayaan Mataram Islam perlahan melemah akibat berbagai dinamika yang terjadi, mulai dari penyempitan wilayah kekuasaan sampai perpecahan kerajaan.
“Sekarang wilayah yang dulu jadi pusat pemerintahan Mataram Islam di era kejayaan Sultan Agung jadi lahan yang tandus, apalagi di masa kemarau panjang seperti sekarang,” kata Lurah Pleret, Taufiq Kamal, saat ditemui di kantornya pada Jumat (13/10).
Ilustrasi Sultan Agung. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Sampai pertengahan Oktober, memang belum ada tanda-tanda akan turun hujan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). El Nino disebut-sebut menjadi sebab musim kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Saat ini hampir semua lahan pertanian di Pleret belum difungsikan, petani belum mulai menanam lagi,” lanjutnya.
Nyaris tak ada yang tersisa dari kejayaan Mataram Islam era Sultan Agung di Kerta. Bahkan istana Sultan Agung di Kerta juga hilang, nyaris tak berbekas. Hanya tersisa dua buah umpak batu dan dinding batu bata yang telah tertimbun tanah.
Kini, pemerintah tengah melakukan ekskavasi terhadap sisa-sisa istana Sultan Agung itu.
Membawa Pulang Beras yang Dibawa Jepang ke Bumi Mataram
Lahan pertanian di Kalurahan Pleret. Foto: Mbulak Wilkel Kalurahan Pleret
Sebagai desa yang dulu menjadi pusat pemerintahan Mataram Islam di era Sultan Agung, membuat Kalurahan Pleret bertekad mewarisi kejayaan Sang Raja, khususnya pada sektor pertanian dan kemandirian pangan.
Tapi, zaman sudah berbeda. Lahan pertanian di Pleret sudah tak seluas dulu. Belum ditambah masalah perubahan iklim yang sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
“Sekarang kita harus berpikir, bagaimana lahan pertanian yang makin sempit ini bisa menghasilkan hasil pertanian yang optimal,” ujar Taufiq.
Taufiq telah menyiapkan strategi. Menggandeng sebuah perusahaan BUMN, tahun ini Pleret mencoba menanam padi khusus yang hasil panennya bisa lebih besar dari padi biasanya, yakni padi khusus Japonica.
Jika umumnya hasil panen padi yang banyak ditanam di Indonesia rata-rata sekitar 7 ton per hektare, padi khusus ini bisa menghasilkan 8 sampai 10 ton per hektare, tergantung perawatannya.
Lurah Pleret, Taufiq Kamal. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Selain produksinya lebih besar, harga jual beras khusus japonica juga jauh lebih tinggi. Jika harga beras umumnya di angka Rp 10 ribuan per kilogram, harga beras khusus Japonica bisa mencapai Rp 50 ribu per kilogram.
ADVERTISEMENT
Sebagai upaya branding, Taufiq juga membuat cerita tentang beras ini. Konon, dulu Jepang membawa benih beras dari Yogya untuk ditanam di sana.
“Sekarang kita akan mengembalikan beras itu ke Pleret. Jadi beras Japonica ini nanti kita beri nama beras mataram, berasnya Pleret. Itu story telling saya,” kata Taufiq.
Juni kemarin, padi Japonica yang ditanam di lahan seluas 1 hektare di Pleret untuk pertama kalinya dipanen. Sayang, Taufiq mengatakan bahwa hasilnya belum maksimal sesuai harapan.
“Tapi sebagai permulaan saya kira sudah cukup bagus, memang perlu ada penelitian lebih dalam bagaimana supaya hasil panen padi Japonica yang ditanam di Pleret bisa lebih optimal,” ujarnya.
Tradisi upacara wiwitan untuk mengawali musim panen di Kalurahan Pleret, Bantul. Foto: Pemkab Bantul
Ada beberapa kendala utama untuk menanam padi Japonica di Pleret, yakni benih yang masih sulit didapatkan dan minimnya sumber air. Saat ini, pertanian di Pleret masih mengandalkan saluran irigasi yang melewati beberapa desa lain. Seringkali, lahan pertanian di Pleret tak kebagian air karena sudah lebih dulu habis di desa-desa sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Biasanya kita tinggal sisa-sisa, airnya habis, sehingga lahan pertanian kita jadi lahan yang tandus, tidak ada air sama sekali,” lanjutnya.
“Evaluasinya kemarin, idealnya kita butuh sumur bor untuk mengairi lahan pertanian kita, supaya airnya juga benar-benar organik,” ujar Taufiq Kamal.
Lumbung Pangan Mataram: Padukan Kearifan Lokal dan Teknologi Digital
Bupati Bantul, Abdul Halim Musloh, meninjau laboratorium pertanian digital di Kalurahan Pleret. Foto: Pemkab Bantul
Salah satu konsep pertanian era Sultan Agung yang masih dikenal sampai sekarang adalah Lumbung Pangan Mataram. Konsep ini sekarang diadopsi di sejumlah kalurahan di DIY untuk mewujudkan kedaulatan pangan di level desa, termasuk di Kalurahan Pleret.
Slogan Lumbung Pangan Mataram adalah ‘Nandur sing dipangan, Mangan sing ditandur’ (Menanam yang dimakan, Makan yang ditanam).
Yang membedakan konsep Lumbung Pangan Mataram di Pleret dengan desa lain di DIY adalah menonjolnya peran teknologi digital di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Sejak awal menjabat, Taufiq Kamal memang memiliki visi menjadikan Pleret sebagai kalurahan digital. Ia mencoba mendigitalisasi semua hal yang ada di desanya, termasuk sektor pertanian.
“Zaman sudah berbeda, kita juga harus bisa menyesuaikan diri. Sekarang eranya digital, jadi kita harus mulai berpikir bagaimana teknologi digital bisa berperan untuk meningkatkan hasil pertanian,” kata Taufiq Kamal.
Tumpukan batu bata di Situs Kerta, Istana Sultan Agung, yang kini sedang dilakukan ekskavasi. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Konsep yang sedang disiapkan adalah pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) untuk sektor pertanian. Berbagai sensor akan dipasang di lahan pertanian, sehingga kondisi pH tanah, kelembaban tanah, hingga pertumbuhan tanaman dapat dipantau secara digital dan realtime. Laboratorium khusus juga sudah disiapkan untuk mengeksekusi konsep digitalisasi pertanian di Pleret.
Saat ini, yang menjadi PR utama adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM).
ADVERTISEMENT
“Perlahan terus kita siapkan, karena tidak bisa instan. Bukan perkara mudah mengubah kebiasaan bertani masyarakat yang sudah berlangsung selama puluhan, bahkan ratusan tahun,” jelasnya.
Namun modernisasi pertanian bukan berarti meninggalkan semua tradisi lama. Kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat juga terus dipelihara, misalnya berbagai ritual dan upacara dalam proses pertanian.
Upacara wiwitan untuk mengawali panen raya di Kalurahan Pleret, Bantul. Foto: Pemkab Bantul
Salah satunya adalah upacara wiwitan untuk mengawali proses panen raya. Upacara ini menjadi ungkapan syukur atas panen yang dihasilkan, sekaligus sebagai doa supaya panen tahun berikutnya bisa lebih baik lagi.
Selain dimaknai dari aspek spiritualitas, tradisi ini sekaligus juga dilakukan untuk menarik kunjungan wisatawan ke Pleret. Dengan begitu, sektor pertanian menjadi terintegrasi dengan sektor pariwisata yang juga sedang terus digenjot oleh desa tersebut.
ADVERTISEMENT
“Karena tujuan kita kan ingin mengembalikan lagi kemandirian pangan era Sultan Agung, sehingga warisan-warisan kearifan lokal juga harus terus dilestarikan supaya semangat itu bisa terus dipelihara,” kata Taufiq Kamal.