Mencintai di Sepertiga Malam yang Sunyi, Kisah 3 Orang Kedanan Pohon

Konten Media Partner
20 Januari 2022 16:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tanaman bonsai. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tanaman bonsai. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Malam sedang di puncak kesunyian saat Gunardi harus bangun dari tidurnya dan melawan semua dingin yang menyelimuti. Ada ritual yang harus dia tunaikan di sepertiga malam yang mestinya jadi waktu terbaik untuk terlelap dan bermimpi. Ritual itu adalah menyiram dan merawat pohon-pohon bonsai yang ada di halaman rumahnya.
ADVERTISEMENT
Ya, bagi Gunardi merawat pohon bonsai sudah sama seperti ritual yang harus dilakukan dengan khusyuk dan penuh ketenangan. Karena itu, tengah malam sampai sepertiga malam adalah waktu terbaik untuk menjalankan semua ritual itu.
“Jauh lebih tenang, tidak ada hiruk pikuk manusia, tidak ada suara mesin motor seperti kalau siang,” kata Gunardi yang kini menjadi Koordinator Wilayah Piyungan Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Cabang Bantul, DIY, Sabtu (8/1).
Gunardi mendokakan pohon bonsainya. Foto: Istimewa
Orang mungkin melihat kegiatan Gunardi sekadar menyiram tanamanan. Tapi bagi Gunardi, aktivitas itu jauh lebih sakral. Bukan sekadar menyiram, di sepertiga malam itu Gunardi juga bercinta dengan pohon-pohon bonsai miliknya. Interaksinya dengan mereka bisa dilakukan jauh lebih intim dan romantis, tanpa gangguan siapapun.
ADVERTISEMENT
“Saya doakan mereka, saya ajak ngobrol, intinya berusaha memahami apa yang mereka butuhin,” lanjutnya.
Waktu malam hari dia pilih bukan sekadar untuk mencari ketenangan. Selama bertahun-tahun Gunardi memahami pohon-pohon bonsainya, hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa malam hari memang waktu terbaik untuk melakukan penyiraman, terutama mulai pukul 10 malam sampai menjelang subuh.
Pada jam-jam itu, suhu panas dari sinar matahari sudah sepenuhnya keluar. Sehingga suhu tanaman dan tanah sudah hampir sama dengan suhu air. Dengan begitu, ketika tanaman disiram mereka tidak akan ‘kaget’ karena adanya perubahan suhu yang terlalu drastis. Berbeda jika penyiraman dilakukan pada siang atau sore hari, tanaman bisa kaget, bahkan daun justru bisa layu karena air yang disiramkan justru ikut panas. Pada kondisi seperti itu, daun tanaman seperti sedang direbus.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bisa saja penyiraman dilakukan pada siang hari. Namun butuh trik khusus, yakni air yang disiramkan harus lebih banyak sampai suhu panas dari matahari di daun dan tanah benar-benar hilang.
“Jadi setiap orang punya cara sendiri untuk merawat dan mencintai bonsainya, kalau saya lebih suka malam hari,” ujar Gunardi.
Terapi untuk Hati yang Mengeras
Koordinator Wilayah Piyungan PPBI Cabang Bantul, Gunardi, sedang merawat bonsai hasil budidayanya sendiri. Foto: Widi Erha Pradana
Gunardi yang sekarang sangat berbeda dengan Gunardi yang dulu. Sebelum mulai menekuni bonsai pada 2008, Gunardi adalah seorang yang tempramen.
“Ya begitu darah tinggi, tidak sabaran,” ujarnya.
Tak hanya pada orang lain. Anak dan istrinya juga sering kena marah karena masalah-masalah kecil. Sampai akhirnya dia mengenal bonsai, perlahan pribadinya yang keras dan kasar mulai melunak.
ADVERTISEMENT
Bicara bonsai adalah bicara tentang menaklukan waktu dan nafsu. Bagaimana tidak, sekadar untuk memotong batang pohon bonsai saja dia bisa menunggu dua sampai tiga tahun. Bonsai adalah tentang proses, tak ada kata instan dalam dunia bonsai.
“Dari situ pelan-pelan saya jadi lebih sabar. Kalau bandingin sama sekarang, jauh sekali bedanya,” lanjutnya.
Apalagi setelah Gunardi semakin intens menjalankan ritualnya di sepertiga malam bersama pohon-pohon bonsai. Kesunyian dan ketenangan, juga membuatnya jadi makin sering berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Tentang dosa-dosa yang sudah dia lakukan, tentang anak dan istri yang berhak bahagia, juga tentang harapan-harapan yang belum sempat diwujudkan.
Di tengah gelap dan sunyi itu, Gunardi punya banyak waktu untuk berkontemplasi. Kabut malam yang dingin jadi terapi bagi hati yang sudah sekian lama mengeras.
ADVERTISEMENT
“Bisa dikatakan bonsai itu media untuk terapi mengendalikan diri. Karena ketika orang terjun ke dunia bonsai, mau tidak mau dia harus bisa mengalahkan nafsunya sendiri,” kata Gunardi.
Tumpahan Semua Bentuk Emosi
Eko Hastomo. Foto: Widi Erha Pradana
Tak ada satupun bonsai di dunia ini yang sama dengan bonsai yang lain. Sebab, menurut Eko Hastomo, 40 tahun, bonsai adalah wujud dari tumpahan semua emosi pemiliknya.
Eko adalah seorang guru di sebuah sekolah dasar di Piyungan, Bantul. Beberapa tahun terakhir, di tengah kesibukannya mengajar dia mulai menekuni hobi bonsai di rumahnya. Sebagai seorang guru SD, tentu beban yang dia pikul tak ringan. Setiap hari, dia harus berhadapan dengan puluhan anak dengan karakter dan latar belakang yang berbeda-beda. Stress, pasti.
ADVERTISEMENT
“Bonsailah yang jadi tempat untuk refreshing, tempat untuk menumpahkan semua emosi yang tidak bisa saya luapkan di sekolah,” ujar Eko Hastomo.
Karena merupakan luapan emosi dari senimannya, maka tak ada satu bonsaipun yang sama dengan bonsai yang lain. Meski dibuat oleh orang dan tangan yang sama, namun pasti ada perbedaan antar satu bonsai dengan yang lainnya. Sebab, bentuk suatu bonsai juga akan sangat terpengaruh oleh emosi seseorang ketika merawatnya.
“Bahkan meski tekniknya sama, pasti tetap ada perbedaan. Karena bonsai kan juga hidup, bukan barang yang bisa dicetak, dia juga punya kehendak ingin jadi seperti apa,” lanjutnya.
Setiap bonsai yang dihasilkan juga akan jadi cerminan karakter dan kepribadian senimannya. Misalnya, orang yang punya kepribadian keras, pasti akan menghasilkan bonsai dengan bentuk yang kaku. Atau orang dengan pola pikir rumit, tentu akan membuat cabang-cabang yang rumit pada pohon bonsainya. Sedangkan orang yang tenang dan sabar, selalu menghasilkan bonsai-bonsai dengan karakter yang lebih indah, bahkan ketika membuat bentuk yang sederhana.
ADVERTISEMENT
“Kalau mau lihat sifat orang kayak apa, lihat saja bonsainya. Dan di kalangan pebonsai pasti hafal, bonsai ini milik siapa, sentuhan tangannya tidak bisa bohong,” kata Eko Hastomo.
Seni yang Hidup Seorang Anak Jalanan
Aritama Putra Satya. Foto: Widi Erha Pradana
Selama bertahun-tahun, Aritama Putra Satya, 33 tahun, pemuda Piyungan, Bantul, menghabiskan hidupnya di jalanan. Hari demi hari hanya diisi dengan kekacauan demi kekacauan. Sampai pada suatu titik, Aritama dihakimi oleh orang-orang disekitarnya sebagai seorang pemuda yang tak punya masa depan.
Tapi, bukankah tak ada yang pernah tahu tentang masa depan? Hingga suatu ketika, takdir mempertemukannya dengan bonsai yang membawanya pulang kembali ke rumah.
“Saya mulai meninggalkan kehidupan jalanan, terus mulai fokus mengurus bonsai di rumah,” kata Aritama.
ADVERTISEMENT
Ada kesenangan yang sulit dia jelaskan dengan kata-kata ketika berinteraksi dengan pohon-pohon bonsai miliknya. Ada ketenangan yang dia rasakan setiap malam sampai subuh bercumbu dengan pohon-pohon bonsai yang ada di pekarangannya. Dan semua itu, tak pernah dia rasakan selama hidup sebelumnya.
“Apalagi setelah tahu kalau ternyata hobi ini bisa menghasilkan uang, saya jadi makin yakin buat menyeriusi dunia bonsai,” lanjutnya.
Bagi Aritama, bonsai adalah sebuah seni yang hidup. Sebuah seni yang tak selesai dalam sekali dua kali sentuhan. Tak seperti seni yang lain seperti patung atau lukisan, yang setelah selesai dibuat maka wujudnya akan tetap meski bertahun-tahun lamanya. Namun bonsai, dia akan terus berkembang dan berubah setiap hari sehingga selalu butuh sentuhan sampai waktu yang tak terbatas.
ADVERTISEMENT
“Selain sabar harus konsisten, karena bonsai itu adalah seni yang hidup, seni yang terus tumbuh dan berkembang,” kata Aritama Putra Satya. (Widi Erha Pradana / YK-1)