Ngawu-awu : Teknologi Pertanian Lahan Kering di Gunungkidul, Yogya

Konten dari Pengguna
6 November 2019 15:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mbah Prapto, among tani di Guyangan, Kemiri, Gunungkidul sedang menggarap lahan kering. Foto oleh : Nara
zoom-in-whitePerbesar
Mbah Prapto, among tani di Guyangan, Kemiri, Gunungkidul sedang menggarap lahan kering. Foto oleh : Nara
ADVERTISEMENT
“Mangsa ketigen ngeten niki, timbang ming lungguhan boten onten gaweyan, mila sami ngelon-loni gaweyan.” [Pak Kidi, Among-tani di Dusun Guyangan, Desa Kemiri, Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Gunungkidul]
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir beberapa wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta diguyur hujan jelang mangsa rendheng (musim hujan). Namun ada wilayah yang belum terguyur hujan, termasuk beberapa wilayah di Kabupaten Gunungkidul sisi timur dan utara. Seminggu, dua minggu, hingga sebulan sebelumnya, dan masih berlangsung sampai sekarang, para among-tani di beberapa wilayah di Gunungkidul melaksanakan teknologi pertanian lahan kering (alas, tegalan) yang disebut: ngawu-awu.
Menjelang musim hujan 2019 Dinas Pertanian dan Peternakan (DPP) Gunungkidul telah melaksanakan monitoring lapangan ke lahan pertanian sepanjang zona selatan Gunungkidul. Ada 4 kecamatan yang disambangi yaitu kecamatan Tanjungsari, Tepus, Girisubo, dan Rongkop. Hampir 90 persen lahan kering zona selatan telah berubah menjadi lah-lahan (garapan di musim kering).
ADVERTISEMENT
Mantri Tani Kecamatan Tepus, Usmandoyo, melaporkan bahwa total lahan padi 2045 hektar di Tepus telah selesai olah-lahan 85% dan telah tebar-benih padi secara ngawu-awu 75% atau sekitar 1500 hektar. Menurutnya, ngawu-awu merupakan antisipasi keterbatasan tenaga kerja pertanian dan ketersediaan air di musim tanam berikutnya agar tidak tertinggal air hujan.
Mantri Tani di Kecamatan Girisubo, Purwadi, melaporkan bahwa lahan di Kecamatan Girisubo yang telah diolah sebesar 90% dari total lahan 2442 hektar dan yang telah tebar-benih ngawu-awu ada 1575 hektar. Sementara beberapa wilayah Gunungkidul zona utara seperti Patuk, Nglipar, Karangmojo, Semin, Ngawen, dan Wonosari olah-lahan dilaksanakan menunggu hujan rendheng tiba.
Ritus Wisata Pari
Lahan garapan musim kering. Foto oleh : Nara
Beberapa waktu sepanjang September - Oktober, saya beserta seorang teman jurnalis yang bisa saya golongkan taruna-tani (petani muda) mencoba mendekatkan mata dan rasa kami ke lahan pertanian zona selatan utamanya kepada beberapa among-tani yang sedang melakukan tindakan ngawu-awu di alas-tegalan mereka. Kami mencoba ngawu-awu, dalam arti “mencari tahu”: apakah dan bagaimana ngawu-awu ini.
ADVERTISEMENT
Menyaksikan kerja para among-tani secara langsung di alas-tegalan di Gunungkidul yang kering dan kebak-awu (penuh debu) rasanya seperti melakukan ritus pariwisata, yaitu wisata pari. Ya, memang terasa demikian, karena mereka, para among-tani Gunungkidul, sedang nandur gabah-pari di lahan kering; mereka mawu-awu (beramai-ramai) menyebar gabah-pari di dalam awu bumi yang kering. Sementara dengan kekeringan unggah-ungguh pergaulan desa, kami seenaknya menyaksikan dan mengganggu para among-tani yang sedang ngawu-awu di alas-tegalan itu.
Alas, sebagai sinonim wana, merupakan sebutan para petani Gunungkidul terhadap lahan pertaniannya yang berupa tegalan pertanian kering (tadah hujan). Sebelum lahan pertanian kering benar-benar kaclum banyu udan (tergenangi air hujan), oleh para among tani Gunungkidul gabah atau pari ditanam atau disebar lebih dulu. Gabah disebar di dalam awu atau lebu. Tanah lah-lahan pada dasarnya berupa awu atau lebu (abu). Teksturnya lembut mbludhuk. Rerupa bumi yang seperti ini akan menjadikan tanaman thukul atau semi.
ADVERTISEMENT
Bumi, berasal dari akronim lebu semi, yaitu abu yang menjadikan tanaman tumbuh bersemi. Awu atau lebu merupakan sisa-sisa bakaran daun dan kayu. Material daun-kayu sirna, hancur jadi awu. Awu dedaunan-kekayuan yang berasal dari pawuhan (tempat pembakaran sampah organik) digunakan untuk rabuk tanah lah-lahan. Rabuk awu juga berupa lethong-sapi atau inthil-wedhus yang telah diolah sedemikian rupa sehingga menyerupai awu (debu). Ngawu-awu, maka dari itu, bisa disejajarkan dengan kerja menebar awu di lahan garapan, atau memasukkan winih (benih) ke dalam awu atau lebu, yaitu ke dalam tanah lah-lahan (garapan). Rentang waktu ketika gabah yang telah berada di dalam awu atau lebu dan menunggu datangnya hujan ini disebut lebon.
Penanda dan Perhitungan
Bu Sutini, Among Tani di Guyangan Kemiri Gunungkidul. Foto oleh : Nara
Bu Sutini, bertempat tinggal di Dusun Guyangan Desa Kemiri Kecamatan Tanjungsari, menerangkan kepada saya bahwa lebon berarti gabah sudah lumebu di tanah (bumi). Seminggu ini dia sudah nglebokke gabah (memasukkan gabah ke tanah), sudah ngawu-awu. Ia mempunyai keyakinan bahwa jika gabah sudah dalam kondisi lebon dan hujan segera turun maka akan mempercepat gabah menjadi akum dan mudah semi. Ia menerangkan bahwa gabah ditanam di lahan kering nan panas selama 3 bulan pun tetap kuat asal tidak terkena gerimis. Jika terkena gerimis gabah akan membusuk. Mbah Riyem begitu halnya, ia juga sudah ngawu-awu gabah di lahan pertaniannya di Desa Kemiri Kecamatan Tanjungsari yang hanya secuil. Sementara lahan yang satunya belum ia-awu-awu, ia menunggu hujan agak lebat untuk menanam kacang.
ADVERTISEMENT
Among-tani di Dusun Guyangan lain, Pak Wasno, tidak melaksanakan ngawu-awu karena ia menunggu hujan lebih dulu. Jika telah hujan ia akan menanami lahannya dengan jagung. Menanam gabah di lahan kering repot menurutnya, karena ia tidak bisa nandangi dhewe, ia harus ngopahi uwong. Dari masa tanam, obat, dan perawatan tanaman, ia harus berfikir dan bekerja terus. Jagung baginya lebih praktis.
Ia menginformasikan, among tani yang ngawu-awu mendasarkan pada tanda-tanda pada pepohonan, “Biasanipun onten tengara wit-witan, kajeng gedhe wetan riku nek wis kembang, mpun wancine toya jawah. Ning kula boten dhong, biasanipun ngangge etangan Jawi. Tiyang riki biasane ngertos piyambak-piyambak.”
Bu Sati, dari Dusun Pakwungu Desa Sumberwungu Kecamatan Tepus, bersama sanak-saudara ngrowak gabah, menanam gabah. Ia hanya mengikuti para among tani lain yang sudah mulai ngawu-awu. Bagi dia dan tetangganya, yang dijadikan sebagai panutan kapan akan memulai ngawu-ngawu adalah Mbah Arja dari Dusun Plasa Desa Sumberwungu. Lahan pertaniannya bertetangga dengan lahan pertanian Mbah Arja. Bu Sati memiliki keyakinan bahwa setiap kali ngawu-awu pasti gabahnya tumbuh. Jika ada yang tak tumbuh, maka ia akan ngurit kemudian nyulami.
ADVERTISEMENT
Menurut beberapa petani di Dusun Guyangan Desa Kemiri Kecamatan Tanjungsari, sebenarnya antara ngawu-awu dan tidak, nanti tumbuhnya gabah berbarengan, karena hadirnya hujan sama. Bergantung juga bagaimana among-tani yang merawat, apalagi rabuknya (pupuknya) banyak. Jika rabuknya banyak maka hasilnya akan bagus. “Ilmu titen mnika tuwuh saking manahe dhewe-dhewe. Tinimbang aku nganggur, tak ngelon-loni (nyicil) gaweyan. Mergane nek wis udan njuk tumpuk-undhung,” begini seorang among tani yang sering ngawu-awu berkata.
Sebaliknya Pak Kidi, dari Dusun Guyangan Desa Kemiri Kecamatan Tanjungsari, ia baru akan nyebar gabah jika hujan tiba. Sama dengan perasaan para among tani lain, musim kemarau itu terasa nglangut. Ngawu-awu bagi Pak Kidi adalah waktu longgar para among tani ketika musim kemarau tak memiliki pekerjaan. Dari pada klithah-klithih tak memiliki pekerjaan, maka kemudian melakukan ngawu-awu. Ngawu-awu, menurutnya, adalah ngelon-loni gaweyan.
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar langsung dari para among tani seperti Pak Kidi (Guyangan Kemiri Tanjungsari) bahwa ngawu-awu merupakan tindakan ngelon-loni lemah yang dilakukan oleh para among-tani di waktu senggangnya di musim kemarau, saya berseloroh dengan sebuah pertanyaan: Ini bukan ngelon-loni seperti halnya tindakan seorang lelaki kepada istrinya kan, Pak?.
Kemunculan Lintang Luku
Pak Kidi, Among Tani di Guyangan, Kemiri, Gunungkidul. Foto oleh : Nara
Ngelon-loni sangat mungkin berasal dari kata {alon}, lambat, sehingga bermakna mengisi waktu yang kosong dan terasa lambat. Atau, ngelon-loni sebagai derivasi dari ngelong-longi. Di wilayah Gunungkidul lain muncul istilah ini: ngelong-longi (mengurangi). Koneksinya, ngawu-awu merupakan tindakan olah tani dalam rangka mengurangi beban pekerjaan menanam kala musim hujan benar-benar datang. Tindakan ngelon-loni atau ngelong-longi pekerjaan olah tani dilakukan dengan membuat krowakan atau larikan di lahan pertanian lebih dulu.
ADVERTISEMENT
Di wilayah Dusun Guyangan Desa Kemiri Kecamatan Tanjungsari sebenarnya sudah hujan sekali, meskipun air hujan tidak sampai masuk tanah begitu dalam. Mbah Prapta, salah satu among tani, meyakini bahwa jika hujannya nerus maka masuk musim hujan, namun jika tidak, berarti rendheng belum datang. Jika hujan tidak nerus, maka gabah yang ditanam para among tani kala ngawu-awu bisa jagi gagal. Gabah telah terkena air sehingga basah, akhirnya rusak. “Ha nek onten bathange niku boten bakal kedadeyan,” Mbah Prapta memberikan alasan.
Jika demikian kenyataannya, oleh para among-tani gabah akan diganti dengan kacang, kedelai, atau jagung. Para amongtani di wilayahnya sudah nyebar gabah semua. Sementara ia, karena keterbatasan tenaga, memilih melakukan pegu. Pegu adalah menanam gabah yang waktu pelaksanaannya menunggu dan membersamai kehadiran banyu udan pisanan (air hujan pertama). Biasanya ia juga ngawu-awu seperti among-tani lain.
ADVERTISEMENT
Berhubungan dengan ngawu-awu, Mbah Prapta menuturkan bahwa sejak bengen (jaman dulu) informasi tentang kapan ia dan para among-tani di wilayahnya harus mulai ngawu-awu berdasar pada laku niteni tengara atau sasmita alam. Tanda-tanda kapan para among-tani mulai ngawu-awu biasanya merujuk pada ngelmu-palintangan yang masih digunakan sebagai pegangan sistem ilmu pengetahuan pertanian alas-tegalan. Ilmu palintangan yang digunakan adalah prosesi kemunculan Lintang Luku.
“Nek niku cara bodhon mawon ningali lintang. Nek lintang luku mpun ngglendhong bar bedhug, niku mpun wani ngawu-awu”, Mbah Prapta menerangkan. “Ning nek dereng ngglendhong sengara ajeng rendheng.” Jika lintang luku kala malam hari sudah terlihat di langit arah timur, kemudian byar padhang berjalan ke barat, dan siang hari ngglendhong ke arah barat, maka saatnya ngawu-awu telah tiba.
ADVERTISEMENT
Dulu, tak selang berapa hari setelah penampakan seperti itu memang terjadi grimis. Namun sekarang tak sepresisi itu. Para among tani tetap menggunakan teknik ini, sehingga kemudian mereka berani nyebar atau nandur pari. Jika pun kemudian belum tampak akan datang hujan di wilayahnya, namun jika lintang luku sudah ngglendhong (condong) ke arah barat melewati tubuh kala bedhug (siang hari), maka para among-tani di wilayahnya segera melaksanakan ngawu-awu.
Istilah yang khas di sistem teknologi pertanian mereka, tindakan ngawu-awu seperti ini adalah tindakan nyegat banyu, menunggu dan menghentikan datangnya air (hujan). Perlakuan pada gabah memang didahulukan dibanding kacang dan jagung. Setelah datangnya hujan nantinya, laku among tani dilanjutkan dengan nggaru lahan dan kemudian menanam jagung, kacang, tela dan sebagainya. “Nek tela men, janji ora disampar nguwong, mesthi semi ora bakal mati,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut Mbah Prapta, gabah atau pari yang ditanam di lahan kering tanpa asupan air bisa bertahan hingga 3 bulan, dan ketika hujan tiba tetap akan semi (tumbuh). Bahkan, ada seorang among-tani yang niteni (menandai) bahwa jika pun tak ada hujan sepanjang tahun, gabah bisa bertahan dan tidak mati, asal tak terkena gerimis. Mbah Prapta melanjutkan, “Nek titikan ngawu-awu niku cara bodhon niku lintang. Nek kewan lih taneman niku boten mesthi.”
Saat Gembili dan Dhuwet Berbuah
Pak Suparman, Among Tani Desa Semanu Kidul, Semanu, Gunungkidul. Foto oleh : Nara
Tampaknya, menelisik tanda-tanda kapan waktu ngawu-awu cenderung seperti mengingat mimpi-kolektif yang lama terkubur. Sebagian among-tani ketika saya-tanyai masih menyimpan ingatan tentang pratanda ngawu-awu itu apa saja. Tapi, kebanyakan petani tak begitu tahu tentang tanda-tanda ini.
ADVERTISEMENT
Menurut beberapa among-tani, ngawu-awu adalah saat ketika pala-palanan seperti gembili, uwi, dan krowodan lain mulai semi (bertunas). Pohon-pohon palakirna semacam dhuwet, klawu, juga mulai berbuah. Ngawu-awu juga ditandai dengan jatuhnya bunga dari pohon khas di dusun. Ada yang melulu menggunakan rasa. Ada yang hanya mengikuti keputusan among-tani lain. Namun ada juga yang mendasarkan pada petungan Jawa.
Pak Suparman, among-tani di Dusun Semanu Kidul Desa Semanu, Kecamatan Semanu, sudah mulai mendahului kadang among tani lainnya untuk ngawu-awu di lahan pertanian yang ia-sewa sejak tahun 1983 berdasar petungan ia sendiri. Aksi ini biasa ia lakukan tiap menyongsong musim tanam karena selain ia mengalami gangguan penglihatan, jika kelak sudah turun hujan ia akan mengalami kesulitan mencari tenaga buruh tani. Ditemani dua tali yang melintang di kanan-kirinya sebagai alat bantu penglihatannya yang mulai terganggu, ia ngawu-awu menggunakan gathul, seperti halnya kerja yang ia-lakukan ketika ulur kacang atau jagung. Ia menyebut perilakunya ini dengan ngelong-longi, mengerjakan pekerjaan pertanian yang bisa dikerjakan sebelum memasuki musim hujan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, tindakan ngawu-awu pada tahun ini sudah mundur dari perhitungan. “Adatipun Wulan Sapar sampun ndhawahke gabah,” Pak Suparman menjelaskan.
Ia menduga bahwa pertengahan atau akhir bulan November ini hujan sudah ada. Berdasar pengalamannya tiap tahun, setelah ia ndhawahke winih gabah (menanam benih gabah), tak lebih dari dua minggu setelahnya akan turun hujan.
“Nek kula menika namung petang kok, dados kala (panen) wingi: telasipun pantun ingkang wonten wana sampun mlebet griya sedaya, mila saksampunipun 7 wulan, utawi 9 wulan, lan paling dangu 11 wulan sakbibaripun pantun mlebet griya sampun wonten jawah,” begini ia melanjutkan keterangan.
Jika hujan turun 7 bulan setelah padi ‘dirumahkan’ pada masa panen sebelumnya, maka biasanya tanaman tidak bisa semi karena tanah pertanian belum kering sungguh.
ADVERTISEMENT
Menggunakan gathul ia ngorek tanah, ia ngowak lemah. “Petungan kula kala ngawu-awu biasanipun boten nate lepat,” Pak Suparman memberi penguatan kata-katanya sendiri.
Teknik Tanam
Pak Sawiyo, Among Tani di Tepus, Gunungkidul. Foto oleh : Nara
Teknik-tanam yang digunakan kala ngawu-awu di antaranya dengan membuat larikan, yaitu lubang memanjang pada lahan, menggunakan ganco atau gathul, kemudian si petani menanam gabah pada larikan yang telah dibuat dan selanjutnya menggaru tanah untuk menutupinya. Ada juga yang ngawu-awu seperti laku ulur kacang, jagung, atau kedelai: membuat lubang menggunakan gathul kemudian memasukkan biji gabah dan menutupinya dengan tanah.
Seorang among-tani ngrowak atau ngrowek tanah menggunakan gathul, kemudian memasukkan gabah ke lubang hasil krowakan atau krowekan lantas menutupinya dengan tanah. Ada pula teknik ngawu-awu seperti yang dilakukan Sawiyo, Dusun Ploso 2, Desa Sumberwungu, Kecamatan Tepus: tanah dikrowak (dilubangi) menggunakan garu, kemudian gabah ditanam di krowakan tanah lantas ditutup atau ditimbun menggunakan blabak agar rata.
ADVERTISEMENT
Sawiyo menginformasikan bahwa lahan pertaniannya tidak dipaculi terlebih dulu. Rata-rata tanah yang akan ditanami gabah tidak dipacul atau diluku. Ia berkeyakinan bahwa ngawu-awu tidak membutuhkan tanah yang terlalu dalam, artinya gabah cukup berada di dalam tanah permukaan. Kelak jika sewaktu-waktu hujan, gabah mudah tumbuh. Namun jika dipaculi atau diluku, kelak jika hujannya tak cukup, maka gabah tidak tumbuh.
Hampir semua among-tani yang memiliki lahan di sekitar lahan Pak Sawiyo sudah ngawu-awu. Selain bertani, ia adalah buruh tebang. Ia termasuk tertinggal melakukan ngawu-awu. Sudah menjadi adat-kebiasaan ia melaksanakan ngawu-awu tiap tahun. Namun demikian, ngawu-awu yang ia lakukan sengaja dipepetkan pada awal datangnya musim hujan. Tetangganya ada yang telah ngawu-awu dua bulan sebelumnya. Gabah itu pada dasarnya dapat bertahan lama di dalam tanah, tiga bulan empat bulan tidak apa-apa. Berbeda dengan jagung atau kacang, terlalu lama tidak kunjung semi maka lama kelamaan bosok. Maka penanaman jagung dan kacang menunggu datangnya hujan.
ADVERTISEMENT
“Cara ten riki kit riyin nandur gabah niku rata-rata diluku niku boten, nek diluku gek udane boten letah boten mesthi tuwuh”, begini ilmu pengetahuan dari leluhur diujarkan kembali oleh Sawiyo; diyakini dan dilaksanakan olehnya, kelak dihasilkan lah gabah, lantas digunakannya sebagai cadhong (cadangan) pangan hingga tiba saat ngawu-awu tahun depan. (Naratala / YK-1)