Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Mengenal Pohon Sancang yang Bisa Dijadikan Bonsai Seharga Miliar
12 Maret 2021 20:01 WIB
ADVERTISEMENT
Bonsai dari pohon sancang (Premna) menjadi yang terbaik dalam pameran nasional bonsai yang digelar oleh Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Cabang Bantul di Yogyakarta pada 7 sampai 14 Maret 2021. Bonsai dari pohon sancang itu memiliki harga yang fantastis, mencapai angka Rp 2,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Sancang merupakan genus tanaman berbunga yang masuk dalam keluarga Lamiaceae, masih bersaudara dengan jati. Pertama kali, genus ini dideskripsikan pada 1771 dan sampai sekarang telah memiliki sekitar 200 spesies berbeda yang mayoritas tersebar di Asia bagian tropis.
Pakar dendrologi dari Fakultas Kehutanan UGM, Dwi Tyaningsih Adriyanti, mengatakan bahwa pertama kali pohon sancang ini ditemukan di China, Jepang, dan sekitarnya. Namun seiring bergulirnya waktu, pohon ini menyebar luas ke wilayah tropis di Asia terutama Asia Tenggara, Australia bagian utara, serta Afrika.
Di Indonesia, beberapa jenis pohon sancang juga dapat dijumpai, meski jumlahnya sangat sedikit, terutama di Sumatera dan Kalimantan bagian tengah dan timur.
“Biasanya ditemukan di antara jenis-jenis pionir tahap akhir pada area relatif terbuka bukan bekas kebakaran, terutama pada lahan yang miring atau lereng,” kata Adri, sapaan Dwi Tyaningsih Adriyanti, Jumat (12/3).
ADVERTISEMENT
Beberapa spesies sancang yang ditemukan di Indonesia di antaranya Premna decurrens dan Premna parasitica yang hanya ada di Indonesia, Premna pallescens hanya ada di Kalimantan, Premna trichostoma hanya ada di Papua, Premna regularis dan Premna oblongata yang hanya ditemukan di Indonesia dan Filipina, Premna fulva, Premna herbacea, Premna pubescens, serta Premna serratifolia.
Premna serratifolia merupakan yang paling umum digunakan sebagai tanaman bonsai. Jenis sancang ini tersebar hampir di seluruh daerah di Asia Tenggara, Afrika timur, Australia bagian utara, serta anak benua India.
Proses pohon menjadi bonsai sebenarnya bisa terjadi secara alami. Pasalnya, di alam pohon-pohon akan saling berkompetisi untuk mendapatkan cahaya maupun nutrisi. Pertumbuhan pohon-pohon yang tertekan kemudian menjadi tidak optimal, sehingga sering dijumpai pohon menjadi kerdil.
ADVERTISEMENT
“Bentuk penampakan pohon yang tertekan ada banyak macam, salah satunya membonsai,” ujarnya.
Berbuah pada September sampai Oktober
Secara alami, sancang sebenarnya tumbuh secara liar di hutan. Sancang memiliki perawakan pohon yang mampu mencapai ketinggian 7 sampai 8 meter ketika sudah dewasa.
Daun pohon sancang berbentuk bulat telur dengan ukuran panjang sekitar 9 cm dan lebar sekitar 6 cm. Pohon ini memiliki bunga yang berukuran kecil dengan warna putih kekuningan.
Pohon sancang juga berbuah, bentuknya bulat kecil dengan warna hijau ketika masih muda dan akan menjadi ungu ketika sudah tua.
“Biasanya muncul pada bulan September hingga Oktober,” kata Adri.
Perbanyakan pohon sancang bisa dilakukan secara vegetatif menggunakan metode stek batang. Seperti halnya pohon jati, pohon sancang juga memerlukan perawatan setidaknya pada lima tahun pertama sejak ditanam jika menginginkan pertumbuhan pohon yang optimal.
ADVERTISEMENT
Menurut Adri, pohon sancang termasuk tanaman yang mudah beradaptasi karena mampu mereduksi organ-organnya. Bagusnya lagi, pohon sancang mampu mereduksi organ-organnya secara proporsional.
“Hal inilah yang menjadikan nilai jualnya menjadi sangat tinggi,” kata dia.
Tingginya harga pohon sancang juga dipengaruhi oleh semakin menurunnya populasi di alam. Saat ini, ketika hutan-hutan semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas, orang-orang akhirnya memanfaatkan sembarang jenis pohon untuk berbagai macam pemanfaatan. Jenis pohon yang dulu kurang bernilai, pada akhirnya menjadi punya nilai yang lebih tinggi.
“Terlebih lagi jika pohon tersebut dapat diolah untuk kepentingan lain (seperti bonsai),” ujar Adri.
Dari Bahan Bangunan sampai Bahan Obat
Dwi Tyaningsih Adriyanti mengatakan bahwa pohon sancang mempunyai kualitas kayu yang cukup bagus. Pada zaman dulu, kayu pohon sancang sering dipakai untuk kayu pertukangan, meskipun bukan untuk posisi inti bangunan.
ADVERTISEMENT
“Kayunya bisa dipakai untuk kayu bangunan ringan bukan posisi utama, bisa juga untuk papan kontainer,” ujar Adri.
Selain itu, pohon sancang juga biasa ditanam sebagai peneduh pada daerah yang subur untuk meminimalkan sifat menggugurkan daunnya. Di beberapa negara seperti China, beberapa jenis sancang juga dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional.
“Salah satu marga Premna yang dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional adalah Premna odorata,” kata dia.
Penelitian yang dilakukan oleh Roza Dianita dan Ibrahim Jantan, peneliti dari Herbal Research Center Fakultas Farmasi Universitas Kebangsaan Malaysia, menuliskan bahwa genus Premna memang kerap digunakan sebagai pengobatan tradisional, terutama untuk mengobati peradangan, penyakit terkait kekebalan tubuh, gangguan perut, penyembuhan luka luar, serta penyakit kulit.
Penelitian tersebut mengumpulkan informasi yang tersedia tentang penggunaan etnofarmakologi, fitokimia, dan studi bioaktivitas pada lebih dari 20 spesies Premna dan secara kritis menganalisis laporan untuk memberikan perspektif dan arahan untuk penelitian masa depan untuk tanaman sebagai sumber potensial arahan obat dan agen farmasi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari 250 senyawa telah diisolasi dan diidentifikasi dari spesies Premna yang terdiri atas diterpenoid, glikosida iridoid, dan flavonoid sebagai metabolit sekunder yang paling umum diikuti oleh seskuiterpen, lignan, fenilethanoid, megastigmanes, gliseroglikolipid, serta ceramides.
“Banyak penelitian in vitro dan in vivo telah dilakukan untuk mengevaluasi sifat biologis dan farmakologis ekstrak, dan senyawa yang diisolasi dari spesies Premna dan aktivitas antimikroba, antioksidan, antiinflamasi, imunomodulator, antihiperglikemia, dan sitotoksik,” tulis Roza Dianita dan Ibrahim Jantan dalam penelitian tersebut. (Widi Erha Pradana / YK-1)