Mengingat Alasan Yogya Memilih Bergabung ke RI Meski Bisa Jadi Negara Sendiri

Konten Media Partner
22 Agustus 2022 18:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sultan Hamengku Buwono IX Foto: http://dpad.jogjaprov.go.id/
zoom-in-whitePerbesar
Sultan Hamengku Buwono IX Foto: http://dpad.jogjaprov.go.id/
ADVERTISEMENT
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengungkapkan bahwa Yogyakarta sebenarnya memiliki semua persyaratan sebagai sebuah negara yang merdeka. Sebelum kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta telah memiliki pemerintahan yang berdaulat, memiliki wilayah kekuasaan, memiliki rakyat, serta diakui eksistensinya oleh dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Yogyakarta memilih untuk bergabung dengan Indonesia yang usianya masih sangat mudah dan kondisinya belum stabil. Hal itu menurutnya merupakan bentuk keteladanan sikap dan keberpihakan terhadap NKRI.
“Karena periode sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta adalah sebuah nagari mardiko (negara merdeka) yang sebenarnya memiliki syarat-syarat sebagai negara berdaulat penuh,” kata Sri Sultan HB X dalam Seminar Nasional ‘Lahirnya UUK: Berkaca dari Sejarah, Menuju Masyarakat Sejahtera’, yang diwakili oleh Wakil Gubernur DIY, KGPAA Pakualam X, Senin (22/8).
Wagub DIY, Sri Paku Alam VIII. Foto: Widi Erha Pradana
Secara sistem pemerintahan, Yogyakarta sebenarnya sudah bisa mendeklarasikan negara sendiri melalui ketokohan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII. Namun, dua tokoh utama Yogyakarta itu justru memilih untuk bergabung dengan NKRI.
ADVERTISEMENT
Sikap ini dipertegas saat HB IX mengirimkan surat kawat ke presiden Soekarno pada 18 Agustus 1945 yang menegaskan sikap politiknya saat itu. Dan sehari kemudian, Soekarno memberikan piaham penetapan kepada Yogyakarta sebagai daerah istimewa setingkat provinsi.
“Proses ini layaknya ijab kabul, ikatan batin sehidup semati antara dua pihak yang setara, yang tidak bisa diputus secara sepihak,” ujarnya.
Sejarah panjang ini yang kemudian menjadi salah satu latar belakang keistimewaan yang ada di Yogyakarta saat ini. Meskipun status keistimewaan ini pernah berada di ujung tanduk pada 10 tahun silam, dimana pemerintah Indonesia yang saat itu dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berniat menghapuskan status keistimewaan Yogyakarta.
Salah satunya adalah dengan memisahkan fungsi keraton dengan pemerintahan. Saat itu, pemerintahan SBY memiliki keinginan untuk mengubah mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Rencana itu langsung menyulut reaksi dari masyarakat Yogyakarta, dimana aksi demonstrasi besar-besaran dilakukan untuk menolak rencana itu. Selain itu, massa aksi juga mendesak supaya pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) yang sudah mandek selama 12 tahun.
“Undang-Undang Keistimewaan itu lahir dari pengorbanan, dari gotong-royong rakyat Jogja, selain ada aspek peran sejarah Kasultanan dan Kadipaten,” kata Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto.
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto. Foto: Widi Erha Pradana
Pergerakan itu akhirnya berbuah manis, dengan disahkannya Undang-Undang Keistimewaan DIY pada 2012. Tahun ini, UUK tersebut sudah genap berusia 10 tahun.
Eko Suwanto menjelaskan beberapa tujuan utama UUK tersebut adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, ditandai dengan penetapan gubernur dan wakil gubernur. Tujuan kedua menurutnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman rakyat.
ADVERTISEMENT
“Ini yang belum sepenuhnya tercapai,” lanjutnya.
Sebab, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh pemerintah DIY, dari mulai masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, hingga masalah kriminalitas.
Sementara tujuan ketiga adalah mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin kebhinekaan dalam kerangka NKRI. Hal ini juga masih menjadi PR bagi pemerintah, pasalnya menurut Eko masih dijumpai intoleransi, ekstrimisme, radikalisme, hingga terorisme di wilayah DIY.
“Sudah bolak-balik teroris ditangkap di Jogja. Yang bikin kegiatan terorisme di Sleman, di Gamping, juga ada. Tindakan toleransi ada, di Pantai Selatan orang bikin labuhan diganggu juga, ini tantangan yang serius,” ujarnya.
Kasus terakhir yang masih hangat adalah kejadian di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, dimana ada siswi yang dipaksa mengenakan jilbab. Kasus itu menunjukkan bahwa DIY masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk menangani masalah-masalah intoleransi, bahkan di lingkup institusi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat ini menurut dia mulai banyak indekos yang diskriminatif karena tidak menerima mahasiswa atau pelajar dari suatu daerah. Kasus-kasus seperti ini menurut Eko mesti menjadi perhatian pemerintah supaya tujuan UUK yang mulia bisa diwujudkan.
“Di 10 tahun ini mari kita renungkan, terutama bapak dan ibu yang menjadi pejabat di Pemda DIY, apakah tujuan Undang-Undang Keistimewaan itu sudah tercapai atau belum?” kata Eko Suwanto.