Konten Media Partner

Menantang Maut, Ajaibnya Strategi Burung Elang Terbang Migrasi Lintas Benua

5 Oktober 2021 12:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Migrasi burung raptor elang melintasi benua, salah satunya ke Indonesia, bukanlah perjalanan piknik tapi perjalanan menantang maut. Dan mereka memiliki strategi ajaib agar selamat. #publisherstory
Ilustrasi migrasi burung elang. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi migrasi burung elang. Foto: Pexels
Akhir September, burung-burung pemangsa atau raptor dari belahan Bumi utara memulai perjalanan panjang mereka ke selatan, salah satu tujuannya adalah Indonesia. Mereka bukan untuk mau piknik atau bersenang-senang, mereka tengah melakukan perjalanan melelahkan dan menyakitkan, bahkan seringkali mereka mati di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
“Itu sengsara sekali, kita bepergian mungkin hanya untuk sekadar senang-senang saja, mereka tidak,” kata Pakar Perilaku Migrasi Burung Pemangsa dari Universitas Diponegoro, Karyadi Baskoro dalam Webinar Festival Migrasi Burung Pemangsa Virtual 2021, Jumat (1/10).
Lalu, untuk apa mereka bersusah payah melakukan perjalanan ribuan kilometer yang penuh risiko? Tak lain adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Ketika tiba musim dingin di habitat mereka, sumber makanan semakin menipis, cuaca menjadi ekstrem, dan mustahil bagi mereka untuk bisa hidup di situasi seperti itu.
Berdasarkan insting bertahan hidup, mereka terbang ke tempat yang masih menyediakan banyak sumber makanan dan lebih hangat di selatan. Meski penuh risiko seperti badai, tersesat, yang bisa berujung kematian, namun setidaknya masih ada harapan untuk tetap hidup dan melanjutkan peradaban. Jika ada sebagian dari mereka bisa kembali dan berkembangbiak, maka spesiesnya akan survive.
ADVERTISEMENT
“Intinya adalah survive, maka mereka berpindah mencari lokasi-lokasi yang masih ada sumber dayanya,” lanjutnya.
Ketika situasi di habitat asli mereka mulai kondusif, pada pertengahan Maret hingga Mei, mereka akan melakukan perjalanan panjang lagi untuk pulang. Di habitatnya, pada Mei hingga Juli mereka akan mulai kawin dan berkembang biak. Setelah selesai berbiak dan anak-anak mereka mulai bisa terbang, serta cuaca mulai kurang kondusif lagi mereka akan mulai bermigrasi lagi. Begitu seterusnya setiap tahun.
“Jadi lebih lama di daerah kunjungannya daripada di daerah negaranya. Separuh hidupnya untuk perjalanan, sepertiganya untuk berkunjung, dan sedikit waktunya itu untuk berbiak saja,” ujarnya.
Lalu, bagaimana mereka bisa mengetahui kapan harus pergi dan kapan harus pulang? Sementara mereka tidak bisa membaca kalender seperti manusia. Ternyata mereka memiliki kemampuan secara genetis untuk melihat jadwal, yakni dengan melihat matahari dan panjang hari.
ADVERTISEMENT
Ketika di wilayah asalnya, mereka lebih mudah untuk mengetahui kapan waktunya bermigrasi karena bisa merasakan suhu yang semakin turun dan panjang hari yang semakin pendek, tak sampai 12 jam. Lalu, bagaimana mereka tahu di tempat asalnya seperti Jepang, Rusia, atau Korea sudah menjelang musim dingin ketika mereka sedang berada di tempat migrasi seperti Indonesia? Caranya adalah dengan melihat posisi matahari di Indonesia.
“Kalau mataharinya sudah di tengah, itu artinya sudah menjelang peralihan musim summer di sana,” kata Karyadi Baskoro.
Penuh Perhitungan dan Strategi Ajaib yang Mengagumkan
Elang sikep madu asia yang migrasi dari India ke Indonesia. Foto: Istimewa
Apa yang dilakukan oleh burung-burung pemangsa migran ini bukan tanpa perhitungan. Mereka tahu bahwa biaya yang harus dibayar untuk bermigrasi sangat besar, bahkan nyawa bisa jadi taruhannya. Tapi itu satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Karena itu, mereka butuh strategi yang tepat, bahkan ajaib, untuk membuat perjalanan mereka seefisien mungkin. Ada dua faktor yang bisa mendukung efisiensi migrasi ini, yakni faktor internal berupa energi yang dia miliki dan faktor eksternal berupa kondisi alam.
Karena burung-burung pemangsa memiliki tubuh yang besar, maka dia tidak bisa menyimpan lemak yang banyak di tubuhnya sebagai bekal perjalanan, tidak seperti burung air migran yang bisa menyimpan lemak sangat banyak di tubuhnya. Untuk menyiasatinya, burung pemangsa selalu membutuhkan tempat istirahat atau stopover untuk mencari makan.
“Dari itu muncul beberapa perilaku, ada spesies yang bermigrasi jarak pendek, ada yang jarak menengah, ada yang jarak jauh,” ujar Karyadi Baskoro.
Selain untuk mencari makan, tempat istirahat juga dibutuhkan mereka untuk mengisi energi sekaligus menghindari cuaca ekstrem. Apalagi mayoritas dari mereka bersifat diurnal, yakni terbang pada siang hari sehingga malam hari biasanya digunakan untuk beristirahat. Ketika cuaca ekstrem seperti angin kencang, badai, atau hujan deras, mereka juga akan memilih untuk beristirahat, sebab memaksakan terbang sama saja bunuh diri.
ADVERTISEMENT
“Atau pas kabut tebal yang melebihi kapasitas visualnya, dia juga berhenti,” ujarnya.
Terbang Seperti Layang-layang Memanfaatkan Panas dari Tanah
Elang alap Nippon migrasi dari Jepang ke Indonesia. Foto: Wikipedia
Untuk menghemat energi, burung pemangsa migran juga punya teknik terbang yang mengagumkan, yakni teknik soaring atau berputar-putar tanpa perlu mengepakkan sayap memanfaatkan panas dari tanah. Ketika matahari menyinari Bumi, ternyata panas akan mengumpul dan naik lagi sehingga udara akan menjadi tipis.
Mereka akan terbang naik tinggi berputar-putar, sampai pada titik tertentu mereka akan meluncur tanpa mengepakkan sayap. Ketika bertemu panas lagi dia akan melakukan hal yang sama, begitu seterusnya.
“Jadi seperti bermain layangan, gantole, paralayang, itu sama,” kata Baskoro.
Namun terbang dengan cara soaring ini ternyata memakan waktu tempuh yang lebih lambat ketimbang mereka terbang lurus, terus menerus, dan mengepakkan sayapnya. Sebab, ketika dia soaring ke atas itu membutuhkan waktu hingga bermenit-menit.
ADVERTISEMENT
Namun ini tidak jadi soal, sebab terbang soaring sangat menghemat energi yang dimiliki burung. Baskoro bahkan mengatakan terbang soaring itu senikmat rebahan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ketika burung terbang dengan cara mengepakkan sayapnya, denyut jantungnya jadi sangat tinggi. Tapi ketika soaring, bahkan saat mencapai titik tertinggi pun, denyut nadinya setara dengan ketika dia bersantai. Hal itu membuatnya bisa menempuh jarak migrasi yang jauh meski tanpa mengeluarkan energi yang besar.
“Jadi memang senikmat rebahan. Mereka sudah menghitung untung-rugi, antara cepat tapi boros atau santai tapi hemat,” ujarnya.
Seringkali, mereka juga akan memanfaatkan kondisi topografi dan lanskap. Misalnya ketika ada perbukitan atau pegunungan yang terkena angin, sehingga angin mengarah ke atas. Angin ini dimanfaatkan oleh burung untuk mendorong tubuhnya ke atas untuk kemudian meluncur.
ADVERTISEMENT
“Maka tidak heran mayoritas jalur yang dipilih itu berbukit-bukit dan bergunung-gunung,” ujarnya.
Karena itu, keberadaan hutan atau pepohonan menjadi sangat penting. Tanpa habitat tersebut, maka mereka tidak memiliki tempat untuk istirahat. Mereka akan memaksakan diri untuk menembus cuaca buruk seperti badai hingga kelelahan dan akhirnya mati.
“Selain perlindungan spesies, konservasi habitat di sepanjang jalur migrasi juga sangat krusial,” kata Karyadi Baskoro.