Orang-orang Kepepet Masalah Bersemedi di Sendang Ayu, Sleman

Konten Media Partner
30 Oktober 2021 19:39 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sendang Ayu Sleman. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Sendang Ayu Sleman. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Dalam malam yang senyap menjelang tahun 90-an, seorang pengusaha tembakau datang ke Bendan, sebuah dusun kecil yang berada di desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman. Dengan air muka cemas, dia datang ke kediaman juru kunci Sendang Ayu, sebuah mata air yang ada di desa itu. Bisnisnya sedang lesu dan nyaris bangkrut, modal ratusan juta yang sudah dia keluarkan lenyap.
ADVERTISEMENT
Dia adalah Adi Kusmun, seorang pengusaha tembakau yang menyuplai tembakaunya ke perusahaan rokok raksasa, British American Tobacco (BAT). Konon, dia bermimpi supaya melakukan semedi di mata air, yang oleh warga Bendan saat itu dikenal dengan nama Belik.
Melihat kondisi sekitar sendang yang sangat gelap dan dipenuhi semak di sekitarnya, terlebih ada pohon beringin besar di atas mata air itu membuat bulu kuduk Adi sedikit merinding. Sekilas, terbesit di benaknya untuk membatalkan saja rencananya semedi di mata air itu.
Tapi pikiran itu buru-buru ditepis. Memangnya apa lagi yang mau ditakutkan? Toh dia sudah mengalami hal yang jauh lebih buruk dan berat ketimbang melihat hantu, yakni menyaksikan usaha yang sudah dia rintis bangkrut.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya beliau nenepi atau semedi di sana, terus sama danyangnya (penunggu) situ dibisikin, kalau kamu mau modalmu balik, siramlah tanaman tembakaumu pakai air ini,” kata Pengampu, Pengelola, dan Juru Kunci Sendang Ayu, Is Hartono dengan bahasa Jawa, Sabtu (9/10).
Is Hartono. Foto: Widi Erha Pradana
Mendapat bisikan seperti itu, Adi Kusmun kemudian mengambil satu jerigen air dari Sendang Ayu dan menyiramkannya ke tanaman-tanaman tembakau yang dia tanam. Konon, dari situ kemudian tumbuh tembakau putih yang ketika dicampurkan ke tembakau dengan kualitas jelek, tembakau tersebut akan menjadi bagus dan enak.
Dengan kualitas yang jauh lebih baik dari sebelumnya, tembakau milik Adi Kusmun akhirnya bisa diterima lagi oleh pasar ekspor. Bisnisnya kembali moncer, bukan hanya balik modal, keuntungannya juga makin berlipat ganda.
ADVERTISEMENT
“Dari yang sebelumnya bangkrut, jadi kaya lagi,” lanjut Is.
Adi Kusmun saat meresmikan Sendang Ayu. Foto: Dok. Is Hartono
Sekitar lima tahun berselang, pada 1993, Adi Kusmun datang lagi ke Bendan. Dia mengutarakan keinginannya untuk membangun mata air di dusun itu supaya lebih nyaman untuk digunakan warga setempat untuk mandi, mencuci, atau kegiatan lainnya. Intinya, Adi Kusmun ingin berterima kasih, karena berkat perantara sendang itu usahanya bisa berkembang dan sukses lagi.
Maka, dibangunlah Belik di dusun Bendan itu menjadi seperti sekarang, dengan hiasan berupa gunungan wayang yang cukup besar di atasnya. Is Hartono menjelaskan, ornamen gunungan wayang itu dipilih karena gunungan melambangkan pengayoman, harapannya mata air itu bisa terus memberikan pengayoman kepada semua manusia dan makhluk hidup lain di sekitarnya dengan air yang dikeluarkan tanpa henti.
Patung tempat sesaji di Sendang Ayu. Foto: Widi Erha Pradana
“Ditanam dua pohon beringin juga yang ada sekarang, karena pohon beringin yang awal itu mati, dan sejak saat itu Belik itu diberi nama Sendang Ayu. Dulunya itu cuma kecil, bentuknya kayak tapal kuda,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Adi Kusmun bukan satu-satunya orang yang mencari petunjuk di Sendang Ayu. Menurut Is Hartono, selama ini sangat banyak orang yang tiba-tiba datang dengan masalahnya masing-masing. Ada yang ingin naik pangkat, ada yang ingin penyakitnya disembuhkan, ada yang ingin lolos jadi anggota dewan, ada yang ingin segera lulus kuliah, dan masih banyak lagi.
Tapi, Is Hartono tak pernah menjanjikan kepada siapapun bahwa air atau sendang itu bisa memberikan pertolongan atas setiap masalah yang dihadapi. Biasanya, orang-orang datang karena memang telah mendapat petunjuk sendiri.
“Saya enggak pernah menjanjikan apapun, orang saya bukan dukun,” lanjutnya.
Tak jarang, mereka yang bersemedi di Sendang Ayu tak sanggup menyelesaikan semedinya sampai tuntas. Banyak yang mengaku diganggu makhluk-makhluk dari alam lain. Tapi, menurut Is, sebenarnya gangguan-gangguan yang dialami mereka hanyalah bayangan mereka semata. Ketakutan mereka lebih besar daripada niatnya. Tapi, ini bukan sekadar takut atau berani. Kebanyakan yang berhasil menyelesaikan semedinya karena memang sudah merasa tak ada pilihan lain.
ADVERTISEMENT
“Biasanya mereka itu sudah kepepet, sudah enggak tahu mau ngapain, ya sudah pasrah saja, mau mati juga enggak takut. Kepasrahan kepada Tuhan inilah yang terpenting. Jadi jangan buru-buru dinamai syirik, mereka ini orang-orang kepepet, pasrah sama Tuhan yang membuat hidup,” kata Is Hartono.
Ditunggu Putri Cantik
Patung Nyai Krupyuh. Foto: Widi Erha Pradana
Nama Sendang Ayu, kata Is Hartono diambil dari sosok penunggu mata air. Konon, setelah sendang itu dibangun dan lebih terawat seperti sekarang, sosok itu makin sering muncul. Sosok penunggu Sendang Ayu menurut dia adalah perwujudan perempuan cantik dengan pakaian serba hijau, karena itulah sendang tersebut diberi nama Sendang Ayu.
“Namanya itu Nyai Krupyuh, kemungkinan itu keturunan dari Mbah Mertoselo,” kata Is Hartono.
Mbah Mertoselo atau Kyai Mertoselo sendiri merupakan seorang tumenggung pada masa Kerajaan Mataram. Suatu ketika, dalam peperangan melawan Belanda, Mbah Mertoselo terdesak sampai ke wilayah Bendan dan tinggal lama di sana. Di Sendang Ayu itulah Mbah Mertoselo mandi dan minum. Sejak saat itu, warga setempat juga ikut menggunakan mata air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
“Kemungkinan Mbah Mertoselo tinggal lama di sini, karena dimakamkan di sini juga, sampai sekarang masih ada makamnya,” ujarnya.
Is yakin, di Sendang Ayu memang ada makhluk lain selain manusia yang juga tinggal di sana. Karena itu, siapapun yang ke Sendang Ayu mesti berlaku sopan. Is bercerita, pernah ada sekelompok anak muda yang melakukan syuting uji nyali di Sendang Ayu. Salah satu dari anggota tim mereka ada yang berlaku kurang sopan dengan menantang penunggu sendang. Setelah pulang, konon orang tersebut sakit keras dan tak lama meninggal dunia.
“Yang paling sering itu orang kencing sambil berdiri, pas selesai diwalik (dibalik), badannya kayak diputar terus jatuh, ada yang sampai kesurupan. Jadi kalau mau kencing ya duduk, soalnya sudah banyak kasusnya,” kata dia.
Batu rajah Sendang Ayu. Foto: Widi Erha Pradana
Suasana mistik di Sendang Ayu ditambah dengan sebuah pohon beringin besar di sampingnya. Di tengah sendang terdapat sebuah patung arca sosok perempuan, sedangkan di atasnya ada patung laki-laki. Meski hanya berupa hiasan, namun dua patung itu cukup memberikan nuansa mistis.
ADVERTISEMENT
Apalagi, di dekat patung sosok laki-laki terpasang sesajen yang masih baru, menandakan bahwa belum lama ada yang melakukan ritual di sana. Persis di atas sendang, terdapat sebuah gunungan tinggi bergambar ular raksasa, dan di belakangnya terdapat sebuah batu rajah.
“Batu rajah itu dulunya pohon beringin, itu enggak boleh diduduki, bisa enggak bisa kencing. Tapi kalau enggak tahu ya enggak apa-apa, tapi kalau sudah dikasih tahu tetep ngeyel ya coba saja,” kata Is Hartono.
Panggung Orkestra Para Kutilang
Burung kutilang di pucuk pohon gayam Sendang Ayu. Foto: Widi Erha Pradana
Terlepas dari semua cerita legenda tentang Sendang Ayu, di puncak pohon gayam yang tak jauh dari mata air, empat burung kutilang sedang asyik bernyanyi menghadap arah tenggelamnya matahari. Suara mereka saling bersahutan satu sama lain, mengisi kekosongan dan saling melengkapi. Layaknya sebuah orkestra, atau boyband yang sedang tampil di atas panggung dan disorot langsung oleh sinar jingga matahari sore.
ADVERTISEMENT
Menurut Is Hartono, di sekitar Sendang Ayu memang masih cukup banyak hewan-hewan liar, terutama burung. Meskipun, lokasi Sendang Ayu sebenarnya sangat dekat dengan Jalan Jogja-Solo yang tak pernah sepi.
“Di atasnya kan ada bukit, masih banyak pohon juga, jadi burung-burung masih seneng,” ujar Is Hartono.
Selain kutilang, sejumlah burung kicauan lain juga masih kerap terdengar suaranya. Misalnya ada burung perkutut, jalak, atau tengkek yang ditempat lain sudah sulit ditemui. Mereka akan mulai memamerkan kicauannya terutama pada pagi dan sore hari.
“Nah itu sudah mulai ramai,” ujarnya ketika terdengar suara burung kutilang yang saling bersahutan.
Pohon-pohon besar serta aliran air yang tak pernah berhenti juga sangat disukai berbagai jenis hewan lain. Misalnya ada tupai, berang-berang, luwak, ular, bahkan biawak. Mereka menjadi penduduk alami kawasan sekitar sendang.
ADVERTISEMENT
“Ya biarin saja, kalau kita enggak ganggu kan mereka juga enggak akan ganggu. Kita kan harus berbagi ruang juga untuk hidup, memangnya mereka enggak boleh hidup?” kata Is Hartono. (Widi Erha Pradana / YK-1)