Mengenal Rayap untuk Pemula dan Berhentilah Mengeluhkan Kehadirannya

Konten Media Partner
29 Juli 2021 13:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Setop mengeluh karena rayap. Hewan ini selain penting bagi manusia, juga lucu: rumahnya berventilasi baik bahkan memiliki kebun pertanian.
Rumah rayap di Merauke. Foto: Dokumen Swiss Bell Hotel
Kita pasti sering kesal setiap benda-benda kita di rumah yang terbuat dari kayu rusak gegara digerogoti rayap. Lemari, kursi, meja, pintu, bahkan pagar merupakan benda-benda yang paling sering menjadi korban keganasan rayap. Dan saat itu, seringkali sumpah serapah terlontar pada serangga-serangga kecil itu.
ADVERTISEMENT
Tapi, pernahkah kamu membayangkan jika tidak ada rayap di dunia ini? Apakah dunia ini akan lebih baik jika tidak ada rayap? Sayangnya jawabannya tidak.
Tanpa rayap, mungkin lemari, meja, kursi, pintu, dan pagar kita akan bertahan lebih lama. Tapi, dunia akan menemui masalah yang serius. Meski ukurannya kecil, rayap adalah agen pengurai utama dalam ekosistem. Tanpa mereka, kayu-kayu dan serasah kering di hutan, kebun, atau pekarangan kita akan sangat lama terurai sehingga hanya akan menjadi tumpukan sampah.
Pakar Entomologi dari UIN Raden Intan Lampung yang juga fokus pada studi tentang rayap atau termitologi, Eko Kuswanto, mengatakan bahwa di dunia ini ada sekitar 3.000 spesies rayap. Dari jumlah itu, hanya 10 persen spesies yang aktivitasnya merugikan manusia (tentunya merugikan dalam perspektif manusia).
ADVERTISEMENT
“Padahal 90 persen dari spesies-spesies itu adalah dekomposer alami yang alam sangat membutuhkan perannya sebagai pengurai di alam, tanpa mereka terbayang betapa menumpuknya sampah-sampah di permukaan bumi ini,” kata Eko Kuswanto Seminar Nasional Biologi yang diadakan oleh Jurusan Biologi UIN Sunan Gunung Djati, pertengahan Juli.
Rayap, merupakan serangga yang memiliki sifat kriptobiotik yang ingin selalu menyembunyikan diri dan menjauhi cahaya. Mereka akan bersembunyi di balik kayu, serasah, ataupun biomassa lain untuk menjaga kelembaban. Jika terpaksa harus berjalan di permukaan terbuka, mereka akan membentuk semacam pipa pelindung dari tanah atau liang kembara.
Sifat itu kemudian berfungsi untuk menjaga kelembaban tanah. Karena bersifat sebagai pengurai, mereka juga akan mempengaruhi nutrisi tanah. Dan rayap, merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat memecah selulosa dalam bahan tanaman.
ADVERTISEMENT
Peran rayap di ekosistemnya semakin terasa penting di tengah musim kering atau kemarau. Selain menjaga lingkungannya tetap lembab di musim kering, aktivitas mereka juga akan meningkatkan kelangsungan hidup benih atau bibit pepohonan yang ada di sekitarnya.
“Sehingga jika dunia ini tak ada rayap, petaka besar akan terjadi,” lanjutnya.
Hal itu diamini juga oleh Pakar Entomologi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSC), Damayanti Bukhori. Porsi rayap dalam mengurai kayu-kayu dan serasah kering memang sangat besar bahkan menjadi agen pengurai yang utama.
Tanpa rayap, pohon-pohon yang bertumbangan di dalam hutan akan menjadi kayu dalam jangka waktu yang sangat lama. Namun berkat kehadiran rayap, kayu-kayu kering itu kemudian diuraikan sehingga bisa menjadi nutrisi bagi tanah.
ADVERTISEMENT
“Dan peran ini tidak mungkin bisa digantikan oleh makhluk hidup lain, apalagi manusia,” kata Damayanti Bukhori.
Hidup Rayap yang Membawa Berkah
Ilustrasi rayap. Foto: Pixabay
Dalam hidupnya, rayap memiliki tiga kebutuhan pokok yakni makanan, air, dan shelter atau rumah. Rayap memilih untuk mengambil sumber makanan yang paling melimpah di muka bumi, yang bagi manusia dan makhluk hidup lain menjadi sampah. Rayap telah berevolusi untuk secara diam-diam mengeksploitasi lignoselulosa lalu mengolahnya secara sangat efisien.
Rayap-rayap kasta pekerjanya memiliki mandible atau gergaji yang sangat tajam sehingga dapat mengolah selulosa dengan ukuran besar menjadi lebih kecil sebelum dicerna dengan lebih cepat. Rayap pekerja juga punya alat penggerus di dalam ususnya untuk menguraikan partikel selulosa yang besar menjadi lebih kecil.
ADVERTISEMENT
Rayap juga bersimbiosis dengan puluhan spesies bakteri, protozoa, dan pada subfamily Macrotermitinae bersimbiosis dengan fungi yang merupakan hasil dari kebun jamurnya untuk mencerna selulosa menjadi gula-gula yang lebih sederhana sehingga bisa dimanfaatkan tubuh. Hal inilah yang menjadikan rayap sangat efisien dalam mengolah makanannya, yakni selulosa.
“Hal-hal itu yang kemudian membuat rayap sangat efisien dalam mengolah selulosanya,” kata Eko Kuswanto.
Rayap bukan satu-satunya serangga pemakan lignoselulosa, ada juga kumbang, lalat gergaji, ngengat, dan sebagainya, namun kebanyakan dari mereka merusak kayu-kayu yang masih hidup. Berbeda dengan rayap yang memilih bagian-bagian kayu yang sudah dianggap limbah.
Kemampuan penguraian pada rayap sangat fantastis. Di hutan tropis, mereka dapat mengonsumsi hingga 100 persen kayu mati untuk diuraikan oleh mereka. Di safana, mereka juga menguraikan hingga 20 persen rumput.
ADVERTISEMENT
“Dan materi lignoselulosa ini diubah menjadi tonase pelet tinja yang justru menyuburkan tanah-tanah di sekitarnya, membuat formasi dan mineralisasi tanah tropis,” lanjutnya.
Untuk kebutuhan airnya, rayap terutama untuk spesies kayu kering tidak membutuhkan sumber air bebas. Mereka mampu menerima semua air yang dibutuhkannya dengan memetabolisme kayu yang dimakannya. Rayap kayu kering dapat menahan air sebelum pembuangan limbah, hal ini terlihat pada pelet tinja yang kering dan berbentuk khas.
“Ini proses konservasi dan penghematan air yang luar biasa,” ujarnya.
Belajar Arsitektur dari Rayap
Ilustrasi rayap. Foto: Pexels
Rayap memang tidak pernah sekolah arsitektur, tapi sarang atau shelter yang mereka bangun sangat mengagumkan. Dalam pembuatan sarang, rayap sampai berpikir ventilasi yang baik, ruang ratu yang harus lebih kokoh, bahkan pencahayaan yang baik.
ADVERTISEMENT
“Bahkan beberapa spesies memiliki kebun jamur di dalam sarang, layaknya manusia memiliki lahan pertanian,” ujar Eko Kuswanto.
Jika saat ini manusia berpikir bahwa rumah yang baik itu harus sehat, nyaman, dan aman, rayap sudah melakukan ini sejak lama. Selain sangat memperhitungkan ventilasi udara dan pencahayaan, rayap juga membangun sarangnya dengan bentuk yang compact dan vertikal untuk menghemat lahan. Hal ini baru mulai dilakukan oleh manusia dalam beberapa dekade terakhir ketika populasinya semakin besar namun lahan yang tersedia makin terbatas.
Perilaku kriptobiotik yang dimiliki rayap juga membuat sarangnya tetap lembab sehingga nyaman untuk ditinggali.
“Ini yang manusia sekarang sedang cari, bagaimana rumah sejuk, nyaman, tetapi tidak menggunakan AC, rayap sudah melakukannya lebih dulu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Rayap juga memiliki perilaku nekrofagi, yakni memakan bangkai dari rayap yang mati atau sakit. Hal ini penting untuk dilakukan karena mereka tidak ingin ada sampah atau limbah di dalam sarangnya yang bisa menjadi sumber penyakit bagi koloni mereka. Mereka juga punya sedikit sifat kanibalisme yang dimaksudkan untuk menjaga populasi mereka supaya tidak melampaui batas.
Kemampuan adaptasi inilah yang membuat rayap mampu beradaptasi dan bertahan hingga 135 juta tahun lamanya. Berbeda dengan dinosaurus yang hidup 230 juta yang lalu, namun telah punah pada 65 juta tahun lalu. Artinya, dinosaurus tidak adaptif sehingga tak mampu bertahan di bumi ini.
Lalu, bagaimana dengan manusia yang saat ini masih bergelut dengan pandemi? Mampukah manusia tetap survive dan melanjutkan peradaban? Stephen Hawking memprediksi, manusia akan punah 1.000 tahun lagi jika tidak mengubah gaya hidupnya.
ADVERTISEMENT
“Banyak sekali kehidupan rayap yang bisa kita pelajari, mulai dari memanfaatkan sumber makanan yang tak terpakai, menghemat air, menjaga kebersihan, sampai teknik arsitektur yang mereka miliki supaya kita bisa tetap survive untuk melanjutkan peradaban manusia,” kata Eko Kuswanto.