Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten Media Partner
Nonton 3 Film Dokumenter Kerasnya Kehidupan Kereta di Indonesia Era 2000-an
12 April 2023 19:11 WIB
·
waktu baca 3 menit![Suasana pemutaran film dokumenter di Ruang Mes 56, Yogya. Foto: Dok. Ruang Mes 56](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gxtqdq3cz1m6hd9wamt1davs.jpg)
ADVERTISEMENT
Ruang Mes 56, komunitas kolektif para seniman yang berbasis di Yogya, menggelar pemutaran 3 film dokumenter pada Selasa (11/4) malam bertajuk ‘Mencari Waktu di Kereta’. Tiga film tersebut, yakni Pendaki Gerbong Kaleng (2012), Di Atas Rel mati (2006), dan 10 Jam Lebih (2004), punya kesamaan tema yakni bercerita tentang tentang kehidupan di kereta ketika era 2000-an.
ADVERTISEMENT
Film Pendaki Gerbong Kaleng, bercerita tentang orang-orang yang menantang maut dengan menaiki atap kereta. Film Di Atas Rel Mati bercerita tentang anak-anak yang terpaksa putus sekolah dan menjadi pendorong lori di rel kereta yang sudah tak berfungsi.
Adapun film 10 Jam Lebih yang bercerita tentang panjangnya perjalanan mudik sepasang kakek dan nenek dari Jakarta ke Cepu menggunakan kereta Kertajaya Lebaran yang dijuluki sebagai kereta Sapu Jagad.
Programer pemutaran film tersebut, Michael Don Lopulalan, mengatakan bahwa tiga film tersebut dipilih untuk diputar bersama karena memiliki kesamaan konteks, yakni tentang kehidupan kereta di Jakarta pada era 2000-an. Ketiga film itu, menurut Michael, bisa menjadi sebuah pesan dari masa lalu tentang orang-orang yang berkejaran mencari waktu dan seringkali mengabaikan risiko yang mengintainya.
ADVERTISEMENT
“Dengan latar Jakarta sebagai kota penuh harapan dan cita, tiga film pilihan ini dapat jadi pesan dari masa lalu tentang keadaan orang berkejaran mencari waktu ketika risiko menjadi tidak begitu penting, berkebalikan dengan mimpi,” kata Michael Don, Selasa (11/4).
Don juga mengatakan bahwa manusia seringkali melihat kereta hanya sebatas obyek alat transportasi. Padahal menurutnya, kereta bisa jauh lebih kompleks, misalnya menjadi tempat orang-orang menggantungkan mimpinya, tempat bagi orang-orang menempuh perjalanan pulang, atau tanda dari suatu pembangunan dan modernitas.
“Dari kereta itu kita bisa melihat bagaimana pembangunan berkembang dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Meskipun wajah kereta di Indonesia saat ini sudah banyak berubah dibandingkan dengan era 2000-an, namun ternyata banyak hal dari manusia-manusia di dalamnya yang sampai kini tak berubah.
ADVERTISEMENT
Misalnya, sampai hari ini orang-orang masih berdesak-desakan di dalam KRL, orang yang menggunakan tempat duduk yang bukan haknya, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa wajah kereta di Indonesia memang sudah banyak berubah, namun belum tentu perubahan itu diikuti juga oleh perilaku manusia-manusianya.
“Film ini juga menghadirkan pertanyaan, bagaimana jika kita butuh sesuatu tapi ternyata sesuatu itu punya batas. Apakah kita berani cari alternatif atau tidak, kalau tidak berani, apakah kita berani menempuh risiko yang sama kayak pendaki gerbong kaleng atau kakek-nenek di kereta Kertajaya,” kata Michael Don.
Di akhir pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama komunitas pecinta kereta, Semboyan Satoe Community. Selain membahas isi film, diskusi tersebut juga membahas tentang perkembangan kereta api di Indonesia dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
“Sangat menyenangkan menonton tiga film tadi. Terasa sekali bahwa kereta itu bukan sekadar alat transportasi saja, tapi juga bagian tak terpisahkan dari sebagian manusia,” Ketua Semboyan Satoe Community, Yoga Cokro.