Metamorfosa Otoriter Birokrasi Menuju Diktator Dinasti? Pandangan AS Hikam

Konten Media Partner
6 November 2023 19:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini adalah opini dari Muhammad AS Hikam, pengajar di President University.
Foto ilustrasi oleh: Pixabay
Apakah sistem politik pasca reformasi di Indonesia sedang mengalami sebuah proses metamorfosa yang bersifat destruktif saat ini? Naga-naganya demikian.
ADVERTISEMENT
Diperlukan 32 tahun oleh rezim Orba untuk membangun sebuah sistem politik otoriter birokratik yang didukung militer. Pada akhirnya sistem tersebut toh berhasil ditumbangkan oleh masyarakat sipil Indonesia (MSI) dan para pekerja demokrasi melalui gerakan reformasi.
Namun, dua dekade kemudian, hanya diperlukan kurang dari 10 tahun oleh Presiden Jokowi (PJ) dan para pendukungnya untuk berupaya meruntuhkan sistem demokrasi hasil reformasi tersebut dan dicoba digantikan dengan sistem diktatorial berbasis politik dinasti yang dicurigai berkolaborasi dengan kaum oligarki.
Dan tak pelak lagi, salah satu kasus yang paling menyedihkan dan sekaligus menghebohkan dalam dinamika politik akhir-akhir ini adalah pameran penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh MK yang patut diduga, berkolusi dengan serta didorong oleh cawe-cawe dari Istana.
Foto ilistruasi oleh: Pixabay
Sudah barang tentu publik sangat berang dan sinis dengan perkembangan ini. Sedemikian besar sinisisme publik terhadap kinerja MK dan putusannya terkait dengan usia calon presiden/calon wakil presiden dalam putaran Pilpres 2024, sampai-sampai singkatan MK (Mahkamah Konstitusi) sudah diplesetkan menjadi MK (Mahkamah Keluarga).
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian publik, pakar hukum, pengamat politik, bahkan politisi sekalipun, sudah patut diduga, bukan hanya pelanggaran etik telah terjadi di lembaga terhormat tersebut, tetapi juga pelecehan terhadap konstitusi RI!.
Namun tentu saja, selalu ada counter move dari para pendukung PJ. Model "penyelundupan" otoritarianisme ala Orde Baru, melalui laku demokrasi seolah-olah tersebut akan dianggap sebagai praksis yang normal karena telah melalui proses legal formal yang legitim menggunakan sebuah lembaga negara yang memang bertugas untuk itu!.
Bagi para pemuja rezim tiran, tak peduli bahwa dengan demikian MK sudah menjadi MKK (Mahkamah Kepentingan Keluarga), yang penting legitimasi legal sudah didapat dan dianggap lebih utama ketimbang legitimasi etik!
AS Hikam. Foto: President University
Namun demikian, seperti yang pernah dikatakan seorang sejarawan Inggris, George Santayana, "Barang siapa yang tak mau belajar dari sejarah maka ia akan dikutuk untuk selalu mengulanginya." Sejarah Indonesia mencatat bahwa rakyat Indonesia selalu menolak niat penguasa yang ingin menancapkan kekuasaan tiraninya, kendati kadang berproses lama.
ADVERTISEMENT
Sebab rakyat bersama para pendiri bangsa telah berniat dan bekerja keras serta bersusah payah sejak 1945 menegakkan sistem demokrasi konstitusional.
Karena itu setiap keinginan dan nafsu tiranikal akan senantiasa mengirimkan semacam sinyal peringatan dini (early warning signal) kepada nurani dan nalar publik yang dengan segera akan merespon dengan penolakan dan perlawanan atasnya. Dan lagi-lagi sejarah negeri ini akan mencatat bahwa kekuasaan tirani akan tertolak dan masuk ke dalam keranjang sampah sejarah!
Semoga Tuhan YME tetap melindungi NKRI beserta Pancasila dan UUD 1945 dari niat jahat para petualang dan pendukung rezim diktator dari manapun. Insya Allah.