Mengingat Konflik Saudi-Iran yang Sekarang Damai, Ahli: Bukan karena Sunni-Syiah

Konten Media Partner
20 Maret 2023 15:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Biro Politik pada Komite Sentral Partai Komunis China Wang Yi (tengah),  bersama Direktur Komisi Hubungan Luar Negeri Iran Ali Shamkhani dan Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban foto bersama.  Foto: China Daily/ via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Biro Politik pada Komite Sentral Partai Komunis China Wang Yi (tengah), bersama Direktur Komisi Hubungan Luar Negeri Iran Ali Shamkhani dan Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban foto bersama. Foto: China Daily/ via REUTERS
ADVERTISEMENT
Arab Saudi dan Iran sepakat untuk berdamai dan memperbaiki hubungan diplomatik mereka setelah berkonflik selama bertahun-tahun. Keduanya sepakat untuk berdamai setelah China hadir untuk menjadi penengah.
ADVERTISEMENT
Ahli Timur Tengah dari Hubungan Internasional UGM, Siti Mutiah Setiawati, mengatakan perdamaian ini merupakan perkembangan baru di wilayah Teluk mengingat hubungan Saudi dan Iran yang tidak harmonis sejak terjadinya revolusi Islam di Iran pada 1979 silam.
“Perdamaian ini merupakan perkembangan baru di wilayah Teluk mengingat hubungan Saudi dan Iran tidak harmonis sejak terjadinya revolusi Islam di Iran pada tahun 1979,” kata Siti Mutiah Setiawati, saat dihubungi, akhir pekan lalu.
Dia menegaskan bahwa konflik dan hubungan yang tidak harmonis antara Saudi dan Iran ini bukan terjadi karena perbedaan etnis, bahasa, atau mazhab seperti narasi yang selama ini digaungkan. Ketidakharmonisan Saudi dan Iran menurut dia bukan karena mayoritas penduduk Arab Saudi beretnik Arab, berbahasa Arab, dan beragama Islam Suni, sedangkan mayoritas penduduk Iran beretnik Parsi, berbahasa Parsi, dan beragama Islam Syiah.
ADVERTISEMENT
“Tetapi lebih karena politik pecah belah yang dijalankan oleh Amerika Serikat,” ujarnya.
Ditemukannya minyak di wilayah Teluk sejak tahun 1930-an, membuat Amerika Serikat datang di wilayah tersebut dan memiliki kepentingan yang besar. Untuk menjaga kepentingan Amerika dalam menguasai minyak di wilayah Teluk, maka AS mesti membuat kedua negara tersebut berkonflik.
Pakar Politik Timur Tengah UGM, Siti Mutiah Setiawati. Foto: Dok Humas UGM
Amerika menurut Siti terlalu memanjakan Arab Saudi dengan membiarkannya menjadi negara yang monarki, sedangkan iran diperlakukan dengan cara yang sangat berbeda. Iran diperlakukan oleh Amerika dengan mengisolasi negara tersebut, menggambarkan dan mem-framing Iran sebagai negara otoriter padahal bentuk negaranya adalah republik.
“Iran juga digambarkan sebagai negara yang menyimpan nuklir untuk senjata pemusnah massal, tidak menghargai wanita, dan lain-lain,” ujarnya.
Dengan perlakuan yang sangat berbeda itu, maka menurut Siti tidak mungkin tercipta hubungan yang harmonis antara Saudi dan Iran.
ADVERTISEMENT
“Dua negara yang diperlakukan tidak adil oleh suatu negara adikuasa tidak mungkin akan mempunyai hubungan yang harmonis,” kata Siti Mutiah Setiawati.
Meski sampai sekarang Amerika belum memberikan respons yang signifikan ke publik terkait perdamaian antara Saudi dengan Iran, namun Amerika menurut Siti masih akan menganggap penting kawasan Timur Tengah mengingat besarnya kepentingan mereka di kawasan tersebut.
Amerika akan tetap berusaha mengganggu perdamaian kedua negara tersebut demi keberlangsungan impor dan eksplorasi minyak yang melimpah terutama di kawasan Teluk, menjaga eksistensi Israel untuk menjaga keseimbangan kekuatan, serta mencegah Gerakan Politik Islam berkuasa di wilayah tersebut karena dianggap akan mengganggu dua kepentingan AS sebelumnya.
“Amerika tidak segera memberi reaksi atas perundingan damai ini karena faktor kepemimpinan Presiden Amerika yang memang bergaya late response,” ujarnya.
ADVERTISEMENT