Konten Media Partner

Munas Digital Kreatif di Yogya Bahas soal Pendanaan yang Lebih Banyak dari Asing

6 Desember 2022 16:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Munas ADITIF di Yogyakarta, Sabtu (3/12). Foto: ADITIF
zoom-in-whitePerbesar
Munas ADITIF di Yogyakarta, Sabtu (3/12). Foto: ADITIF
ADVERTISEMENT
Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) baru saja selesai menggelar musyawarah nasional di Yogya pada Sabtu (3/12) kemarin. Salah satu isu yang dibahas dalam munas tersebut adalah bagaimana memperbanyak sumber-sumber pendanaan startup, terutama yang berasal dari dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, meski Indonesia dilaporkan memiliki 2.346 startup per 2022 berdasarkan Startup Ranking, namun ternyata sumber pendanaan startup di Indonesia masih bergantung pada sumber pendanaan dari luar negeri.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF), Saga Iqranegara. Menurut Saga, sulitnya startup mendapatkan pendanaan dari sumber dalam negeri karena sebagian besar sumber pendanaan yang ada di Indonesia masih menggunakan model konvensional.
“Bentuknya pinjaman yang mengharuskan adanya agunan atau jaminan, biasanya dari bank,” kata Saga Iqranegara saat dihubungi, Selasa (6/12).
Model pendanaan seperti itu menurut Saga tidak mungkin bisa dijangkau oleh perusahaan-perusahaan startup, sebab mereka tak memiliki aset yang bisa dijaminkan. Berbeda dengan sumber-sumber pendanaan asing seperti venture capital, dimana kebanyakan tidak mensyaratkan adanya agunan saat akan memberi pendanaan.
ADVERTISEMENT
“Sehingga kebanyakan startup pendanaannya dari venture capital,” kata dia.
Ketua Umum ADITIF, Saga Iqranegara. Foto: Widi RH Pradana
Meski begitu, bukan berarti sumber pendanaan tersebut tidak mengikat. Menurut Saga, sumber pendanaan asing bagaimanapun pasti tetap mensyaratkan adanya jaminan, hanya saja bentuknya bukan agunan.
Jika model pendanaan dari dalam negeri mensyaratkan agunan seperti tanah, gedung, atau aset lain, sumber pendanaan dari luar negeri biasanya perusahaan startup harus memberikan sebagian sahamnya kepada pemberi dana tersebut.
“Kalau dapat pendanaan dari venture capital itu tidak ada agunan, tapi kita harus memberikan sebagian saham kepemilikan kita,” ujarnya.
“Sehingga mereka menjadi punya kontrol atas perusahaan kita karena ada saham atau kepemilikan yang dibagikan ke mereka,” lanjutnya.
Hal itu membuat valuasi atau nilai dari sebuah perusahaan menjadi tinggi meskipun sebenarnya keuntungan yang diperoleh masih kecil, atau bahkan masih rugi. Hal ini dialami oleh banyak perusahaan di Indonesia, termasuk yang paling besar adalah GoTo yang nilai kapitalisasinya hingga pertengahan 2022 sudah mencapai Rp 430 triliun.
ADVERTISEMENT
“Jadi walaupun sebenarnya masih rugi, tapi valuasi GoTo itu kan sudah ratusan triliun, karena valuasi itu dihitung dari saham-saham yang diterbitkan,” kata Saga.
Musyawarah Nasional DITIF 2022 di Yogyakarta, Sabtu (3/12). Foto: ADITIF
Karena itu, dalam acara ADITIF Digital Ecosystem Connect sekaligus Musyawarah Nasional ADITIF di Yogya pada akhir pekan kemarin, salah satu yang dibahas adalah bagaimana memperbanyak sumber-sumber pendanaan terutama yang berasal dari dalam negeri. Karena selama ini, sebenarnya modal-modal yang diberikan oleh venture capital kemungkinan uangnya juga berasal dari dalam negeri.
Sebab menurut Saga, sebenarnya banyak juga konglomerat-konglomerat di Indonesia yang menitipkan uangnya ke venture capital. Jika para konglomerat itu langsung memberikan pendanaan ke startup di Indonesia tanpa perantara venture capital, maka sumber-sumber pendanaan yang tersedia akan semakin banyak. Dengan begitu, daya tawar antara pemilik modal dengan perusahaan-perusahaan startup bisa lebih seimbang.
ADVERTISEMENT
“Karena konglomerat kita sebenarnya juga banyak yang menitipkan duitnya ke venture capital, misalkan yang ada di Singapura. Terus startup kita ketemunya di sana, perjanjiannya terjadi di Singapura, padahal sebenarnya startup-nya dari Indonesia duitnya juga dari orang Indonesia,” kata Saga Iqranegara.
“Sehingga di Munas kemarin kami juga mengundang semua stakeholder strategis, baik dari komunitas digital, pemerintah, akademisi, dan para pegiat startup lainnya untuk mewujudkan kolaborasi yang lebih kuat,” tegasnya.
Munas ADITIF 2022 juga membahas beberapa isu krusial lain, seperti bagaimana meningkatkan sinergi dan kolaborasi di antara stakeholder untuk menjaga keberlanjutan industri digital, peluang-peluang sumber pendanaan dari pemerintah untuk startup, hingga bagaimana meningkatkan kualitas SDM startup supaya inovasi-inovasi yang dibuat bisa menjawab kebutuhan industri konvensional hari ini.
ADVERTISEMENT
“Kuncinya di kolaborasi, kehadiran startup bukan untuk mengalahkan industri konvensional yang sudah mapan, tapi harus bisa berkolaborasi untuk menjawab tantangan bersama,” kata Saga.