Orang-orang Sumenep di Balik Jejaring Toko Kelontong Madura

Konten Media Partner
1 Juni 2021 14:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yais, warga Sumenep, Madura, sedang melayani pelanggan pom bensin mini di tokonya. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Yais, warga Sumenep, Madura, sedang melayani pelanggan pom bensin mini di tokonya. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Saat ini, di Jogja kita semakin mudah menemukan toko-toko kelontong dengan pom bensin mini di depannya. Pom bensin mini, itulah ciri utama toko kelontong Madura. Toko kelontong Madura, dalam bentuknya yang kecil, rata-rata hanya 3 x 3 meter namun relatif lengkap untuk dijadikan pilihan belanja konsumen: rokok, sembako, gas, air mineral, jajanan, minuman kemasan, serta yang ‘wajib’ adalah pom bensin mini.
ADVERTISEMENT
Selain pom bensin mini, ciri lain dari mereka adalah buka 24 jam. Karena buka 24 jam, dengan cepat mereka mendapatkan hati masyarakat sebab swalayan-swalayan waralaba kini tak berani buka 24 jam lagi sejak pandemi.
Disebut toko kelontong Madura karena umumnya pemilik maupun karyawan yang bekerja di sana adalah orang-orang Madura. Lebih spesifik lagi, sebagian besar dari mereka berasal dari Sumenep.
“Kalau warung begini kebanyakan memang dari Sumenep,” kata Yais, 41 tahun, Selasa (25/5).
Yais adalah seorang karyawan penjaga sebuah toko kelontong Madura yang di daerah Selokan Mataram, Seturan yang sebelumnya telah berjualan toko kelontong selama 5 tahun di Depansar, Bali.
Memang, di kota-kota besar lain seperti Jakarta, Bekasi, atau Bali, sebenarnya toko kelontong Madura semacam itu sudah menjamur sejak lama. Di Jogja, keberadaan toko kelontong Madura juga sudah sejak beberapa tahun yang lalu. Hanya saja sejak pandemi jumlahnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
“Karena lihat ada contoh yang sukses, terus banyak yang ingin ikut usaha seperti itu,” ujarnya.
Di Bali dan Jakarta para pengusaha toko kelontong Madura bahkan sudah terorganisir. Mereka kerap berkumpul dan mengadakan acara bersama seperti pengajian atau syukuran. Di forum-forum seperti itu, selain mempererat silaturahmi, Yais dan pegiat usaha toko kelontong dari Madura lain juga bisa berdiskusi jika sedang mengalami masalah tertentu dalam usahanya.
“Seminggu sekali itu dulu ada pengajian,” ujarnya
Di Jogja, dia belum menemukan adanya forum-forum pengusaha toko kelontong Madura seperti yang pernah dia temui di Bali. Sejauh ini, jejaring yang terjadi berupa hubungan personal antara satu toko kelontong dengan toko kelontong lain. Sehingga sulit untuk mengetahui berapa pasti jumlah toko kelontong ala Madura yang ada di Jogja sekarang.
ADVERTISEMENT
“Kalau satu kampung ya kenal. Tapi enggak semuanya kenal juga,” kata Yais.
Kode Etik Tak Tertulis
Kelengkapan dagangan Toko Madura. Foto: Widi Erha Pradana
Meski di Jogja tidak ada organisasi yang resmi untuk mewadahi toko-toko kelontong Madura, tapi mereka seperti menerapkan semacam aturan atau kode etik yang tidak tertulis. Kode etik itu adalah tidak boleh mendirikan toko kelontong di dekat toko kelontong lain yang sudah ada sebelumnya. Jika ingin mendirikan toko kelontong, setidaknya berada minimal 100 atau 200 meter dari toko kelontong lain.
“Kalau nekat diprotes, bisa didemo,” kata Naizila Siska Amelia, 38 tahun.
Amel, sapaan akrabnya, adalah seorang pemilik toko kelontong Madura yang ada di dekat kampus UNY. Sudah tiga tahun toko itu menjadi salah satu sumber penghidupan dia dan keluarganya. Selain di Jogja, dia juga memiliki satu toko kelontong lagi di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Amel juga asli Sumenep. Kode etik seperti itu menurut dia penting supaya tidak saling mematikan antara satu kelontong dan kelontong lainnya. Karena sebagai sesama perantau yang datang dari tanah Sumenep, mestinya saling mendukung dan membantu, alih-alih saling mematikan.
“Jangan kayak Indomaret sama Alfamart, dempet-dempetan terus,” kata dia setengah bercanda.
Karyawan Pasutri Paling Efektif
Abdurrohim, 48 tahun dersama istrinya, Sahni, 45 tahun, bekerja di sebuah toko kelontong Madura selama 24 jam penuh di sekitar Jalan Kaliurang KM 5. Foto: Widi Erha Pradana
Jika pemilik toko tidak bisa menjaga sendiri tokonya, sang pemilik akan mempekerjakan orang yang sudah benar-benar dia kenal dan memiliki kejujuran untuk menjaga toko kelontongnya. Biasanya, mereka akan mempekerjakan keluarga atau tetangga mereka sendiri di kampung.
Paling sering para pemilik toko kelontong Madura akan mempekerjakan sepasang suami-istri. Ini menjadi faktor penting dalam keberhasilan manajemen toko. Sebab, jika yang menjalankan bisnis adalah suami istri, maka akan ada pembagian tugas yang di antara mereka.
ADVERTISEMENT
“Misalnya suami tugasnya belanja barang, termasuk belanja bensin, terus istrinya standby di toko,” ujar Amel.
Ini sebenarnya bukan aturan mutlak. Tapi jika tidak suami istri, biasanya pengelolaan toko menjadi tidak lancar. Misalnya jika sama-sama pria, biasanya satu sama lain akan merasa iri dengan pembagian tugas yang ada seperti belanja saja atau jaga toko saja. Akibatnya, mereka akan sering ribut untuk menentukan pembagian tugas di antara keduanya. Selain itu, potensi mereka untuk berbohong terkait pendapatan tiap hari juga lebih besar.
“Kalau cewek semua lebih susah lagi, bisa berantem tiap hari,” ujarnya.
Di Balik Kekuatan Jaringan Madura
Guru Besar Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Heddy Shri Ahimsa. Foto: Dokumentasi Departemen Antropologi UGM
Guru Besar Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Heddy Shri Ahimsa, mengatakan bahwa jejaring yang dimiliki toko kelontong Madura merupakan modal berharga supaya mereka bisa tetap bertahan. Basis jejaring ini biasanya terbentuk karena faktor kedaerahan atau kekerabatan.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada kekerabatan ditambah kedaerahan, itu sudah kuat sekali,” kata Heddy Shri Ahimsa ketika dihubungi, Selasa (25/5).
Selain itu, di Madura menurutnya juga banyak terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang mirip dengan kelompok arisan. Sangat mungkin menurut dia, kelompok-kelompok ini juga menjadi basis yang kuat dalam menjamurnya toko-toko kelontong Madura di banyak kota, termasuk di Jogja. Karena selain mempererat ikatan di antara mereka, tidak jarang juga kelompok-kelompok arisan ini yang memberikan modal kepada anggotanya untuk mendirikan bisnis termasuk bisnis toko kelontong.
“Dan itu kumpul-kumpulnya luar biasa, masing-masing kelompok arisan itu punya identitas sendiri dan jaringannya kuat sekali. Saya kira itu juga salah satu faktornya,” lanjut dia.
Dengan adanya jaringan kedaerahan atau kekerabatan yang kuat ini, membuat mereka lebih mudah dalam menyelesaikan setiap masalah yang ditemui. Misalnya jika ada di antara mereka yang rugi, bangkrut, atau terlilit utang, maka anggota kelompok lainnya akan ikut membantu dalam menyelesaikan masalah tersebut karena punya rasa senasib sepenanggungan sebagai sesama perantau asal Madura.
ADVERTISEMENT
Solidaritas memang telah menjadi ciri dari warga Indonesia, namun solidaritas makin kuat ketika warga bersama-sama bertemu di perantauan. Dan solidaritas Madura adalah ikatan kedaerahan dan kekerabatan salah satu jaringan perantauan yang terkuat di Indonesia.
Jejaring bisnis seperti ini menurut Ahimsa mirip dengan yang terjadi pada jejaring bisnis orang-orang China. Dalam menjalankan bisnis, orang-orang China menurut dia memiliki jaringan yang sangat kuat dengan memanfaatkan kelompok-kelompok rahasia atau secret society yang saling mendukung satu sama lain.
“Madura itu sepertinya tanpa sadar mengikuti pola bisnis dari orang-orang keturunan China itu,” ujarnya.
Kenapa mayoritas pelaku bisnis toko kelontong ini berasal dari Sumenep menurutnya perlu diteliti lebih lanjut. Sebab, kemampuan bisnis toko kelontong ini merupakan sesuatu yang baru bagi orang Madura karena sebelumnya mereka hanya dikenal sebagai pelaku bisnis sate, cukur rambut, serta usaha rongsok atau barang bekas.
ADVERTISEMENT
“Karena setiap daerah itu berbeda, ada yang spesialisnya sate, ada yang cukur, ada yang rongsokan. Kenapa Sumenep ini juga menarik dan perlu diteliti lagi,” kata Ahimsa.
* Ini adalah seri kedua dari 3 liputan yang memotret ketangguhan UMKM toko eceran dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Baca seri pertama dan ketiga: