Mencari Jalan Kejayaan Lurik Yogyakarta

Konten dari Pengguna
15 Januari 2020 16:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peragaan busana "Gedangsari Berlari" Lulu Lutfi Labibi dan Astra Indonesia di Yogyakarta, beberapa tahun lalu. Foto : dokumen Lulu Lutfi Labibi.
zoom-in-whitePerbesar
Peragaan busana "Gedangsari Berlari" Lulu Lutfi Labibi dan Astra Indonesia di Yogyakarta, beberapa tahun lalu. Foto : dokumen Lulu Lutfi Labibi.
ADVERTISEMENT
Selepas magrib, titik nol kilometer Yogyakarta justru semakin padat oleh wisatawan. Di tengah padatnya lalu lalang wisatawan itu, sejumlah orang tampak mencolok dengan pakaian lurik yang mereka kenakan. Mereka terlihat sangat ceria, berfoto bersama seperti sahabat yang sudah sangat lama tak pernah berjumpa. Mereka adalah peserta acara Lirik Lurik, yang digelar oleh Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (Kafegama) bekerja sama dengan Bank Indonesia.
ADVERTISEMENT
Puas berfoto di titik nol kilometer, mereka bergegas menuju gedung Bank Indonesia yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari situ. Di gedung Bank Indonesia itulah acara sebenarnya akan dilaksanakan, sebuah diskusi santai tentang lurik sebagai mahakarya Yogyakarta.
Di dalam gedung, semua orang sudah mengenakan luriknya masing-masing, tampak juga beberapa stan UMKM yang menjual produk lurik mereka. Kepala Perwakilan BI DIY, Hilman Tisnawan, mengatakan lurik memiliki potensi yang bisa digali lagi supaya bisa meningkatkan nilai ekonominya.
“Kami sudah bertemu beberapa orang yang sangat mencintai lurik, menulis buku, mengoleksi, banyak banget. Kami lihat lurik itu sangat luar biasa nilainya,” kata Hilman, Selasa (14/1).
Ketua Kafegama Pengurus Daerah DIY, Bogat Agus Riyono melihat lurik memiliki nilai keistimewaan yang bagus bagi Yogyakata. Karena itu menurutnya lurik perlu diekspos secara lebih masif lagi. Bukan hanya masyarakatnya saja, instansi pemerintahan dan pendidikan, bahkan swasta menurutnya juga perlu mengenakan lurik sebagai upaya meningkatkan eksistensi lurik lagi.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau orang ke Jepang berfoto pakai kimono, kita ingin orang kalau ke Jogja berfoto pakai surjan, pakai blangkon, kan keren,” ujar Bogat.
Ada Apa dengan Lurik
Foto : morimis.com @ pinterest
Sayangnya, fenomena yang ada saat ini lurik justru semakin meredup, semakin jarang orang yang mengenakan lurik di kehidupan sehari-hari. Di tengah masyarakat, lurik kian tersisih, padahal menurut Bogat, harganya juga tidak mahal. Imbasnya, beberapa tahun terakhir produksi lurik Yogyakarta mengalami penurunan yang cukup signifikan.
“Para pengrajin juga menyampaikan bahwa mereka banyak yang tidak berproduksi, banyak yang mati suri. Nah ini perlu kita bangkitkan lagi,” kata Bogat.
Lurik juga tengah diterpa stigma kuno dan ketinggalan zaman. Bahkan kata Bogat, tak jarang orang memakai lurik dianggap mirip dengan kusir dokar. Ini yang membuat orang-orang, terutama generasi muda menjadi enggan untuk mengenakan lurik.
ADVERTISEMENT
Setiap Kamis Pahing, pelajar dan instansi pemerintah di Yogyakarta memang sudah mengenakan pakaian tradisional berupa lurik. Namun hal itu kata Bogat masih sangat kurang, intensitas penggunaan lurik harus ditingkatkan sehingga bisa mendongkrak eksistensinya.
“Kamis Pahing kan 35 hari sekali. Artinya frekuensinya harus ditingkatkan, kalau tidak ya sporadis banget. Paling tidak dua kali seminggu lah,” lanjutnya.
Dadang Koesdarto, seorang desainer busana mengatakan jumlah pengrajin lurik di Jogja saat ini sangat sedikit. Dia juga tidak menampik adanya sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin lurik, salah satu yang paling besar adalah adanya lurik-lurik dari industri besar dari luar Yogyakarta yang menjadi ancaman serius pengrajin lurik di Jogja.
“Di Beringharjo itu, 90 persen dari luar. Karena di sini itu bahannya, kain, pewarna, semua dari luar, sehingga biayanya jadi lebih mahal. Akhirnya susah bersaing dengan industri-industri besar,” kata Dadang.
ADVERTISEMENT
Karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengeluarkan payung hukum yang bisa melindungi pengrajin-pengrajin lurik agar tetap bisa bersaing dengan lurik-lurik industri besar.
Peningkatan Kebutuhan dan Rebranding Lurik
Dari kiri ke kanan para pembicara Lirik Lurik di Bank Indonesia DIY Selasa 13/1) malam, Dadang Koesdarto, Ketua Kafegama Pengurus Daaerah DIY, Bogat Agus Riyono, Wapemred KR, dan Kepala Perwakilan BI DIY, Hilman Tisnawan.
Bogat mendorong instansi-instansi pemerintah dan pendidikan, dan instansi swasta seperti perhotelan, rumah makan, toko-toko, bandara, stasiun, dan sebagainya untuk mengenalkan lurik. Dia ingin lurik menjadi tanda bahwa seseorang sudah sampai di Jogja.
“Coba bayangkan kalau toko-toko di Malioboro itu pegawainya memakai lurik, itu kan wisatawan akan melihat itu sebagai sesuatu yang istimewa,” ujarnya.
Ini merupakan upaya peningkatan kebutuhan akan lurik, dengan setiap instansi pemerintahan, pendidikan, maupun swasta memakai seragam lurik, otomatis kebutuhan lurik juga akan meningkat. Kebutuhan yang meningkat ini, otomatis produksi juga akan terdongkrak, sehingga harapannya dapat menghidupkan lagi pengrajin-pengrajin lurik yang selama ini mati suri.
ADVERTISEMENT
Nantinya, akan dibentuk tim-tim yang bertugas untuk meningkatkan lagi eksistensi lurik di tengah masyarakat. Ada yang bertugas kajian strategis, ada yang bertugas melakukan advokasi dan dorongan-dorongan kepada instansi-instansi terkait. Bogat juga mendorong para desainer bisa melahirkan desain-desain lurik yang lebih kekinian sehingga bisa menjaring generasi muda untuk mengenakan lurik. Hal itu juga diharapkan bisa memecah stigma kuno dan ketinggalan zaman yang melekat pada lurik selama ini.
“Kalau perlu turis-turis asing kita suruh pakai lurik terus kita foto, kita upload ke sosial media untuk menyebarkannya seluas mungkin,” kata Bogat. (Widi Erha Pradana / YK-1)