Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Menag Siap Terapkan Permendikbud 30 di Kampus UIN Dkk, Muhammadiyah Kekeh Tolak
9 November 2021 16:33 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Meski Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah menyatakan dukungannya pada Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, PP Muhammadiyah kekeh menolaknya.
ADVERTISEMENT
“Tidak apa-apa Kemenag mendukung itu. Sudah bisa diprediksi sebelumnya. Muhammadiyah tetap berpandangan adanya masalah formil dan materiil Permen 30 tahun 2021,” kata Sekretaris Majelis Diktilitban PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti saat diminta konfirmasinya terkait dukungan Menag pada Permendikbud tersebut, Selasa (9/11).
Mendikbudristek Nadiem Makarim pada Senin (8/11) kemarin menemui Gus Yaqut di kantor Kemenag guna membahas Permendikbud 30/2021 tersebut.
Aturan yang dibuat untuk menekan kasus kekerasan seksual di kampus itu menuai kritik luas dari ormas Islam, karena justru dianggap bisa melegalkan seks bebas.
Dalam pertemuan itu, Gus Yaqut mendukung Menteri Nadiem bahkan akan segera menerapkan aturan tersebut di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) seperti UIN dan IAIN.
"Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN," ungkap Gus Yaqut di Kemenag, dalam rilisnya, Senin (8/11).
ADVERTISEMENT
Gus Yaqut sepakat dengan Nadiem yang menyatakan bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional.
"Kita tidak boleh menutup mata, bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Dan kita tidak ingin ini berlangsung terus menerus," kata Gus Yaqut.
Melanggengkan Kasus Kekerasan Seksual
Dalam wawancara panjang melalui sambungan telefon pada Senin (8/10) malam, Sekretaris Majelis Diktilitban PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti menegaskan bahwa alih-alih akan dapat mengatasi masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi yang semakin marak terjadi, Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 justru akan membuat kasus-kasus kekerasan seksual semakin langgeng.
“Karenanya, secara tegas, PP Muhammadiyah, salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan tinggi terbanyak meminta pemerintah mencabut peraturan tersebut,” tandas, Muhammad Sayuti.
ADVERTISEMENT
Adanya nomenklatur ‘persetujuan korban’ di dalam pasal 5 Permendikbud 30 tersebut, justru dinilai akan melegalkan seks bebas di kalangan mahasiswa. Pasalnya, dengan alasan adanya persetujuan korban atau consent, maka perbuatan-perbuatan yang melanggar norma keagamaan seperti hubungan seksual di luar pernikahan akan dianggap wajar.
“Dan otomatis kan potensi terjadinya peningkatan kasus kekerasan seksual akan semakin tinggi juga,” katanya.
Sayuti menegaskan, bahwa penolakan Muhammadiyah atas Permendikbud Ristek tersebut bukan karena Muhammadiyah pro dengan kekerasan seksual. Sebaliknya, Muhammadiyah justru ingin masalah ini diatasi secara komprehensif benar-benar dari sumber permasalahannya. Sementara permen ini justru dinilai akan melahirkan masalah-masalah baru nantinya.
“Kami senang pemerintah memperhatikan masalah kekerasan seksual di kampus, tapi caranya jangan begitu, masa punya niat baik tapi dilakukan dengan cara yang tidak baik,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Masalah kekerasan seksual di lingkup kampus menurutnya tidak perlu menggunakan regulasi seperti itu, apalagi jika di dalamnya terdapat banyak celah yang justru menimbulkan banyak mudharat. Lebih dari sekadar regulasi, masalah kekerasan seksual perlu diatasi menggunakan tata nilai keagamaan yang luhur. Seperti dalam ajaran Islam misalnya, relasi antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai relasi yang sakral sehingga harus dilakukan secara adil, bermartabat, dan halal.
“Nah pemerintah ingin menanggulangi kekerasan seksual dengan cara bahwa kekerasan itu boleh kalau sama-sama mau (setuju), namanya korban kok setuju itu gimana?” ujar Muhammad Sayuti yang juga akademisi di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini.
Usul Konkret Muhammadiyah
Ketimbang mengeluarkan peraturan yang memiliki banyak celah untuk lahirnya masalah-masalah lain yang lebih rumit, pemerintah menurut Muhammad Sayuti cukup mengeluarkan surat edaran atau sejenisnya. Surat edaran itu, intinya berisi instruksi kepada seluruh kampus untuk bersama-sama menanamkan nilai-nilai relasi laki-laki dan perempuan berdasarkan nilai keagamaan.
ADVERTISEMENT
Sebab, dalam tujuan sistem pendidikan nasional pun disebutkan secara jelas, bahwa selain harus berpengetahuan setiap mahasiswa atau pelajar mesti memiliki akhlak yang baik. Apalagi untuk menanamkan nilai-nilai luhur itu, cara paling kuat adalah melalui pemahaman agama yang baik.
“Itu yang paling asasi, namun sama sekali tidak dirujuk dalam permen itu,” kata Muhammad Sayuti.
Surat edaran tersebut juga bisa berisi instruksi kepada tiap kampus untuk menggerakkan komisi etik di kampusnya masing-masing untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sehingga, masalah kekerasan seksual di lingkup kampus cukup diurus pimpinan perguruan tinggi, misalnya di bawah wakil rektor bidang kemahasiswaan.
Sistem pendidikan yang dibangun di kampus-kampus yang berada di bawah pengelolaan Muhammadiyah, menurutnya juga telah mengarah pada upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual. Salah satunya dengan memperbanyak SKS pendidikan agama mencapai 8 SKS, dimana di perguruan tinggi negeri hanya 2 atau 3 SKS saja.
ADVERTISEMENT
“Misalnya di situ ada materi tentang akhlak yang membicarakan relasi pacaran di dalam Islam. Jadi jangan hanya menggunakan instrumen hukum, tapi pendidikannya juga harus masuk,” ujarnya.
Dari kurikulumnya saja, dia melihat bahwa pemerintah tidak benar-benar serius berusaha menyelesaikan masalah kekerasan seksual di dalam kampus ini secara tuntas dan komprehensif. Dia mencontohkan, mata kuliah Pendidikan Pancasila yang jumlah SKS-nya terus dikurangi sehingga membuat mahasiswa makin jauh dari nilai-nilai Pancasila.
“Jadi didiklah dulu, jangan apa-apa regulasi,” ujarnya.
Selain unsur-unsur materiil, Sayuti juga mempersoalkan unsur formil dalam pembuatan permen tersebut. Dalam penyusunannya, pemerintah dinilai tidak transparan sebab banyak pihak-pihak yang mestinya dilibatkan namun tidak dilibatkan dalam pembentukan naskah permen tersebut, termasuk Muhammadiyah. Naskahnya pun menurutnya terkesan ditutup-tutupi, sehingga tidak bisa dibaca oleh publik secara luas.
ADVERTISEMENT
“Naskah tidak dibagikan sebelum rapat dan tidak boleh difoto, itu kan kesannya tertutup banget, kan enggak bener itu,” kata Muhammad Sayuti. (Widi Erha Pradana / YK-1)